Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Maret 2012

Reformasi Kejaksaan


Reformasi Kejaksaan

Masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini sepertinya merasa perihatin, sedih atau sebaliknya marah dan gerah melihat dan mendengar pemberitaan di media massa maupun elektronik tentang kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan oknum pejabat publik sampai dengan oknum aparat penegak hukum itu sendiri. Beberapa kasus korupsi yang telah diputus maupun yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, seakan-akan terus silih berganti bermunculan dimedia. Setelah kita dikejutkan dengan penangkapan Al Amin oleh penyidik KPK disebuah kamar hotel, karena telah tertangkap tangan menerima suap, selanjutnya kita mendengar tentang penemuan sejumlah uang yang juga diduga sebagai uang suap di kantor pelayanan utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta.

Kemudian baru-baru ini, dalam upaya pengungkapan kasus BLBI, terungkap beberapa nama petinggi Kejagung dalam persidangan kasus suap Artalyta Suryani alias Ayin. Ada tiga pejabat Kejagung yang diduga terlibat, yaitu JAM Perdata, Untung Udji Santoso, JAM Intelejen, Wisnu Subroto dan mantan JAM Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman. Adanya indikasi keterlibatan 3 petinggi Kejagung tersebut menunjukkan adanya mafia-mafia diinstitusi penegak hukum. Disamping itu, satu hal yang paling penting dengan adanya indikasi tersebut adalah akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan sebagai salah satu aparat penegak hukum dan sebagai bagian penting dalam sistem peradilan pidana. Lalu apa yang harus dilakukan ??? Bagi Kejagung tentu segera melakukan langkah-langkah strategis dalam mereformasi institusinya. Sementara bagi masyarakat agar tidak kemudian menggeneralisasikan semua institusi kejaksaan dinegeri ini sebagaimana yang telah terjadi di Kejagung dan terhadap 3 petinggi Kejagung tersebut masyarakat tentunya harus tetap berpegang pada "asas praduga tak bersalah", sebelum nantinya telah terbukti dengan keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Adanya dugaan suap terhadap jaksa sebagai aparat penegak hukum akan semakin melemahkan upaya penegakan hukum secara keseluruhan, karena ada bagian yang cacat dalam upaya penegakan hukum itu sendiri. Hal ini disebabkan karena kejaksaan merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang pada hakikatnya identik dengan “sistem penegakan hukum pidana” yang dilakukan oleh sub-sub sistem kekuasaan penegak hukum pidana, yaitu (1) kekuasaan penyidikan (badan/lembaga penyidik), (2) kekuasaan penuntutan (badan/lembaga penuntut umum), (3) kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (badan pengadilan) dan (4) kekuasaan pelaksana putusan/pidana (badan/aparat pelaksana/eksekusi).

Empat tahap/sub sistem ini merupakan satu kesatuan sistem peradilan pidana yang terpadu atau integrated criminal justice system. Jadi dengan adanya kelemahan/masalah/kemacetan pada salah satu sub sistem peradilan pidana terpadu, yaitu kejaksaan yang dalam hal ini posisinya pada tahapan penuntutan, akan sangat mempengaruhi upaya penegakan hukum pidana secara maksimal dan terintegrasi. Namun sebaliknya, apabila keempat sub sistem tersebut berjalan dengan baik, dalam arti menjalankan tugas dan wewenangnya secara maksimal dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain, termasuk diintervensi dengan uang (kasus suap oknum aparat), maka upaya penegakan hukum akan dapat berjalan dengan maksimal, karena adanya saling mendukung dan terjalinnya hubungan antara sub sistem-sub sistem penegak hukum pidana tersebut dalam kerangka sistem peradilan pidana yang terpadu.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh kejaksaan dalam hal ini oleh Jaksa Agung sebagai pemegang pucuk pimpinan di Kejaksaan Agung, diantaranya, Pertama, segera lakukan pemeriksaan internal secara tegas dan transparan, tanpa ada rasa ewuh pekewuh, menutup-nutupi, terlebih melindungi, khususnya terhadap beberapa nama yang diduga terlibat dengan suap kasus BLBI. Hal ini telah dilakukan oleh Jaksa Agung melalui pemeriksaan oleh tim khusus pengawasan jaksa dan hasil kerjanya sangatlah ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Langkah awal ini bisa menyelamatkan citra Kejagung atau justru sebaliknya.

Kedua, masih berkaitan dengan pemeriksaan internal. Jaksa Agung harus segera melakukan "bersih-bersih" institusi kejaksaan mulai dari petinggi-petinggi dikejagung sampai dengan jaksa-jaksa yang ada di daerah, dengan cara memaksimalkan pengawasan internal yang kontinyu diseluruh institusi-institusi kejaksaan dan dengan tegas memberikan sanksi apabila ada jaksa yang melanggar hukum, seperti menerima suap. Hal ini sebagai langkah preventif sekaligus represif, sehingga tidak terulang lagi kasus-kasus suap yang melibatkan jaksa sebagai aparat penegak hukum.

Ketiga, adanya laporan dalam jangka waktu tertentu tentang kinerja seorang jaksa selama dia ditugaskan menangani sebuah perkara. Dari hasil laporan tersebut akan terlihat bagaimana kinerjanya, apakah dia bertindak sesuai jalur hukum atau tidak. Apabila tidak, maka pengawas jaksa harus segera bertindak dan memberikan sanksi yang tegas. Hasil laporan tersebut dapat juga dijadikan sebagai instrumen penilaian terhadap jaksa. Laporan tersebut tentunya harus dibuat oleh internal kejaksaan dengan melibatkan pihak luar yang independen, sehingga sistem kontrol yang dilakukan akan lebih maksimal.

Keempat, lebih memaksimalkan peran masyarakat sebagai social control dalam upaya penegakan hukum. Artinya, laporan-laporan atau masukan-masukan tentang adanya oknum jaksa yang menerima suap harus lebih direspon oleh pihak kejaksaan, dalam hal ini pengawas kejaksaan. Laporan-laporan masyarakat tersebut harus segera direspon positif, baik oleh kepolisian maupun kejaksaan itu sendiri. Karena selama ini mungkin peran masyarakat belum secara maksimal direspon atau mungkin masyarakat justru merasa takut apabila melaporkan kasus yang melibatkan oknum jaksa atau oknum aparat penegak hukum lainnya.

Keempat langkah tersebut hanyalah sebagian kecil saja yang dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dalam rangka mereformasi institusi yang dipimpinnya. Mungkin masih banyak langkah-langkah strategis lain yang dapat dilakukan, sehingga citra kejaksaan sebagai aparat penegak hukum yang menjadi bagian penting dalam sistem peradilan pidana terpadu dapat kembali dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat untuk mencari, menuntut dan menemukan keadilan. Amin...*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar