Cari Blog Ini

Minggu, 11 Maret 2012

APAKAH HUKUM ISLAM KEJAM?


APAKAH HUKUM ISLAM KEJAM?
Oleh: Relnas
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.
Adapun tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yakni: (1) hudûd; (2) jinâyat; (3) ta‘zîr; (3) mukhâlafat. Pada dasarnya hukum islam dalam hal-hal kasus tertentu terlihat kejam. Namun apakah hukum islam itu kejam, pada kesempatan ini penulis ingin mencoba membahas permasalahan tersebut.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari hukuman?
2. Apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam?
3. Apa saja macam-macam hukuman dalam hukum pidana Islam?
4. Apakah hukum islam itu kejam?
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hukuman.
2. Untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam.
3. Untuk memahami syarat-syarat pelaksanan hukuman dalam hukum pidana Islam.
4. Untuk memahami hakikat hukum islam, kejam atau tidak

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian hukuman
Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum wadh’I adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris.
Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz عَاقَبَ yang sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan melaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut:
اَلْعُقُوْ بَةُ هِىَ الْجَزَاءُ الْمُقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِالْجَمَاعةِ عَلى عِصْيَانِ اَمْرِ الشَّارِعِ
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.

B. Apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam?
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:
1. Pencegahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
2. Perbaikan dan Pendidikan ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.

3. Kemaslahatan Masyarakat

Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
1. Pembalasan (revenge).
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2. Penghapusan Dosa (ekspiation).
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3. Menjerakan (detern).
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal).

Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya. Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.

C. Hukuman dalam islam

Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman adalah sebagai berikut:
1. Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.
2. Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3. Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.


4. Penggolongan ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5. Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir

Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yakni: (1) hudûd; (2) jinâyat; (3) ta‘zîr; (3) mukhâlafat.
a. Hudûd
Secara bahasa, hudûd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal. Secara syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan hudud dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat hak Allah. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:
(1) zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr muhshan/belum menikah]);
(2) homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);
(3) qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);
(4) minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);
(5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);
(6) membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.
(7) memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.
(8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syaratuntuk dipotong).
b. Jinâyât
Jinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:
(1) Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;
(2) Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.
Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.
c. Ta‘zîr
Ta’zîr secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zîr adalah hukuman edukatif (ta‘dîb) dengan maksud menakut-nakuti (tankîf). Sedangkan secara syar‘î, ta’zîr bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.
Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) pelanggaran terhadap kemuliaan; (3) perbuatan yang merusak akal; (4) pelanggaran terhadap harta; (5) gangguan keamanan; (6) subversi; (7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.
Sanksi ta‘zîr dapat berupa: (1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8) peyitaan harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11) nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagain hak kekayaan (hurmân); (13) pencelaan (tawbîkh); (14) pewartaan (tasyhîr).
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.
d. Mukhâlafât
Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.

D. Apakah Hukum Islam Kejam?
Berulang kali telah terlontar kritikan dari para penentang Islam atau muslimin yang miskin informasi bahwa hukum Islam ini sangat keras, dan apabila hukum ini akan dilaksanakan pada dunia saat ini, maka akan begitu banyak tangan-tangan yang terpotong karenanya.Pada dasarnya hukum islam dalam hal-hal kasus tertentu terlihat kejam, seperti orang yang mencuri di potong tangan, orang yang berzina di rajam. Secara zahir ini nampak sadis dan kejam.
Hal ini terjadi apa bila dilihat dari satu sisi saja, dilihat dari pelaksanaannya saja, tanpa melihat indikasi atau sebab dan syarat untuk boleh dan kenapa di lakukan hukuman tersebut, namun kalau dilihat dari kacamata objektif dan fear, ditinjau dari smua aspek maka kekejaman yang terlihat tadi justru tidak tampak lagi, karena ditutupi oleh kemaslahatan yang di timbulkan dari efek hukum tersebut.
Lalu benarkah hukum islam itu kejam?
Untuk menjawab sanggahan yang ini, harus kita perhatikan hal-hal berikut ini:
Pertama, memperhatikan syarat-syarat pelaksanaan hukuman ini, bisa dipastikan tidak semua pencuri akan mengalami hukuman ini. Bahkan, hanya para pencuri kelas kakap yang berbahaya yang akan menerima hukuman tersebut.
Kedua, dengan metode yang harus dilakukan untuk membuktikan suatu hukuman dalam Islam yang memerlukan syarat-syarat tertentu, tentu hal itu akan menyebabkan obyek sasaran yang ditemukan pun akan menjadi semakin sedikit.
Ketiga, sebagian besar sanggahan yang dilontarkan dalam menanggapi hukum Islam muncul dikarenakan mereka mengkaji sebuah hukum secara partikular; tanpa memandang hukum-hukum secara menyeluruh. Dengan kata lain, mereka mengasumsikan pelaksanaan hukum tersebut dalam sebuah masyarakat yang seratus persen bukan masyarakat islami. Akan tetapi, apabila kita memperhatikan bahwa Islam bukan hanya mempunyai satu hukum ini saja, melainkan ia terdiri dari serangkaian hukum-hukum lain yang dengan melaksanakannya di dalam sebuah lingkungan sosial akan menciptakan keadilan masyarakat, menekan kemiskinan, membangun sistem pengajaran dan metode pendidikan yang benar, berkembangnya pengetahuan, kesadaran dan takwa, maka jelaslah betapa sedikitnya yang akan terkena hukum ini. Jangan disalahartikan! Maksud dari ucapan di atas tidak berarti bahwa hukum ini tidak perlu dilaksanakan di dalam masyarakat saat ini. Akan tetapi maksudnya adalah bahwa ketika kita hendak menilai sebuah hukum, hendaklah terlebih dahulu melihat dan mempertimbangkan seluruh aspek yang ada.
Penerapan hukuman dalam Islam dilakukan untuk memberikan efek jera dan diberlakukan dengan syarat tertentu. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Khamami Zada, mengakui, masih ada orang yang menganggap hukuman dalam Islam kejam sebab memperbolehkan potong tangan dan rajam.Ia mengatakan, bila menggunakan perspektif hak asasi manusia (HAM) yang sering digunakan orang selama ini, hukuman semacam itu terkesan kejam. Namun, semuanya tergantung dari sudut pandang orang memahami tentang penerapan hukuman tersebut.
Apalagi, kata Khamami, penerapan hukuman itu dilakukan tak serampangan. "Untuk menghukum seorang pencuri harus ada bukti dan saksi yang meyakinkan bahwa orang itu melakukan pencurian," katanya saat bedah buku Epistemologi Hukum Islam dan Fikih Madani, di Jakarta, Kamis (29/4). Barang yang dicuri, kata dia, juga bernilai setara dengan emas seberat 4,45 gram. Menurut Khamami. hukuman penjara yang ada selama ini juga memberikan efek jera. Namun, dalam pandangan dia, bisa jadi hukuman potong tangan lebih memberikan efek jera.
Di sisi lain, Khamami mengatakan, penerapan hukuman berdasarkan hukum Islam di Indonesia membutuhkan kajian sosiologis. Alasannya, Indonesia memiliki masyarakat beragam, ada yang Muslim dan non-Muslim. "Jangan sampai penerapan hukuman itu hanya memihak pada satu golongan," ujarnya.
pemberlakuan hukuman, misalnya potong tangan dan rajam harus dilakukan oleh suatu lembaga resmi, seperti negara. Hukuman itu tak bisa dijalankan individu. Menurut penulis, hukuman itu juga bisa digagalkan jika menghadapi kondisi tertentu. contohkan, bila ada seseorang tertangkap mencuri dan langkah itu ditempuh karena terdesak kondisi kelaparan, hukuman potong tangan bisa dibatalkan apabila belum cukup syarat untuk dilakukan. Pembatalan hukuman ini lebih baik. Ia mengatakan, hukuman-hukuman yang ada di dalam Islam merupakan pengamanan.
Sistem pidana Islam dalam media massa atau buku-buku karya para orientalis dan pengikutnya selalu diopinikan kejam dan tidak manusiawi. Hukuman potong tangan untuk pencuri atau hukuman mati untuk orang murtad, misalnya, sering dituduh terlalu kejam dan sadis. Ujung-ujungnya, ide yang mereka tawarkan adalah mencari “substansi” sistem pidana Islam, yaitu memberikan hukuman bagi yang bersalah, apa pun bentuk hukumannya. Pencuri cukup dipenjara, misalnya, bukan dipotong tangannya. Pada akhirnya, sistem pidana warisan penjajah tetap bisa bercokol terus di negeri Islam ini.
Padahal, studi mendalam dan objektif terhadap sistem pidana Islam telah menunjukkan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana sekuler yang tengah diterapkan. Secara konsektual (teoretis), paling tidak ada 5 (lima) keunggulan sistem pidana Islam.
Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Ini tentu sangat berbeda dengan sistem pidana sekuler yang dibuat oleh manusia yang sok tahu dan sok pinter tentang manusia, padahal sebenarnya ia lemah dan serba terbatas jangkauan pandangannya.
Allah SWT berfirman :
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maa`idah [5] : 50)
Ayat di atas maknanya adalah tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada hukum Allah. (Imam as-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, hal. 91). Jadi, meski redaksinya berupa pertanyaan (“siapakah”), tapi yang dimaksud adalah menafikan atau mengingkari sesuatu (“tidak ada siapa pun”). (Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/139).
Sumber sistem pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah ini selanjutnya melahirkan keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain, penerapan sistem pidana Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah.
Sebaliknya, penerapan sistem pidana sekuler dengan sendirinya sama sekali akan kosong dari unsur ketakwaan, karena ia tidak bersumber dari wahyu Allah. Ketika hukum potong tangan diterapkan, ia adalah wujud ketakwaan kepada Allah. Sebab hukuman itu diperintahkan Allah dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah [5] : 38).
Dengan kata lain, menjalankan sistem pidana Islam tak ubahnya dengan melaksanakan sholat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Jadi sistem pidana Islam bersifat spiritual (ruhiyah). Sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah SWT yang merupakan ketakwaan jika dilaksanakan dengan benar oleh seorang muslim.
Kedua, sebagai implikasi dari keunggulan pertama, maka keunggulan berikutnya adalah, sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. (Audah, at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, I/24-25). Allah SWT berfirman :
“Telah sempurna kalimat Tuhanmu, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam [6] : 115)
Sebaliknya sistem pidana sekuler tidak memiliki sifat konsisten ini, karena ia akan selalu berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia sesuai situasi, kondisi, waktu dan tempat. Penyebab hal ini tiada lain karena sumbernya bukan dari wahyu Allah, tapi dari manusia itu sendiri, sehingga berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda, dan berganti.
Dalam sistem pidana Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal. 49). Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab yang panas, sebagaimana ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin. Ini beda sekali dengan sistem pidana sekuler. Dulu pada tahun 1920-an Amerika Serikat pernah melarang minuman keras. Tapi dasar bangsa Amerika adalah bangsa pemabok, akhirnya mereka tidak tahan dan minuman keras lalu dibolehkan lagi untuk ditenggak oleh masyarakat Amerika yang kafir.
Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat. Sedang sistem pidana sekuler jelas hanya berdimensi dunia saja. Sistem sekuler memang sangat cetek (dangkal) dan picik wawasan dan dimensinya.
Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah SWT berfirman :
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)
Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin Shamit RA)
Keempat, Dalam sistem pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena, sistem pidana Islam itu bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah. Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).
Rasulullah SAW bersabda : “Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur) (HR. Ahmad).
Berdasar hadits itu, seorang ulama dari kalangan tabi’in, yakni Abu Wa`il bin Salamah berkata,”Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan jika menerima suap, ia telah sampai pada kekufuran.”
Kelima, Dalam sistem pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat.
Kaidah fiqih menyebutkan,”al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-mitslihi.” (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya). (Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 193). Artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya.
Maka dalam peradilan Islam tidak dikenal sistem “banding” yakni mengajukan peninjauan vonis pada tingkat peradilan yang lebih tinggi, sebagaimana dalam sistem peradilan sekuler. Sebab sekali vonis dijatuhkan, ia berlaku secara mengikat dan langsung dijalankan. Kecuali jika vonis itu salah, maka wajib dibatalkan. Misalnya seorang yang dijatuhi vonis hukuman mati (qishash) atas dasar pengakuan, lalu terbukti pengakuannya tidak benar karena ada saksi-saksi yang membatalkan kesaksiannya itu.

BAB III
PENUTUP

B. KESIMPULAN

Hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan pemidanaan atau hukuman adalah:
1. Sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
2. Sebagai pencegahan kolektif (general prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
3. Sebagai pencegahan khusus (special prevention), artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Syarat pelaksanaan hukuman antara lain:
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan).
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum.
Setelah melihat deskriptif hukum islam secara garis besar, maka dilihat beberapa nilai penting dari hukum islam tersebut.melihat dari segi sumbernya,kekokohannya, dan flaksibelitas, dan dari segi keadilan dan kaitannya dengan moral dan tujuan.
Pada dasarnya hukum islam dalam hal-hal kasus tertentu terlihat kejam, seperti orang yang mencuri di potong tangan, orang yang berzina di rajam. Secara zahir ini nampak sadis dan kejam. Hal ini terjadi apa bila dilihat dari satu sisi saja, dilihat dari pelaksanaannya saja, tanpa melihat indikasi atau sebab dan syarat untuk boleh dan kenapa di lakukan hukuman tersebut, namun kalau dilihat dari kacamata objektif dan fear, ditinjau dari smua aspek maka kekejaman yang terlihat tadi justru tidak tampak lagi, karena ditutupi oleh kemaslahatan yang di timbulkan dari efek hukum tersebut.
B. SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada kawan-kawan mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar