Cari Blog Ini

Kamis, 12 April 2012

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana





Pengertian: Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.

Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang No.8/1981, berlaku sejak 31 Desember 1981

Pengertian

  1. Tersangka, menurut pasal 1 ayat 4 KUHAP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak (presumption of innocence) azas praduga tak bersala
  2. Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5 KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dipersidangan pengadilan.
  3. Terpidana adalah yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan pidana

Jenis Pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang Terpidana menurut pasal 10 KUHP, adalah:
  1. Pidana pokok
  2. Pidana mati
  3. Pidana penjara
  4. Pidana kurungan
  5. Pidana denda
  6. Pidana Tambahan
  7. Pencabutan hak-hak tertentu
  8. Perampasan barang-barang tertentu
  9. Pengumuman keputusan

Hak-hak Tersangka/Terdakwa

Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka, atau terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka, atau terdakwa telah dilanggar.

Hak tersangka atau terdakwa:
  1. mendapat pemeriksaan dengan segera (pasal 50:1)
  2. perkaranya segera dilanjutkan ke Pengendilan (pasal 50:2)
  3. segera diadili oleh Pengadilan (pasal 50:3)
  4. mempersiapkan pembelaan (pasal 51 huruf a)
  5. diberitahukan perihal apa yang didakwakan kepadanya (pasal 51 huruf b)
  6. memberikan keterangan secara bebas (pasal 52)
  7. mendapat bantuan juru bahasa (pasal 52:1) bagi yang tidak mengerti bahasa Indonesia
  8. mendapat bantuan dalam bisu/tuli (pasal 53:2)
  9. mendapat bantuan hukum (pasal 54,55)
  10. untuk ditunjuk pembela dalam hak terdakwa dengan ancaman hukuman mati (pasal 56)
  11. menghubungi Penasehat Hukum (pasal 57:1)
  12. menerima kunjungan dokter pribadi (pasal 58)
  13. diberitahukan kepada keluarganya (pasal 59)
  14. menghubungi dan menerima kunjungan keluarga (pasal 60,61)
  15. mengirim dan menerima surat (pasal 62)
  16. menghubungi dan menerima Rohaniawan (pasal 63)
  17. untuk diadili di sidang yang terbuka untuk umum (pasal 64), kecuali kasus susila, dan kasus terdakwa anak-anak yang masih di bawah umur
  18. mengusahakan dan mengajukan saksi/saksi ahli atau saksi A De Charge (saksi yang menguntungkan) (pasal 65)
  19. tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66)
  20. banding (pasal 67)
  21. mendapat ganti rugi dan rehabilitasi (pasal 68)
  22. mendapat salinan dari semua surat/berkas perkara (pasal 72)

Proses terjadinya Perkara Pidana

Perkara pidana dapat terjadi karena :
  1. Tertangkap tangan artinya tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tidak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau saat itu ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ( pasal 1:19)
  2. Laporan/pemberitahuan, artinya suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pihak yang berwewenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinnya peristiwa pidana.(pasal 1:21). Pihak yang berhak mengajukan laporan (pasal 103) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap : -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk laporan: -lisan, - tulisan; pelor wajib diberikan tanda penerimaan laporan (pasal 108:6)
  3. Pengaduan, artinya pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak berwenang untuk menindak, menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1:25). Pihak yang berhak membuat pengaduan (pasal 108) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap: -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk pengaduan: -lisan, - tulisan (pasal 108:6). Tindak pidana aduan dalam KUHP: pasal: 72, 73, 278, 284, 287, 310, 311, 315, 319, 321, 332, 320

Penegak Hukum dan Wewenangnya
  1. Penyelidik, setiap pejabat Polisi RI, yang berwenang untuk melakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur uu) (pasal 1;5). Menurut pasal 4, penyelidik berwenang : a, karena jabatan untuk; (1) meneriam laporan, atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (2) mencari keterangan dan barang bukti, (3) menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, (4) mengadakan tindakan lain menurut hukum, dan b. atas perintah penyidik, penyelidik, dapat melakukan tindakan berupa : (1) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan (2) pemeriksaan dan penyitaan surat, (30 mengambil sidik jari dan memotret seseorang (4) membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik
  2. Penyidik (pasal 1:1), setiap pejabat Polisi RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan. Kepangkatan untuk menjadi penyidik: (1) Pejabat Polisi RI, sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I/Golongan II-b. Wewenang penyidik menurut pasal 7: (a) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, (c.) menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka, (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, (g) memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara, (I) mengadakan penghentian penyidikan
  3. Penangkapan, suatu tindakan penyidik, berupa penggekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, dalam hal serta menurut yang diatur dalam UU (pasal 1:2). Berwenang melakukan penangkapan: (a) penyidik, (b) penyidik pembantu, (c.) penyelidik atas perintah penyidik. Bukti permulaan menurut SK Kapolri No. Pol SKEEP/04/I/1982, 18 Februari 1982, merupakan keterangan dan data yang terkandung didalam dua di antara: (1) laporan polisi, (2) Berita Acara Pemeriksaan di TKP, (3) Laporan Hasil Penyelidikan, (4) Keterangan saksi, saksi ahli, dan (5) barang bukti. Saat melakukan penangkapan petugas wajib (a) menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa, (b) menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka (tersangka tertangkap tangan dalam waktu 24 jam harus menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penyidik)
  4. Penahanan (pasal 1:21), penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatut UU. Berwenang menahan adalah, penyidik, penuntut umum dan hakim. Alasan penahanan menurut pasal 20:3 adalah tersangka/terdakwa dikuatirkan: (a) melarikan diri, (b) akan merusak/menghilangkan barang bukti, dan (c.) akan melakukan lagi tindak pidana. Untuk melaksanakan penahanan, petugas harus dilengkapi, surat penahanan dari penyidik, atau jaksa penuntut umum, atau hakim yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa. Penahanan ini hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang disangka/didakwa melakukann tidak pidana atau percobaan, maupun perbuatan bantuan dalam tindak pidana menurut pasal 20:4 KUHAP, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan atau tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 283:3, 296, 335:1, 372, 378, 379a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP. Adapun jenis penahanan: (1) Penahanan Rumah Tahanan Negara, (2) Penahanan Rumah, (3) Penahanan Kota. Lama penahanan oleh penyidik 20 hari (ps 24:1) perpanjang 40 hari oleh JPU (ps 24:2), penuntut umum 20 hari (ps 25:1). Perpanjang 30 hari oleh Ketua PN (ps 25:2, hakim pengadilan negeri 30 hari (ps 26:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PN (ps 26:2), hakim pengadilan tinggi 30 hari (ps 27:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PT (ps 27:2), dan hakim mahkama agung 50 hari (ps 28:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua MA (ps 28:2) . Penangguhan penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dengan jaminan uang atau barang, dengan syarat, tersangka/terdakwa wajib lapor, tidak boleh keluar rumah, atau tidak boleh keluar kota
  5. Penggeledahan (pasal 1:17), mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana, penyidik harus memeriksa suatu tempat tertutup atau badan orang. Menurut pasal 33 penggeledahan oleh penyidik harus; dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, dengan perintah tertulis dari penyidik, disertai dua saksi (apabila tersangka/penghuninya menyetujui), disaksikan oleh Kepala Desa, atau Ketua lingkungan dengan dua orang saksi dalam hal tersangka/penghuni menolak atau tidak hadir, dan membuat berita acara yang ditembuskan kepada pemilik/penghuni rumah, dalam waktu 48 jam setelah penggeledahan dilakukan
  6. Penyitaan (pasal 1:16), serangkaian tindakan penyidik mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktiaan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
  7. Penyidikan. Pemeriksaan tersangka oleh penyidik dilakukan dengan sistem inquisitoir, dimana pemeriksaan dilakukan dengan menganggap tersaka sebagai obyek pemeriksaan. Penyidikan dianggap telah selesai, apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan .Penghentian penyidikan dengan memberitahukan kepada penuntut umum dapat dilakukan, apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa ternyata bukan merupakan tindakan ridana, dihentikan demi hukum (karena lampau waktu (verjarig) persoalan yang sama sudah pernah diadili dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Nebis in Idem)) , dan tidak ada pengaduan/pengaduan dicabut dalam hal tindak pidana
  8. Penuntutan (pasal:7) tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Proses penuntutan: Penyidik penyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum untuk diperiksa dalam jangka waktu 7 hari harus segera melaporkan kepada penyidik, apakah hasil penyidikan telah selesai atau belum (pasal 138:1). Apabila belum lengkap, hasil penyidikan dikembalikan untuk diperbaiki oleh penyidik dalam jangka waktu 14 hari harus sudah balik ke penuntut umum. Jika hasil penyidikan telah dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut dalam waktu secepatnya membuat "Surat Dakwaan"
  9. Koneksitas, percampuran orang-orang yang sebenarnya termasuk jurisdiksi Pengadilan yang berbeda dalam suatu perkara, misalnya seorang sipil dan seorang yang bersatus militer melakukan suatu kejahatan bersama-sama. Tersangka/terdakwa terdiri dari dua orang atau lebih yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Untuk penyilidikan dilakukan berdasar Pasal 2 SK Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman No.KEP.10/M/XII/1985 .No.KEP.57.ir.09.05 Th.1985 . terdiri dari unsur-unsur (a) Tim Pusat: Penyidik dari Mabes Polri, Penyidik dari PM ABRI pada Pusat PM ABRI, Oditur Militer dari Oditur Jenderal ABRI, dengan tugas melakukan penyidikan apabila perkara dan atau tersangka mempunyai bobot nasional dan atau internasional, dan apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah Hukum Pengadilan Tinggi (b) Dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri: penyidik pada markas komando wilayah kepolisian, markas komando kota besar, markas komando resort dan markas komando sektor, penyidik dari PM ABRI pada Detasemen POM ABRI, dan Oditur Militer dari Oditur Militer dengan tugas (1) dalam daerah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya lebih dari satu Daerah Hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam suatu Darah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan (2) dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri, apabila dilakukan tindak pidana Koneksitas atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Susuna majelis hakim yang mengadili perkara koneksitas adalah sebagai berikut: (1) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, hakim ketua dari lingkungan peradilan umum, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang, (2) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang (hakim dari peradilan umum diberi pangkat Tituler
  10. Bantuan Hukum. Orang yang dapat memberikan "bantuan hukum'" kepada tersangka/terdakwa disebut Penasehat Hukum (pasal 1:13) atau seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan UU untuk memberikan bantuan hukum. Hak seorang penasehat hukum yaitu menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69), menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (pasal 70:1), menerima turunan berita acara pemeriksaan (pasal 72), mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya (pasal 73), dan dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan jalan melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terdapat tersangka (pasal 115:1)
Acara Pemeriksaan dalam Sidang Peradilan
  1. Sistem pemeriksaan. Adapun 2 cara sistem pemeriksaan yaitu: (1) Sistem Accusatoir, tersangka/terdakwa diakui sebagai subjek pemeriksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan yang ditujukan atas dirinya. Dalam sistem ini pemeriksaan terbuka untuk umum (depan sidang pengadilan) (2) Sistem Inquisitoir, tersangka/terdakwa dianggap sebagai obyek pemeriksaan. Dalam sistem ini pemeriksaan tertutup, dan tersangka /terdakwa tidak mempunyai hak untuk membela diri (di depan penyidik). Namun kedua sistem ini mulai ditinggalkan, setelah diterapkan UU No.8/1981 tentang KUHAP, dengan diberinya hak tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum
  2. Exceptie (tangkisan), suatu jawaban yang tidak mengenai pokok perkara. Exceptie sangat penting bagi terdakwa dan penasehat hukum, sebab dengan hal ini suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat: dinyatakan batal demi hukum (pasal 143:3), dinyatakan tidak dapat diterima (pasal 143:2 a), perkara dinyatakan sudah nebis in idem, dinyatakan ditolak, pengadilan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena menjadi wewenang pengadilan lain, penuntutan dinyatakan telah daluwarsa, dan pelaku pidana dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan (pasal 14). 2 Jenis exceptie yaitu: (1) exceptie absolut, suatu tangkisan mengenai kompetensi pengadilan. Kompetensi ini menyangkut kompetensi absolut, menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara itu, dan kompetensi relatif, menyangkut wewenang pengadilan mana untuk mengadilinya. Jika tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut, maka perlawanan diajukan menjadi batal. Untuk (b) exceptie relatif hanya dapat diajukan pada sidang pertama, setelah penuntut umum membacakan dakwaannya. Exceptie relatif tidak harus ada putusan sela, tapi ia dapat diperiksa dan diputus bersama pokok perkara. Dua alasan diajukannya exceptie, yaitu: (1) menyangkut kompetensi pengadilan (kompetensi absolut, bahwa perkara tersebut menjadi wewenang pengadilan lain yang tidak sejenis untuk memutuskan, dan atau kompetensi relatif, bahwa perkara bukan menjadi wewenang pengadilan negeri tertentu untuk mengadinya, tetapi menjadi wewenang pengadilan negeri yang lain) (2) menyangkut syarat pembuatan surat dakwaan; (a) syarat formil (pasal 143:2a) tidak diberi tanggal, tidak ditandatangi oleh penuntut umum, dan tidak memuat identitas terdakwa secara lengkap, (b) syarat materil (pasal 145:2b) surat dakwaan tidak memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tidak pidana yang didakwakan, surat dakwaan yang tidak memuat waktu (tempos delictei), tempat (locus delictie) tindak pidana itu dilakukan
  3. Pembuktian, bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 4 teori pembuktian, yakni (1) teori pembuktian positif, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan), (2) teori pembuktian negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam UU ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti, (3) teori pembuktian bebas, bahwa mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan dalam UU, dan (4) teori pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Alat-alat bukti yang sah, apabila ada hubungan dengan suatu tindak pidana, menurut pasal 184:1, alat bukti yang sah: (1) keterangan saksi (pasal 1:27), keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia saksi dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (tidak termasuk keterangan diperoleh dari orang lain/testimonium de auditu), dengan 2 syarat: syarat formil, apabila keterangan tersebut diberikan oleh saksi di bawah sumpah, sedangkan syarat materil, bahwa ketarangan saksi, hanya salah satu dari alat bukti yang sah, serta terlepas dari hal mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168), bahwa yang tidak didegar keterangannya adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang sama-sama terdakwa, dan suami atau istri terdakwa, walaupun telah bercerai. 2 jenis saksi: (a) saksi A Charge (memberatkan terdakwa), saksi yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, (b) saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa), saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. (2) Keterangan ahli (pasal 1:28), keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan. (3) Surat (pasal 187). (4) Petunjuk (pasal 189), perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk ditentukan oleh hakim. (5) Keterangan terdakwa (pasal 189), apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
  4. Requisitoir penuntut umum, surat yang dibuat oleh penuntut umum setelah pemeriksaan selesai dan kemudian dibacakan dan diserahkan kepada hakim dan terdakwa atau penasehat hukum. Isi requisitoir (surat tutntutan umum) adalah: (1) identitas terdakwa, (2) isi dakwaan, (3) fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, seperti: keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat bukti, visum et repertum, dan fakta-fakta juridis, (4) pembahasan juridis, (50 hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, (6) tuntutan hukum, dan (7) surat tuntutan yang telah diberi nomor , tanggal, dan tanda tangan penuntut umum
  5. Pledooi (nota pembelaan) (pasal 182:1b), pidato pembelaan yang diucapkan oleh terdakwa maupun penasehat hukum yang berisikan tangkisan terhadap tuntutan penuntut umum dan mengguakan hal-hal yang meringankan dan kebenaran dirinya. Isi pledooi pada dasarnya, terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) karena tidak terbukti, terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslag van rechtsvervolging) karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindakan pidan dan atau terdakwa minta dihukum yang seringan-ringannya, karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya
  6. Contempt of court, suatu tindakan merendahkan martabat pengadilan. Jenis contempt of court: (1) direct contempt of court, tindakan penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir dan menyaksikan secara langsung sidang pengadilan, (2) construjtive contempt of court, tindakan yang dilakukan tidak di dalam ruang sidang pengadilan

Upaya Hukum

Upaya hukum (pasal 1:12), hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU. Dua upaya yang dapat ditempuh: (1) upaya hukum biasa: (a) banding (pasal 67), suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, agar putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi, dengan tujuan memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Permohonan ini dapat dilakukan dalam waktu 7 hari setelah vonnis diberitahukan kepada terdakwa, (b) kasasi, suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari mahkamah agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan terdahulu dan ini merupakan peradilan terakhir. Permohonan ini diajukan dalam kurung waktu 14 hari setelah vonnis dibacakan. Pada pengajuaan kasasi, terdakwa diwajibkan membuat memori kasasi yang diserahkan kepada panitera pengadilan negeri dan untuk itu panitera memberi suarat tanda terima. Alasan kasasi diajukan, karena pengadilan tidak berwenang atau melampau batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 253:1). (2) upaya hukum luar biasa, (a) kasasi demi kepentingan hukum (pasal 259), semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selaian dari putusan MA, Jaksa Agung, dapat mengajukan satu kali permohonan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. (b) Herziening, peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 263:1). Peninjauan ini diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Alasan pengajuan (pasal 263:2), apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui sebelum sidang berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala tuntutan, atau ketentuan lebih ringan (novum), apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.pengadilan ditetapkan. (3) Upaya hukum grasi, wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuma (pasal 14 UUD 1945)

Praperadilan (pasal 1:10) wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU tentang; sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarga atau pihak lain yang dikuasakan.

Selasa, 20 Maret 2012

Korupsi Membudaya, Koruptor Sama Dengan Budayawan?


 Korupsi Membudaya, Koruptor Sama Dengan Budayawan?


13295465431918610275
korupsi yang membudaya atau korupsi yang dibudayakan?

Tulisan ini terinspirasi ketika kami mengikuti pelatihan jurnalistik anti korupsi pada akhir Dsember lalu. Kegiatan tersebut bagian dari acara HUT Arena, yang merupakan unit kegiatan mahasiswa di kampus kami.
Waktu itu salah satu materi diisi oleh Laras Susanti, S.H dari PUKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi). Ketika itu dia menyinggung fenomena korupsi yang sepertinya telah membudaya dibanyak kalangan. Namun jika korupsi memang sepertinya telah membudaya, apakah layak mereka disamakan dengan budayawan?
Melihat dari arti sesungguhnya, budaya itu hasil rasa, cipta dan karsa. Budaya itu hasil dari pemikiran manusia yang bersifat positif. Dan biasanya budaya tersebut diterima oleh semua masyarakat. Bisa dikatakan bahwa budaya itu bagian dari kehidupan manusia.
Lalu bagaimana dengan korupsi? Apakah itu hasil dari pemikiran manusia yang bersifat positif? Jelas tidak. Tindakan korupsi jelas tidak diterima oleh semua masyarakat. Dengan begitu korupsi tidak layak disebut sebagai sebuah budaya. Pada paragraf sebelumnya dijelaskan bahwa budaya itu hasil pemikiran positif manusia. Korupsi itu negatif. Berarti korupsi itu bukanlah sebuah budaya. Seharusnya penggunaan kata “korupsi” tidak dapat disandingkan dengan kata “budaya”.
Jika korupsi itu dicap sebagai sebuah budaya, walaupun itu dalam arti budaya yang tidak baik, apakah layak mereka yang korupsi itu juga disebut budayawan? Pasti itu tidak dapat diterima. Mana mungkin Butet Kertaradjasa, Sujiwo Tejo, Emha Ainun Najib dan budayawan lainnya disamakan dengan para koruptor. Pasti mereka akan protes keras. Maka untuk selanjutnya, lebih baik seharusnya korupsi itu tidak disandingkan dengan kata budaya. Namun melihat kondisi saat ini dimana korupsi telah merajalela, kata apa yang cocok dipakai untuk menggambarkannya? Mari kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia…  :)

Senin, 19 Maret 2012

uu_nomor_12_tahun_1980hak_keuangan_administratif_p impinan_dan_anggota_lembaga_tertinggi_tinggi_negara _serta_bekas_pimpinan_lembaga_tertinggi_tinggi_nega ra_dan_bekas_anggota_lembaga_tinggi_negara.pdf

http://adf.ly/6RGMd

uu_nomor_12_tahun_2008perubahan_kedua_atas_undang- undang_nomor_32_tahun_2004_tentang_pemerintahan_dae rah.pdf

http://adf.ly/6RFxY

uu_nomor_13_tahun_2006perlindungan_saksi_dan_korba n_.pdf

http://adf.ly/6RFoq

uu_nomor_14_tahun_2005guru_dan_dosen.pdf

http://adf.ly/6RFf7

uu_nomor_14_tahun_2008keterbukaan_informasi_publik .pdf

http://adf.ly/6RFOB

uu_nomor_19_tahun_2006dewan_pertimbangan_presiden. pdf

http://adf.ly/6RFH8

uu_nomor_23_tahun_2002perlindungan_anak.pdf

http://adf.ly/6RF7S

uu_nomor_24_tahun_2003mahkamah_konstitus2i.pdf

http://adf.ly/6RExO

uu_nomor_25_tahun_2003perubahan_atas_undang-undang

http://adf.ly/6REkn

uu_nomor_30_tahun_2002komisi_pemberantasan_tindak_ pidana_korupsi.pdf

http://adf.ly/6REZJ

uu_nomor_32_tahun_2002penyiaran_2.pdf

http://adf.ly/6REEi

uu_nomor_34_tahun_1999pemerintah_provinsi_daerah_k husus_ibukota_negara_ri_jakarta_2.pdf

http://adf.ly/6RDrj

Minggu, 18 Maret 2012

Pemilih Tetap Pilkada Aceh 3,244 Juta


Pemilih Tetap Pilkada Aceh 3,244 Juta


Selasa, 6 Maret 2012

                       BANDA ACEH - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan pemilih pilkada gubernur dan wakil gubernur yang digelar 9 April 2012 sebanyak 3,244 juta orang.
Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih KIP Aceh Tgk Akmal Abzal di Banda Aceh, Senin (5/3), mengatakan, jumlah tersebut bertambah dari daftar pemilih sementara yang ditetapkan 7 Januari 2012.
"Setelah kami duduk dengan 23 KIP kabupaten/kota, maka ditetapkan jumlah pemilih sebanyak 3.244.680 orang. Jumlah ini bertambah sekitar 17.094 pemilih dari daftar pemilih sementara yang banyaknya 3.227.586 orang," katanya.
                             Dari jumlah tersebut, tutur dia, pemilih tetap laki-laki mencapai 1.600.854 orang dan perempuan 1.643.826 orang dengan jumlah pemilih pemula mencapai 88.499 orang.
Ia menyebutkan, jumlah pemilih tetap terbanyak ada di Kabupaten Aceh Utara mencapai 377.780 orang dan pemilih tetap paling sedikit dari 23 kabupaten/kota di Aceh adalah Kota Sabang dengan jumlah 23.871 pemilih.
                     Ia menegaskan, dengan ditetapkan daftar pemilih tetap tersebut, maka bagi yang tidak terdaftar tidak diperkenankan memilih calon kepala daerah pada pilkada.
"Kami tegaskan, yang tidak masuk DPT tidak berhak menggunakan hak pilihnya. Apalagi kamu sudah mengimbau masyarakat untuk memastikan namanya sudah terdaftar," ucapnya.
Tgk Akmal Abzal mengakui pendataan pemilih pilkada tersebut merupakan pekerjaan melelahkan, menyusul berulang kalinya terjadi pergeseran jadwal pilkada.
KPU Tasik Verifikasi Calon Perseorangan
TASIKMALAYA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tasikmalaya memverifikasi dokumen dukungan terhadap satu pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tasikmalaya dari calon perseorangan.

                        "Kita baru menerima satu pasangan calon dari kalangan perseorangan," kata Ketua Pokja Pencalonan KPU Kota Tasikmalaya, Yusuf Abdullah, kepada wartawan, di Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (5/3).
Pasangan calon wali kota bukan dari kalangan partai politik itu, yakni Mumung Marthasasmita yang berprofesi sebagai dosen, dan calon wakilnya Taufik Faturohman dari kalangan budayawan Sunda.
KPU Kota Tasikmalaya, tutur Yusuf, telah menerima dokumen dukungan berupa foto kopi kartu tanda penduduk (KTP) milik warga Kota Tasikmalaya sebagai persyaratan calon perseorangan untuk maju mengikuti proses selanjutnya hingga dapat mengikuti pilkada. "Saat ini sedang Verifikasi bukti dukungan calon perseorangan itu. Belum dapat kita pastikan lolos, karena calon perseorangan sebelumnya juga ada yang tidak memenuhi syarat," katanya.
Sementara itu, KPU Kota Tasikmalaya masih menerima calon dari perseorangan, sedangkan pendaftaran calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tasikmalaya dari partai politik mulai dibuka 11 hingga 17 Maret 2012. "Tanggal 11 Maret hingga 17 Maret kita buka pendaftaran calon dari partai politik dan kita juga masih menerima dari calon perseorangan," ujar Yusuf. (Ant)

AKSI MASSA


 
AKSI MASSA
PBNU Imbau Mahasiswa Tidak Anarkis 

Sabtu, 17 Maret 2012

                 JAKARTA (Suara Karya): Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamat Effendy Yusuf berharap para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menolak harga BBM harus tetap berpegang pada etika dengan tidak merusak, anarkis dan sebagainya. Demo itu kalau bisa secara besar-besaran bersama rakyat.
               Sebaliknya, aparat kepolisian juga tidak boleh sewenang-wenang melakukan pemukulan, menendang, menginjak-injak dengan menyerang mereka ke dalam kampus, gedung organisasi, dan apalagi sampai masuk masjid tanpa melepas sepatu. Mereka itu bukan pemberontak.
"Biarkan mahasiswa itu demo. Tidak usah takut. Kan, mereka bukan pemberontak. Saya yakin demo mahasiswa itu untuk menyampaikan aspirasi dari hati nurani yang munri. Mereka ini mayoritas adalah anak-anak orang daerah yang tahu persis akan implikasi dan dampak dari kenaikan harga BBM itu akan menyulitkan rakyat," kata Slamet pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (16/3).
Yang harus digarisbawahi lanjut Slamet, demo itu untuk menyampaikan aspirasi menolak kenaikan harga BBM. Selain berorasi, menuliskan pada spanduk-spanduk, bendera, stiker dan kalau bisa bersama rakyat sebanyak-banykanya, dengan catatan jangan sampai anarkis dan melakukan kekerasan. "Jadi, demo itu harus kuat pada pesannya, yaitu menolak kenaikan harga BBM," ujar Ketua MUI Pusat ini.
Sejauh itu menurut mantan Ketua Umum DPP GP Ansor ini, demo itu jangan dianggap makar. Itu berlebihan. Yang terpenting, pemerintah harus mendengarkan aspirasi rakyat untuk mencari solusi dengan alasan tidak hanya untuk menyelamatkan APBN. Kalau untuk APBN terus mengorbankan penderitaan rakyat, itu tidak perlu.
"Apapun alasannya kenaikan BBM ini akan berdampak luas bagi rakyat. Selain mencari solusi lain, kalau bisa kenaikan BBM ini dilakukan secara bertahap," tambah Slamet.
Yang pasti dengan demo yang makin besar-massif menolak kenaikan harga BBM tersebut menurut Slamet, kedua belah pihak, baik mahasiswa dan aparat kepolisian harus sama-sama menjunjung tinggi etika demo dan etika pengamanan. "Mahasiswa tidak anarkis, dan aparat juga tidak represif, tapi coba melakukan pendekatan secara pesuasif. Toh, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah," tutur Slamet lagi.(Rully)

AMANDEMEN UUD 1945


AMANDEMEN UUD 1945
Marzuki Dukung Peningkatan Fungsi DPD 

Sabtu, 17 Maret 2012
JAKARTA (Suara Karya): Ketua DPR RI, Marzuki Alie secara pribadi mendukung upaya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengamandemen UUD 1945. Langkah ini untuk meningkatkan fungsi DPD dan MPR di parlemen.
"Namun sayangnya, upaya dukungan saya ini tak sepenuhnya dikutip pers sehingga pihak DPD tak menangkap pesan saya seutuhnya," ujar Marzuki di gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/3).
Sebelumnya, Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyayangkan pernyataan Marzuki karena kurang memahami tugas dan fungsi DPD. Pernyataan Hemas ini menjawab pernyataan Marzuki yang menyebutkan DPD tidak ada gunanya.
"Sangat disayangkan bila masih ada pemimpin lembaga Negara tidak memahami fungsi dan tugas DPD dan berani mengeluarkan pernyataan yang tidak tepat," jelasnya.
Menurut Hemas pemahaman terhadap tugas ideal DPD mestinya merupakan pengetahuan dasar pemimpin lembaga negara sehingga tak perlu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontradiktif dan tak dibutuhkan rakyat.
Marzuki berharap, seyogianya pimpinan DPD mengklarifikasi pernyataannya itu sebelum dipublikasi ke media massa. "Kok sikap pimpinan DPD yang langsung menyerang pribadi saya seolah saya tidak paham akan peran dan tugas DPD. Justru karena saya paham, saya mengatakan itu," ujar Marzuki.
Dia meyakini kesalahpahaman ini karena pers tak utuh mengutip pernyataannya. Dalam pengarahan kepada siswa-siswi SMU Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (14/3) lalu, Marzuki menilai perlunya amandemen UUD 1945.
"Tanpa amandemen maka beberapa hal seperti otonomi daerah, system presidensial dan fungsi dan peran DPR yang dominan yang membuat lembaga di parlemen seperti DPD dan MPR seperti saat ini tidak memiliki fungsi sama sekali. Karena itu memang diperlukan mengamandemen UUD," klarifikasinya.
Jika ditelisik, pernyataan itu mendukung DPD mengamandemen UUD 1945. "Saya yakin pernyataan saya benar. Sayangnya lagi bukannya mereka mengklarifikasi kepada saya, mereka langsung bicara keras bahwa saya tidak paham peran DPD," jelas Marzuki dengan heran.
Kekuasaan Mutlak

Marzuki menjelaskan, dengan reformasi, UUD 1945 mengalami amandemen, terutama pada kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara. Amandemen itu membuat tidak ada lagi institusi yang memiliki kekuasaan mutlak.
Semua kewenangan terdistribusi secara independen dan saling mengawasi antara eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dia menyontohkan soal pembagian kewenangan yang terjadi pada lembaga legislatif. Dengan reformasi, lembaga legislatif bertambah melalui kehadiran DPD yang merupakan wakil dari setiap provinsi.
"Selama ini yang terjadi adalah kewenangan DPD hanya sebatas memberikan rekomendasi ke DPR atas produk Undang-Undang dan rancangan anggaran. Namun rekomendasi dari DPD pun tak memiliki efek tekanan terhadap DPR. DPR tidak bisa diberikan sanksi jika tidak mempedulikan rekomendasi DPD," jelas dia.
Sementara, DPR yang memiliki kewenangan legislasi dan anggaran juga belum mampu berperan dalam menghasilkan UU sesuai target. DPR lebih cenderung mengkritisi kebijakan anggaran yang diajukan pemerintah.
Itu terjadi karena DPR memiliki keterbatasan perangkat, khususnya tenaga ahli yang sesuai bidangnya. Rencana untuk mendirikan Budget Centre dan Law Centre pun belum terealisasi sampai saat ini.
"Jadi tidak ada saya mau menyerang DPD, saya justru mendukung langkah DPD. Sayang sekali pimpinan DPD tidak mengklarifikasi terlebih dahulu kepada saya. Kalau mereka tidak mau saya dukung yah tidak apa-apa, saya diam saja, biarkan saja kondisi mereka seperti sekarang ini," tegas Marzuki. (Feber S)

INDEPENDENSI KPK


INDEPENDENSI KPK
DPR "Pasang Badan" Lindungi Abraham 


Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR
Sabtu, 17 Maret 2012
                           JAKARTA (Suara Karya): Kalangan DPR yakin ada pihak-pihak tertentu yang tengah berupaya mendongkel posisi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad.
Hal itu berkaitan dengan sepak terjangnya yang selama ini dinilai terlalu berani. Karena itu, sejumlah anggota DPR menyatakan kesiapannya untuk "pasang badan" membela Samad yang dinilainya telah membuat proses hukum kasus dugaan korupsi mengalami kemajuan.
"Kepemimpinan Abraham Samad telah membuat proses hukum berbagai kasus korupsi besar yang selama ini jalan di tempat menjadi makin maju. Misalnya, penyidikan kasus cek pelawat, wisma atlet, proyek Hambalang, dan skandal Bank Century, menjadi lebih terbuka," ujar anggota Komisi III DPR Ahmad Yani kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (16/3).
Oleh sebab itu, kepemimpinan KPK yang baru perlu mendapat dukungan dari semua pihak untuk membongkar kasus-kasus besar, termasuk dari DPR. KPK harus lebih fokus dan berani mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang mendapat perhatian publik.
"Saya juga akan pasang badan untuk Abraham. Kita ingin KPK fokus menangani kasus besar. Sebab, kalau KPK menangani kasus besar, mafia-mafia akan ketakutan," ujar Yani.
Dukungan yang sama juga disampaikan anggota Komisi III Akbar Faisal. Ia menaruh harapan terhadap Samad yang telah menunjukkan keberaniannya membongkar kasus-kasus besar, sekalipun melibatkan petinggi partai politik, seperti mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh.
"Saya minta Pak Samad tidak mundur dan tidak takut pada pihak-pihak yang berupaya menggoyang dirinya. Kalau ada yang main-main dengan Abraham, ya berhadapan dengan banyak orang, termasuk saya," ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura ini.
Pembelaan dan dukungan terhadap Abraham juga disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo. Ia mengingatkan kepada pihak-pihak tertentu agar jangan coba-coba mendongkel Samad.
                         Menurut dia, orang yang tidak suka dengan sepak terjang Abraham karena mereka khawatir dilibas terkait kasus korupsi yang didorong Ketua KPK itu. "Publik sangat marah terhadap berbagai upaya pelemahan yang terus-menerus dilakukan pihak-pihak yang mulai terganggu dan terpojok karena keberanian Abraham," ujar Bambang.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, menuturkan tugas Ketua KPK tidaklah mudah. Banyak hambatan dan tekanan terkait penyelesaian perkara korupsi yang ditanganinya.
                    Namun, Martin meminta semua pihak mengingatkan Abraham agar menjaga keharmonisan di internal KPK, baik di antara sesama pimpinan, maupun dengan sesama staf atau penyidik.
Hal itu sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya upaya penggembosan yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap KPK. Menurut Martin, upaya penggembosan KPK bisa dilakukan melalui berbagai cara.
"Abraham ini harus diingatkan agar lebih berhati-hati karena para koruptor akan menggunakan bermacam cara untuk menggembosi KPK. Bisa melalui harta, wanita, keluarga, dan pertemanan," ujarnya.
                Menurut dia, Abraham dan seluruh pimpinan serta staf KPK, termasuk para penyidik, harus menyadari bahwa korupsi merupakan musuh bersama. Karena itu, kekompakan dan soliditas KPK harus dijaga.
"Terhadap para penyidik KPK, Abraham bisa meyakinkan mereka bahwa kegeraman rakyat terhadap korupsi sudah di leher," ujarnya.
Dari Kupang, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengingatkan agar para pimpinan KPK tetap konsisten memberantas korupsi kendati ada perbedaan pendapat di antara mereka.
"Menurut saya, di internal boleh saja terjadi perbedaan pendapat. Biasa saja silang pendapat, tapi begitu keputusan yang dibuat lalu aturannya dibuat, ada AD-ART, jadi itulah aturan yang harus dijalankan dan konsekuen dalam teknisnya," tutur Mega.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum segera diperiksa terkait penyelidikan kasus proyek kompleks olahraga di Hambalang, Bogor, senilai Rp 1,3 triliun. (Sugandi/Jimmy Radjah)

KETATANEGARAAN


      KETATANEGARAAN
UUD 1945 Tidak Mengatur Jabatan Wamen 

Sabtu, 10 Maret 2012
                          JAKARTA (Suara Karya): Ahli hukum tata negara DR Irman Putra Sidin menilai jabatan wakil menteri (Wamen) inkonstitusional karena muncul norma susupan dan tidak diatur Undang-Undang Dasar 1945.
"Wamen itu inkonstutisional karena mengharuskan Wamen pejabat karier. Seharusnya, itu jabatan yang sama dengan jabatan menteri karena anak kandung dari Bab Kementerian Negara dalam UUD 1945," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/3).
Selain itu, jabatan Wamen bertentangan karena dalam bagian penjelasan Undang-Undang Kementerian Negara, muncul norma susupan yang menyebut Wamen adalah pejabat karier.
Demi rasa keadilan, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir konstitusi harus berani menyatakan bahwa UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang dijadikan sebagai pijakan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 adalah dinyatakan bertentangan.
Untuk diketahui, pengangkatan Wamen mengacu pada Pasal 70 ayat 3 Perpres Nomor 39 Tahun 2008 yang menyebutkan, seseorang bisa menjadi Wamen jika telah atau pernah duduk sebagai eselon IA. Perpres yang kemudian diubah menjadi Nomor 76 Tahun 2011 tidak lagi mencantumkan aturan syarat harus pernah mengenyam eselon IA.
        Sementara itu, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus menyatakan, posisi Wamen menabrak UUD 1945 karena dalam UU ini tidak mengenal istilah jabatan tersebut.
Dua Perpes yang disebut mengacu pada UU Kementerian Negara yang dijadikan sebagai dasar lahirnya istilah Wamen, kata Iskandar, menunjukan bahwa pemerintah SBY telah melakukan tindakan yang tidak pernah dilakukannya sebelum lahirnya UU Kementerian Negara yang menimbulkan konsekuensi upaya tersebut bertentangan terhadap UUD 1945.
Bukan hanya bertentangan, jabatan Wamen berimplikasi menyedot APBN dan irasional jika dikatakan sebaliknya. "Logikanya, jika tidak ada posisi Wamen, maka APBN tidak perlu membiayainya. Tapi pemerintah menyebut, posisi Wamen malah menghemat APBN sebab ada kinerjanya. Timbul pertanyaan, mengapa tidak semua saja posisi Menteri diberi Wamen?" ungkapnya.
Oleh sebab itu, IAW mendorong MK membatalkan jabatan Wamen. "Kita tinggal menunggu kejelian dan kecerdasan dari Majelis Hakim MK yang memeriksa uji materi atas Pasal 10 UU Kementerian Negara dengan UUD 1945," kata Iskandar. (Jimmy Radjah)

Kamis, 15 Maret 2012

uu_nomor_39_tahun_1999hak_asasi_manusia.pdf

http://adf.ly/6JtiH

uu_nomor_39_tahun_2008kementerian_negara.pdf

http://adf.ly/6JtUi

uu_nomor_42_tahun_2008pemilihan_umum_presiden_dan_ wakil_presiden.pdf

http://adf.ly/6JtLj

uu_nomor_43_tahun_1999perubahan_atas_uu_nomor_8_ta hun_1974_tentang_pokok-pokok_kepegawaian.pdf

http://adf.ly/6JtAF

uu_nomor_43_tahun_2009kearsipan_2.pdf

http://adf.ly/6Jsru

uu_nomor_49_tahun_2009perubahan_kedua_atas_undang- undang_nomor_2_tahun_1986_tentang_peradilan_umum_2. pdf

http://adf.ly/6JsH0

uu_nomor_51_tahun_2009perubahan_kedua_atas_undang- undang_nomor_5_tahun_1986_tentang_peradilan_tata_us aha_negara.pdf

http://adf.ly/6JrXF

uu 1945

http://adf.ly/6Jp2P

UP-DATE BERITA


UP-DATE  BERITA

BAGAI MANA TANGGAPAN TEMAN-TEMAN SETELAH MEMBACA BERITA DI BAWAH INI, DAN BAGAI MANAKAH JIKA SALAH SATU DARI ANGGOTA KELUARGA KITA MENGALAMI KEJADIAN INI




SYARAT PENGAJUAN MEMBERATKAN WARGA




          Demi mendapat layan jaminan kesehatan daerah,( Jamkesda ) Wahyudi ( 27 ) merelakan hari rabunya. Sejak pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB, ia mondar mandir  demi mendapatkan fasilitas berobat gratis untuk masalah sesak nafasnya, selama ini.
          Mengenakan  sweater  dan celana jeans hitam, wahyudi duduk tepat disebalah loket pendaftaran Jakesda diAula kantor Dinas Kesehatan ( Diknes ) Kabupaten Bantul.sejak pukul 14.00 hingga 14.30 WIB, pekerja swasta itu tidak pernah beranjak dari tempat duduknya.
          Saat menunggu wajahnya kuyu, duduknya  pun  membungkuk, rupanya sudah sejak pagi ia bolak balik ke berbagai instansi untuk mengurus administrasi jamkesda.Bukan perjalanan yang singkat untuk bolak balik karena jarak dari kampungnya ke pusat kabupaten bntul ia tempuh lebih dari 20 menit.
          ‘’sebenarnya gak sulit’ kalau tidak dipersulit’’ ucap seorang warga yang sama dengan Wahyudi.
Wahyudi bercerita, keinginnya mengurus Jamkesda itu karena selama ini ia menderita sesak nafas tiap malam.Tetapi ia bingung karena tidak mempunyai jaminan kesehatan. Takut biayanya mahal.Oleh karena ituia berinisiatif mengurus Jamkesda. Dengan harapan, ia bisa berobat gratis.
          Sekita pukul 09.00 ia berangkat ke kelurahan untuk mengurus surat keterangan miskin. Kemudian meminta legalisir di kecamatan, setalah itu, ia ke puskesmas
                   Nah , di sinilah ia mulai capek. Saat di puskesma untuk meminta surat rujukan ia bingung kepada siapa. Karena bingung ia pun memilih menulis Kepada Jamkesda. Sesampainya di  Kantor Badan Kesejahteraan Keluarga Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berancana ( BKKPPKB ) untuk mendaftarkan namanya di daftar penerima, ia langsung di salahkan.
          ‘’yang bikin capek itu tidak diberitahu di mana salahnya, seharusnyakan di beritahu. Namanya juga orang tidak tahu. Tadi malas di suruh cari sendiri’’, ucapnya.

          Akibatnya ,ia harus membetulkan tulisan’’kepada’ itu menjadi RSUD penambahan senopati dengan menggunakan tipe-x  ternyata ia disuruh kembali ke puskesmas untuk meminta tulisan yang baru, tanpa penghapus. Alhasil, sampai siang hari ia baru sampai di Kantor Dikns.
          Wahyudi berkata seharusnya ada semacam tulisan syarat-syarat administrasi di kantor itu agar mengurus tidak bingung.Dari yabg ia perhatikan ,tidak ada sama sekali. Kalaupun tidak ada seharusnya petugas melayani dengan ramah.

          Kepala Unit Pelaksana Teknis ( UPT ) Jamkesda Dinkes Bantul, Bambang Agus Subekti menjelaskan, pihaknya hanya bertugas menerima persyaratan administrasi. Untuk urusan pendaftaran, itu BKK PP KB. Jika pihak disana telah mendaftarkan atau memasukkan maka menggantinya UPTnya yang memproses Jamkesda seseorang.



TANGGAPAN DAN SARAN TEMAN-TEMAN TERHADAP            BERITA DI ATAS, TULIS DI KOTAK KOMENTAR…..

Rabu, 14 Maret 2012

uu_no 12_thn_1980_hak keuangan administratif_pimpinan anggota _lembaga_tertinggi_tinggi_ negara serta bkas pimpinan _lemtina _dan bekas anggota

http://adf.ly/6Hlc4

uu_no_11_2008_informasi_dan_transaksi_elektronik

http://adf.ly/6HlIE

uu_no_11_thn_1969_pensiun_pegawai_dan_pensiun_janda_duda_pegawai2

http://adf.ly/6Hl2e

uu_no_10 thn_2008_pemilihan_umum_anggota_dewan_perwakilan_rakyat_dewan_perwakilan_daerah_dan dewan_perwakilan _rakyat_daerah

http://adf.ly/6Hkgg

uu_8_thn_2005_penetapan_perpu_no_3_tahun_2005_tentang _perubahan_ atas_uu_no_32_ thn_2004 tentang _pemerintahan_ daerah_menjadi _undang-undang

http://adf.ly/6HkJM

uu_no_9_thn _2009_badan_hukum_pendidikan

http://adf.ly/6Hji6

uu_no 8_thn 1974_pokok_kepegawaian

http://adf.ly/6HjDg

uu_no_7_thn_1978_hak_keuangan_administratif_presiden-dan-wakil presiden _serta _bekas _presiden_dan_wakil_presiden

http://adf.ly/6HiOH

uu_no 5_thn_1999_ tentang larangan_praktek_mono_poli_dan persaingan_usaha _tidak_sehat

http://adf.ly/6HhDM

Selasa, 13 Maret 2012

uu_no 4_thn_1999 susunan_dan_ kedudukan MPR

http://adf.ly/6Fksy

uu_no_3 thn 1999_ pemilihan umum

http://adf.ly/6Fkg8

uu_no-2_ thn _2008 partai politik

http://adf.ly/6FkUP

uu no 2 tahun 2005 penetapan _perpu_ no_1- tahun_2005 _tentang_penangguhan_ mulai_berlakunya_ uu_no_2_thn _2004 tentang_penyelesaian_penyelesiihan_ hubungan _industrial_ menjadi_uu

http://adf.ly/6FjuN

uu_nomor_1 tahun_1974 perkawinan

http://adf.ly/6FjkF

uu_2009_27

http://adf.ly/6FjXI

UU-1958_7_dpd

http://adf.ly/6FjMr

uu no 4 thn 1999 susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPD

http://adf.ly/6Fj81

UU no 50 Thn 2009 Tentang Peradilan agama

http://adf.ly/6Fiuj

UU NO 39 Thn 2009

http://adf.ly/6Fihl

UU 27 Thn 2009 Tentang MPR

http://adf.ly/6FiSg

Tugas Wewenang Dan Peran MPR Pasca Perubahan UU

http://adf.ly/6Fi1e

Sistem Pendidikan

http://adf.ly/6Fhqe

Repormasi Hukum di Indonesia


http://adf.ly/6FhjW

pokok2 kepegawian

http://adf.ly/6FhXU

pendidikan pancasila

http://adf.ly/6Fh1Y

Penanganan konflik sosial

http://adf.ly/6FgDk

Kumpulan UU

http://adf.ly/6FfnI

Korupsi

http://adf.ly/6FfOE

Kepolisian

http://adf.ly/6Ff8V

Kekuasaan Kehakiman

http://adf.ly/6FeVQ

Hukum Tata Negara Republik Indonesia

http://adf.ly/6Fe3N

Deklarasi Universal Ham




bab 1V Sistem dan Klasifikasi Hukum

http://adf.ly/6FdfJ

bab-1-pengertian-dan tujuan-hukum


http://adf.ly/6FdPc

1867 ilmu politik ( 1 )


http://www.4shared.com/office/SS-IuPMc/1867_Politik_Hukum__1_.html

Senin, 12 Maret 2012

uu-no-20-thn-2003 sisdiknas


http://www.4shared.com/file/V3a_e9W-/uu-no-20-th-2003-sisdiknas.html

uu-no-6-thn-1983

http://adf.ly/6E46a-

uu-no-02-2008-parpol

http://adf.ly/6E3tM

Sistem dan Klasifikasi Hukum


BAB IV
Sistem dan Klasifikasi Hukum
Pokok Bahasan
A. Pengertian Sistem Hukum
B. Sifat Sistem hukum
C. Materi sistem hukum
D. Macam-macam sistem hukum
E. Klasifikasi Hukum
A. Pengertian Sistem Hukum
• Menurut Sudikno Mertokusumo:
“Hukum merupakan suatu sistem berarti
hukum itu merupakan tatanan, merupakan
kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang 
saling berkaitan.

• Menurut Satjipto Raharjo:
“Sistem itu mempunyai dua pengertian, 
pertama sebagai jenis satuan yang 
mempunyai tatanan tertentu (adanya
struktur) yang tersusun dari bagianbagian. Kedua, sistem sebagai suatu
rencana, metoda atau prosedur untuk
mengerjakan sesuatu
Jadi, sistem hukum merupakan suatu
keteraturan dari suatu tatanan yang terdiri
dari unsur-unsur yang mempunyai
interaksi satu sama lain dan bekerjasama
dalam mencapai tujuan

B. Sifat Sistem hukum

• Menurut LH.Friedman, suatu sistem
hukum dapat dibagi ke dalam 3 bagian
atau komponen yaitu komponen struktural; 
komponen substansi dan komponen
budaya 
adalah bagian dari 
1.Komponen struktural 
sistem hukm yang bergerak di dalam
suatu mekanisme. Contohnya lembaga
pembuat UU, pengadilan dan berbagai
badan yang diberi wewenang untuk
menerapkan dan menegakkan hukum.
adalah suatu hasil Komponen substansi
nyata yang diterbitkan oleh hukum. Hasil
nyata ini dapat berbentuk hukum in 
concreto atau kaidah hukum individual 
maupun hukum in abstracto atau kaidah
hukum umum
, adalah Komponen Budaya hukum •
setiap tindak warga masyarakat beserta
nilai-nilai yang dianutnya berkaitan dengan
hukum artinya siapa saja yang 
memutuskan untuk menghidupkan atau
mematikan, menetapkan bagaimana
mesin itu digunakan.
Fungsi Hukum:
• Bekerjanya ketiga komponen sistem
hukum tadi, melahirkan fungsi dari hukum
sebagai kontrol sosial.
Principle of legality (Fuller)
1. Suatu sistem harus mengandung
peraturan-peraturan, tidak boleh sekedar
putusan yang bersifat ad-Hoc
2. Peraturan yang telah dibuat harus
diumumkan
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku
surut
4. Peraturan harus disusun dalam rumusan
yang bisa dimengerti
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu
sama lainnya
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung
tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering
mengubah, hal ini akan menyebabkan seorang
akan kehilangan orientasi
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang 
diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.Herlindah, S.H., M.Kn
B. Sifat Sistem Hukum
Teratur/konsisten
Lengkap
Tidak kenal konflik

C. Materi Sistem Hukum

• Pendapat Shorde dan Voich (Satjipto
Rahardjo hal 48) bahwa materi dalam
sistem hukum adalah berorientasi pada
tujuan (hukum) dan kaidah atau nilai-nilai
yang terkandung di dalam peraturan
konkrit.
Orientasi
Tujuan
Hukum
Nilai/
kaidah
Peraturan
konkrit

D. Macam Sistem Hukum

abstrak konkrit
terbuka
tertutup
E. Klasifikasi Hukum
1. Kriteria fungsi hukum: Hukum
Materiil><Hukum formiil
2. Daya kerjanya: bersifat memaksa>< 
bersifat melengkapi
3. Sudut wujudnya: Hukum tertulis>< tidak
tertulis
4. Wilayah Berlaku: Hukum
Nasional><Hukum Internasional
5. Segi isinya: Lex Generalis (umum)>< lex
specialis (khusus)
6. Kepentingan untuk mengatur: Hukum
Publik>< hukum private

Minggu, 11 Maret 2012

Forex menurut Hukum Islam


                                                         Forex menurut Hukum Islam
 |                                                               Author: sinjotaro

Investasi FOREX trading merupakan investasi yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh profit yang cukup lumayan dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan kehadiran Broker forex online yaitu Marketiva yang memberikan jasa forex signal di internet, semakin memudahkan setiap orang untuk mendulang profit di bisnis ini bahkan tanpa harus melewati upaya belajar yang terlalu lama dan tanpa harus memahami analisa teknikal/maupun fundamental yang memusingkan kepala.

Penghasilan para trader-trader forex profesional sangat dan jauh meninggalkan para pelaku-pelaku bisnis lainnya seperti para pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional. Tapi kemudian banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang diperoleh bisnis forex trading ini dikarenakan sifatnya yang abstrak dan tidak kasat mata.


Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam?

Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.

Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.

Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.

Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar , MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.

Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.

Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional.

Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.

Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.

Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea.

Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.

Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.

Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.

Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.

Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.

Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut :

Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:

Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul . Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).

Syarat-syarat

Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst.

Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.

Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya.

Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay’ al-salam.

بســـــــم الله الرحمن الرحيـــــــم

Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam.

Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.

Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.

HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS
1. Ada Ijab-Qobul: —> Ada perjanjian untuk memberi dan menerima

* Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
* Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
* Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)

2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:

* Suci barangnya (bukan najis)
* Dapat dimanfaatkan
* Dapat diserahterimakan
* Jelas barang dan harganya
* Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
* Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.

Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama.

لاتشترواالسمك فیالماءفاءنه غرد

“Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan”. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)

Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:

من سترئ شيتالم يرهفله الخيارإذاراه

“Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.

Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam:

المشقة تجلب التيسر

Kesulitan itu menarik kemudahan.

Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus/tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.

POLITIK HUKUM KOLONIAL TERHADAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA


                  POLITIK HUKUM KOLONIAL TERHADAP HUKUM ISLAM DI
                                                      INDONESIA
                                                        Oleh :
                                AHMAD SYAFRUDDIN, SHI, M
                            (Cakim pada Pengadilan Agama Bukittinggi)
A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang saling berkaitan antara
sub sistem-sub sistem hukum yang terlingkup di dalamnya. Sub sistem
dimaksud di antaranya mencakup hukum pidana (jinayah), perdata
(muamalah), maupun politik (siyasah). Sebagai sumber dari segala sumber
hukum ditetapkan al Qur‟an dan al Sunnah. Adapun metode untuk memahami
dan mengeluarkan hukum dari  kedua sumber itu dipergunakan  Ijtihad.Oleh                                    
karena itu, tanpa adanya metode dalam memahami  kedua sumber hukum
tersebut maka usaha untuk memahami al Qur‟an maupun al Sunnah dalam
melahirkan konsep-konsep hukum adalah suatu pekerjaan sia-sia.
Jika di coba untuk memformulasikan defenisi hukum Islam sebagaimana
disinggung di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum Islam merupakan
hukum yang bersumber dari al Qur‟an dan al Hadits dengan melibatkan segala
daya upaya manusia untuk melahirkan interpretasi-interpretasi hukum yang
sistemis-metodis dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga terintegrasi
antara relasi vertikal dengan Allah maupun horizontal antar manusia. Dari
defenisi ini, tentunya kriteria yang paling berperan adalah dua relasi yang
disebut terakhir. Artinya, bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur aspek
jasmani berupa interaksi antar manusia melainkan juga mengatur aspek rohani
berupa interaksi manusia dengan khaliqnya.
Beranjak ke konteks Indonesia, hukum Islam memang telah lama
mendapat tempat di masyarakat Indonesia.
3
Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena–setidak-tidaknya–realitas mayoritas masyarakat Indonesia adalah
penganut agama Islam. Realitas lain yang hingga saat ini masih eksis adalah
keberadaan salah satu lembaga hukum di samping lembaga-lembaga hukum
lain yang ada. Lembaga yang dimaksudkan adalah Pengadilan Agama.                                          
Meskipun pengadilan ini memiliki wewenang di bidang keperdataan
namun tetap saja memberi bukti bahwa wujud dari pelembagaan hukum Islam
di negeri ini–sedikit–telah tercapai. Kenyataan ini tentunya tidak bisa
dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, apalagi pada saat
penjajah masih berkuasa. Sebagaimana diketahui, bangsa penjajah selain
bertujuan untuk mengeruk keuntungan ekonomi  (gold)  dari tanah jajahan
(glory)  juga mengemban misi agama  (gospel)  yang sama sekali berbeda
dengan agama mayoritas bangsa Indonesia.  Di antara  upaya yang dilakukan
untuk mewujudkan misi agama tersebut adalah dengan mempertentangkan
hukum adat dengan hukum Islam.  Inilah yang akan dipaparkan  lebih lanjut
dalam ruang tulis berikut.
B. Politik Hukum Kolonial terhadap Hukum Islam di Indonesia dilihat dari
beberapa Teori yang Dimunculkan
Seperti telah disinggung di awal tulisan ini bahwa di antara upaya yang
dilakukan oleh bangsa penjajah dalam menyebarkan misi agama mereka
                                              
4
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada  Pasal 49 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.

adalah dengan memasuki dan mencampuri hukum bangsa jajahan. Hukum
Islam sebagai hukum yang hidup dan diterapkan oleh masyarakat ketika itu
dipengaruhi bahkan sedikit demi sedikit disingkirkan. Kenyataan ini dapat
diinterpretasikan dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh mereka.
Sedikitnya, ada dua aturan yang diapungkan secara jelas dalam rangka
menghambat laju hukum Islam itu. Pertama adalah ketentuan  Pasal 163 IS
(Indische Staatsregeling) dan  kedua adalah  Pasal 131 ketentuan serupa. Di
ketentuan pertama, yakni Pasal 163 IS mereka membagi penduduk Indonesia
kepada tiga kelompok. Pembagian kepada tiga kelompok ini juga berimbas
kepada bidang hukum yang berlaku bagi masing-masingnya.
5
Kelompok
dengan dasar Pasal 131 IS ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Golongan Eropah
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
Golongan Eropah terdiri dari orang-orang Belanda, orang eropah lain di
luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain
dengan ketentuan wilayah  itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara
substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda.
Kemudian juga ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan UndangUndang serta anak-anak klasifikasi golongan eropah dimaksud yang lahir di
tanah jajahan. Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang
bukan golongan eropah maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di
                                              
5
Sekaitan dengan penjelasan ini lihat Riduan Syahrani,  Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum
Perdata, Bandung, Alumni, 1989, h. 2–7.5
antaranya adalah orang Arab, India, dan China. Sedangkan golongan terakhir,
yakni Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli.
Pengelompokan yang demikian ini–seperti disinggung terdahulu–berimbas
kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropah hukum yang berlaku
adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing
berlaku hukumnya sendiri. Selanjutnya bagi golongan terakhir–Bumi Putera–
hukum yang berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki
maka hukum eropah dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini
selanjutnya disebut sebagai penundukan diri terhadap hukum eropah, baik
secara sempurna maupun sebagian saja.
Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum eropah berlaku
utuh bagi setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum.
Dengan kata lain, subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan
eropah sehingga hukumnya juga hukum eropah. Berbeda halnya dengan jenis
penundukan hukum yang disebutkan terakhir. Pada penundukan ini, hukum
eropah baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan  oleh golongan
lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka.
Pemberlakuan  hukum adat bagi golongan Bumi Putera sudah  tentu
menimbulkan masalah. Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang
terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi
sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan adanya ketentuan
tertulis seperti dijelaskan terdahulu menimbulkan bias negatif terhadap hukum 6
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia  yang mayoritas Islam. Bias negatif
itu adalah membenamkan hukum Islam di bawah bayang-bayang hukum adat.
Hal ini sudah tentu dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, bangsa penjajah
selalu berusaha agar ideologi mereka bisa diikuti oleh bangsa jajahannya.
Seiring dengan usaha untuk menanamkan ideologi ini, ada tiga teori  yang
diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu
teori terakhir dilontarkan oleh orang Indonesia. Teori terakhir ini merupakan
teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu secara berurut adalah;
Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a Contrario.
6
1. Receptio in Complexu
Receptio in Complexu  merupakan teori yang dikemukakan oleh
Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini
bermakna bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang
seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang
beragama Islam maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku
baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat dipadankan
dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau sempurna”.
2. Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang
diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936). Teori ini
selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis  Van
Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941). Teori
                                              
6
Tentang teori-teori ini telusuri salah satunya di dalam Mohd. Idris Ramulyo,  Op. Cit, Sinar
Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995, h. 54–60.7
resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam
baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah
menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di bawah
hukum adat. Oleh  karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di
dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam
melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan
“teori penerimaan”.
3. Receptio a Contrario
Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan teori
pematah–populer disebut teori Iblis–yang dikemukakan oleh Hazairin
(1906–1975) dan Sajuti Thalib (1929–1990). Dikatakan sebagai teori
pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali
berlawanan arah dengan  receptie theorie  Christian Snouck Hurgronje di
atas. Pada teori ini justru hukum adatlah yang berada di bawah hukum
Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum
adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam.
Dari  ketiga teori ini terlihat bahwa usaha untuk meredam gerak maju
hukum Islam didasarkan kepada teori  kedua, yakni  receptie theorie. Hukum
Islam dianggap sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum adat. Oleh
karenanya, jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam namun menurut
ketentuan hukum tertulis–Pasal 131 IS–ia bukanlah hukum Islam  melainkan
hukum adat.8
Makna tersembunyi di balik pemberlakuan teori ini adalah dihadapkannya
bangsa penjajah ketika itu dengan tiga konsep hukum yang masing-masingnya
memiliki karakter tersendiri..  Ketiga konsep dimaksud adalah hukum Islam,
hukum Barat, dan hukum adat. Berhadapan dengan  ketiga konsep ini sudah
dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan hukum yang lebih
menguntungkan bagi mereka. Dan hukum  yang lebih menguntungkan itu
dijatuhkan kepada hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan semata-mata
adalah hukum bangsa penjajah sudah tentu tingkat kebencian dan permusuhan
terhadap mereka semakin besar. Oleh karena itu, untuk menghindari sisi
negatif ini mereka mengapungkan hukum adat yang memang menunjang
terhadap misi mereka. Dengan demikian, benar kiranya kalau hukum adat
dimaksudkan oleh bangsa penjajah untuk melumpuhkan gerak langkah
pelembagaan hukum Islam yang bermuara kepada tercapainya misi penjajahan
mereka.
7
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa politik hukum yang
dijalankan oleh bangsa penjajah selalu mengacu dan melindungi
kepentingan mereka di negeri jajahan. Kepentingan itu tidak hanya berada
                                              
7
Tentang pernyataan ini juga telah dikemukakan oleh Yaswirman dalam disertasinya. Ia
mengatakan bahwa pemberlakuan hukum adat tidak didasarkan kepada kenyataan hukum yang
hidup di masyarakat yang telah dipraktekkan sejak masa sebelumnya. Akan tetapi, hukum adat
hanya dimunculkan adalah untuk kepentingan kolonial serta memperkecil ruang lingkup hukum
agama. Lebih lanjut,  telusuri kembali Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, (Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam pada Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah), Jakarta, 1997, h. 82.9
pada lingkup ekonomi dengan keuntungan materilnya  tetapi  juga dalam
bidang hukum,  memunculkan hukum adat di atas hukum  agama dengan
tujuan menumbuhsuburkan politik devide et impera.
2. Rekomendasi
Pembangunan  dan pembaharuan  hukum nasional  yang terus
diupayakan  harus difokuskan kepada kebenaran  legal substance atau
substansi hukum bukan kepada  term atau label-label yang ada  sehingga
politik  devide et impera dapat dikikis dalam  kerangka  Negara Kesatuan
Republik Indonesia.10
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Friedmann, W, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum,
judul asli  Legal Theory, Penerj. Muhammad Arifin, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Cet. 3, 1990
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter
Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Cet. 1, 2000
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 1, Cet. 2, 1997
Manan, Abdul dan M. Fauzan,  Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed. 1, Cet. 5, 2002
Nottingham, Elizabeth K.,  Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, Penerj. Abdul Muis Naharong, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Cet. 7, 1997
Ramulyo,  Mohd. Idris,  Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995
Sjadzali, Munawir,  Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UIPress, Jakarta, Ed. 5, 1993
Syahrani, Riduan, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni,
1989
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 2, Cet. 2, 2001
Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum Kekeluargaan Islam di
Indonesia Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, (Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam pada Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah), Jakarta, 1997