Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Maret 2012

MUNGKINKAH KORUPTOR DIVONIS MATI ???


MUNGKINKAH KORUPTOR DIVONIS MATI ???

Lord Acton mengatakan “Power tend to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”.Pernyataan ini ingin mengingatkan kita bahwa kekuasaan sangat rentan dengan korupsi. Sehingga tidak heran apabila pelaku korupsi tidak jauh dari orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik itu ditingkat kekuasaan elit maupun akar rumput. Karena kekuasaanlah muncul potensi penyalahgunaan kewenangan, kesempatan dan sarana yang melekat pada jabatan/kedudukannya.

Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, yaitu kejahatan luar biasa, sehingga perlu penanganan yang luar biasa pula. Salah satu upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan pendekatan kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu dengan pemberian sanksi pidana yang begitu berat. Dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terlihat sanksi pidana yang dirumuskan untuk pidana denda minimum Rp. 50 Juta sampai dengan denda maksimum Rp. 1 milyar. Sementara untuk sanksi pidana penjara mulai dari minimum penjara 1 tahun sampai maksimum seumur hidup. Selain sanksi pidana denda dan penjara yang begitu berat, sanksi pidana mati juga dapat dijatuhkan kepada koruptor apabila korupsi dilakukan dalam kondisi tertentu.


Vonis Mati Koruptor ???

”Saat Krisis, Bisa Dihukum Mati”, inilah salah satu judul berita harian Bangkapos, Kamis, 30 April 2009. Tidak ada yang salah dengan judul tersebut dan memang betul isinya karena begitulah yang diatur oleh undang-undang, bahwa orang yang korupsi disaat krisis ekonomi dapat dijatuhi pidana mati.

Dari judul tersebut masyarakat tentunya akan bertanya-tanya ”kalau memang ada aturannya, kenapa sampai dengan sekarang belum ada satu koruptor pun yang dieksekusi mati, atau minimal di tuntut dengan pidana mati ? Sampai dengan sekarang masih ada 104 orang terpidana mati yang belum dieksekusi. Para terpidana mati tersebut diantaranya terlibat dalam kasus terorisme, narkoba dan pembunuhan, tidak ada yang terlibat kasus korupsi. Pertanyaan masyarakat ini kiranya perlu dijawab, agar wacana kemungkinan penjatuhan pidana mati bagi koruptor dapat terjawab dan masyarakat tidak berharap-harap cemas dan menunggu berita akan ada eksekusi mati bagi koruptor.

Dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) memang diatur penjatuhan hukuman mati bagi para koruptor. Namun kenapa selama ini tidak ada terpidana korupsi yang dijatuhi sanksi pidana mati, tetapi hanya pidana penjara dan/atau denda saja ? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, perlu dikaji bagaimana sebenarnya pengaturan pidana mati dalam undang-undang TIPIKOR tersebut. Karena terkadang bahasa undang-undang yang terlihat sederhana dan meyakinkan, justru sulit untuk diterapkan.

Ketentuan sanksi pidana mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” tersebut dapat dilihat dalam penjelasan, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan (1) pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, (2) pada waktu terjadi bencana alam nasional, (3) sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau (4) pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Berdasarkan ketentuan/syarat penjatuhan hukuman mati di atas, terdapat beberapa kelemahan, pertama, sanksi pidana mati hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi tertentu saja, yaitu hanya koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi pada Pasal 2 ayat (1) dalam kondisi tertentu. Jadi untuk jenis tindak pidana korupsi yang lain yang juga dilakukan dalam kondisi tertentu tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman mati. Padalah apabila dicermati, jenis tindak pidana korupsi dalam Pasal 3, yaitu Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga memiliki kualitas bahaya dan dampak negatif yang luas, yang sama dengan jenis tindak pidana pada Pasal 2 ayat (1), yaitu Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kenapa terhadap jenis tindak pidana Pasal 3 tidak diberlakukan juga sanksi pidana mati ? Apakah untuk melindungi pejabat negara, karena Pasal 3 ini rentan dilakukan oleh pejabat negara ? Hanya mereka-mereka yang terlibat dalam pembuatan/legislasi UU No. 31/1999 yang dapat menjawab pertanyaan ini.

Kedua, penjatuhan pidana mati dapat dilakukan jika korupsi dilakukan pada kondisi tertentu. Seharusnya penjatuhan pidana mati bagi koruptor jangan dilihat dari kapan/pada kondisi apa korupsi dilakukan, tetapi dilihat dari dampaknya, karena dampak korupsi bagi rakyat miskin sangat luar biasa, meskipun dalam kondisi “normal”.

Ketiga, kondisi-kondisi tertentu tersebut sulit diterapkan, misalnya pada kondisi negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Siapa yang memberikan penilaian terhadap kondisi ini ? Apa kriterinya ? Apakah Indonesia saat ini tidak sedang dalam kondisi krisis ekonomi ? Kemudian kondisi negara dalam bahaya dan bencana alam nasional merupakan kondisi yang frekwensi kejadiannya dalam rentan waktu yang cukup lama dan masih memerlukan kriteria-kriteria prosedural lagi untuk dapat dinyatakan dalam kondisi tersebut.

Keempat, ketentuan ”pengulangan tindak pidana korupsi” (recidive), juga sulit diterapkan karena tidak ada batasan yuridisnya, sementara ketentuan recidive di KUHP juga tidak bisa diterapkan karena pasal-pasal delik jabatan didalamnya sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 43 UU No. 20/2001.

Melihat kelemahan ketentuan/syarat penjatuhan pidana mati tersebut, wajar apabila belum ada koruptor yang divonis hukuman mati. Oleh karena itu, perlunya reformulasi ketentuan tersebut, seperti pemberlakukan pidana mati tidak hanya terhadap pelanggaran Pasal 2 ayat (1) tetapi juga Pasal 3 dan pasal-pasal yang lain secara proposional. Kemudian pengaturan ”kondisi-kondisi tertentu” langsung dalam rumusan pasal, jangan dalam penjelasan dan pengaturannya agar lebih jelas, tegas dan tentunya mudah untuk diaplikasikan, agar ancaman pidana mati tidak lagi dianggap macan ompong oleh para koruptor di negeri ini.


Tag Keyword : Hukum Law Kasus Korupsi Koruptor Vonis Pasal UU Undang-undang Pemerintah Pemerintahan Negara Indonesia Tersangka Terdakwa Sidang Pengadilan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar