Cari Blog Ini

Minggu, 11 Maret 2012

POLITIK HUKUM KOLONIAL TERHADAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA


                  POLITIK HUKUM KOLONIAL TERHADAP HUKUM ISLAM DI
                                                      INDONESIA
                                                        Oleh :
                                AHMAD SYAFRUDDIN, SHI, M
                            (Cakim pada Pengadilan Agama Bukittinggi)
A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang saling berkaitan antara
sub sistem-sub sistem hukum yang terlingkup di dalamnya. Sub sistem
dimaksud di antaranya mencakup hukum pidana (jinayah), perdata
(muamalah), maupun politik (siyasah). Sebagai sumber dari segala sumber
hukum ditetapkan al Qur‟an dan al Sunnah. Adapun metode untuk memahami
dan mengeluarkan hukum dari  kedua sumber itu dipergunakan  Ijtihad.Oleh                                    
karena itu, tanpa adanya metode dalam memahami  kedua sumber hukum
tersebut maka usaha untuk memahami al Qur‟an maupun al Sunnah dalam
melahirkan konsep-konsep hukum adalah suatu pekerjaan sia-sia.
Jika di coba untuk memformulasikan defenisi hukum Islam sebagaimana
disinggung di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum Islam merupakan
hukum yang bersumber dari al Qur‟an dan al Hadits dengan melibatkan segala
daya upaya manusia untuk melahirkan interpretasi-interpretasi hukum yang
sistemis-metodis dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga terintegrasi
antara relasi vertikal dengan Allah maupun horizontal antar manusia. Dari
defenisi ini, tentunya kriteria yang paling berperan adalah dua relasi yang
disebut terakhir. Artinya, bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur aspek
jasmani berupa interaksi antar manusia melainkan juga mengatur aspek rohani
berupa interaksi manusia dengan khaliqnya.
Beranjak ke konteks Indonesia, hukum Islam memang telah lama
mendapat tempat di masyarakat Indonesia.
3
Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena–setidak-tidaknya–realitas mayoritas masyarakat Indonesia adalah
penganut agama Islam. Realitas lain yang hingga saat ini masih eksis adalah
keberadaan salah satu lembaga hukum di samping lembaga-lembaga hukum
lain yang ada. Lembaga yang dimaksudkan adalah Pengadilan Agama.                                          
Meskipun pengadilan ini memiliki wewenang di bidang keperdataan
namun tetap saja memberi bukti bahwa wujud dari pelembagaan hukum Islam
di negeri ini–sedikit–telah tercapai. Kenyataan ini tentunya tidak bisa
dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, apalagi pada saat
penjajah masih berkuasa. Sebagaimana diketahui, bangsa penjajah selain
bertujuan untuk mengeruk keuntungan ekonomi  (gold)  dari tanah jajahan
(glory)  juga mengemban misi agama  (gospel)  yang sama sekali berbeda
dengan agama mayoritas bangsa Indonesia.  Di antara  upaya yang dilakukan
untuk mewujudkan misi agama tersebut adalah dengan mempertentangkan
hukum adat dengan hukum Islam.  Inilah yang akan dipaparkan  lebih lanjut
dalam ruang tulis berikut.
B. Politik Hukum Kolonial terhadap Hukum Islam di Indonesia dilihat dari
beberapa Teori yang Dimunculkan
Seperti telah disinggung di awal tulisan ini bahwa di antara upaya yang
dilakukan oleh bangsa penjajah dalam menyebarkan misi agama mereka
                                              
4
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada  Pasal 49 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.

adalah dengan memasuki dan mencampuri hukum bangsa jajahan. Hukum
Islam sebagai hukum yang hidup dan diterapkan oleh masyarakat ketika itu
dipengaruhi bahkan sedikit demi sedikit disingkirkan. Kenyataan ini dapat
diinterpretasikan dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh mereka.
Sedikitnya, ada dua aturan yang diapungkan secara jelas dalam rangka
menghambat laju hukum Islam itu. Pertama adalah ketentuan  Pasal 163 IS
(Indische Staatsregeling) dan  kedua adalah  Pasal 131 ketentuan serupa. Di
ketentuan pertama, yakni Pasal 163 IS mereka membagi penduduk Indonesia
kepada tiga kelompok. Pembagian kepada tiga kelompok ini juga berimbas
kepada bidang hukum yang berlaku bagi masing-masingnya.
5
Kelompok
dengan dasar Pasal 131 IS ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Golongan Eropah
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
Golongan Eropah terdiri dari orang-orang Belanda, orang eropah lain di
luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain
dengan ketentuan wilayah  itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara
substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda.
Kemudian juga ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan UndangUndang serta anak-anak klasifikasi golongan eropah dimaksud yang lahir di
tanah jajahan. Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang
bukan golongan eropah maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di
                                              
5
Sekaitan dengan penjelasan ini lihat Riduan Syahrani,  Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum
Perdata, Bandung, Alumni, 1989, h. 2–7.5
antaranya adalah orang Arab, India, dan China. Sedangkan golongan terakhir,
yakni Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli.
Pengelompokan yang demikian ini–seperti disinggung terdahulu–berimbas
kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropah hukum yang berlaku
adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing
berlaku hukumnya sendiri. Selanjutnya bagi golongan terakhir–Bumi Putera–
hukum yang berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki
maka hukum eropah dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini
selanjutnya disebut sebagai penundukan diri terhadap hukum eropah, baik
secara sempurna maupun sebagian saja.
Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum eropah berlaku
utuh bagi setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum.
Dengan kata lain, subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan
eropah sehingga hukumnya juga hukum eropah. Berbeda halnya dengan jenis
penundukan hukum yang disebutkan terakhir. Pada penundukan ini, hukum
eropah baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan  oleh golongan
lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka.
Pemberlakuan  hukum adat bagi golongan Bumi Putera sudah  tentu
menimbulkan masalah. Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang
terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi
sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan adanya ketentuan
tertulis seperti dijelaskan terdahulu menimbulkan bias negatif terhadap hukum 6
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia  yang mayoritas Islam. Bias negatif
itu adalah membenamkan hukum Islam di bawah bayang-bayang hukum adat.
Hal ini sudah tentu dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, bangsa penjajah
selalu berusaha agar ideologi mereka bisa diikuti oleh bangsa jajahannya.
Seiring dengan usaha untuk menanamkan ideologi ini, ada tiga teori  yang
diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu
teori terakhir dilontarkan oleh orang Indonesia. Teori terakhir ini merupakan
teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu secara berurut adalah;
Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a Contrario.
6
1. Receptio in Complexu
Receptio in Complexu  merupakan teori yang dikemukakan oleh
Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini
bermakna bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang
seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang
beragama Islam maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku
baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat dipadankan
dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau sempurna”.
2. Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang
diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936). Teori ini
selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis  Van
Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941). Teori
                                              
6
Tentang teori-teori ini telusuri salah satunya di dalam Mohd. Idris Ramulyo,  Op. Cit, Sinar
Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995, h. 54–60.7
resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam
baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah
menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di bawah
hukum adat. Oleh  karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di
dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam
melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan
“teori penerimaan”.
3. Receptio a Contrario
Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan teori
pematah–populer disebut teori Iblis–yang dikemukakan oleh Hazairin
(1906–1975) dan Sajuti Thalib (1929–1990). Dikatakan sebagai teori
pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali
berlawanan arah dengan  receptie theorie  Christian Snouck Hurgronje di
atas. Pada teori ini justru hukum adatlah yang berada di bawah hukum
Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum
adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam.
Dari  ketiga teori ini terlihat bahwa usaha untuk meredam gerak maju
hukum Islam didasarkan kepada teori  kedua, yakni  receptie theorie. Hukum
Islam dianggap sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum adat. Oleh
karenanya, jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam namun menurut
ketentuan hukum tertulis–Pasal 131 IS–ia bukanlah hukum Islam  melainkan
hukum adat.8
Makna tersembunyi di balik pemberlakuan teori ini adalah dihadapkannya
bangsa penjajah ketika itu dengan tiga konsep hukum yang masing-masingnya
memiliki karakter tersendiri..  Ketiga konsep dimaksud adalah hukum Islam,
hukum Barat, dan hukum adat. Berhadapan dengan  ketiga konsep ini sudah
dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan hukum yang lebih
menguntungkan bagi mereka. Dan hukum  yang lebih menguntungkan itu
dijatuhkan kepada hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan semata-mata
adalah hukum bangsa penjajah sudah tentu tingkat kebencian dan permusuhan
terhadap mereka semakin besar. Oleh karena itu, untuk menghindari sisi
negatif ini mereka mengapungkan hukum adat yang memang menunjang
terhadap misi mereka. Dengan demikian, benar kiranya kalau hukum adat
dimaksudkan oleh bangsa penjajah untuk melumpuhkan gerak langkah
pelembagaan hukum Islam yang bermuara kepada tercapainya misi penjajahan
mereka.
7
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa politik hukum yang
dijalankan oleh bangsa penjajah selalu mengacu dan melindungi
kepentingan mereka di negeri jajahan. Kepentingan itu tidak hanya berada
                                              
7
Tentang pernyataan ini juga telah dikemukakan oleh Yaswirman dalam disertasinya. Ia
mengatakan bahwa pemberlakuan hukum adat tidak didasarkan kepada kenyataan hukum yang
hidup di masyarakat yang telah dipraktekkan sejak masa sebelumnya. Akan tetapi, hukum adat
hanya dimunculkan adalah untuk kepentingan kolonial serta memperkecil ruang lingkup hukum
agama. Lebih lanjut,  telusuri kembali Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, (Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam pada Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah), Jakarta, 1997, h. 82.9
pada lingkup ekonomi dengan keuntungan materilnya  tetapi  juga dalam
bidang hukum,  memunculkan hukum adat di atas hukum  agama dengan
tujuan menumbuhsuburkan politik devide et impera.
2. Rekomendasi
Pembangunan  dan pembaharuan  hukum nasional  yang terus
diupayakan  harus difokuskan kepada kebenaran  legal substance atau
substansi hukum bukan kepada  term atau label-label yang ada  sehingga
politik  devide et impera dapat dikikis dalam  kerangka  Negara Kesatuan
Republik Indonesia.10
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Friedmann, W, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum,
judul asli  Legal Theory, Penerj. Muhammad Arifin, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Cet. 3, 1990
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter
Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Cet. 1, 2000
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 1, Cet. 2, 1997
Manan, Abdul dan M. Fauzan,  Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed. 1, Cet. 5, 2002
Nottingham, Elizabeth K.,  Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, Penerj. Abdul Muis Naharong, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Cet. 7, 1997
Ramulyo,  Mohd. Idris,  Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995
Sjadzali, Munawir,  Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UIPress, Jakarta, Ed. 5, 1993
Syahrani, Riduan, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni,
1989
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 2, Cet. 2, 2001
Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum Kekeluargaan Islam di
Indonesia Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, (Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam pada Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah), Jakarta, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar