Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Maret 2012

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DENGAN HUKUM PIDANA TESIS


KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK 
PIDANA TERORISME DENGAN HUKUM PIDANA 
TESIS 
DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI PERSYARATAN 
UNTUK MENYELESAIKAN PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM 
Oleh : 
EWIT SOETRIADI, SH 
NIM : B4A002015 
Pembimbing : 
PROF. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, S.H., M.H. 
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM 
UNIVERSITAS DIPONEGORO 
SEMARANG 
2008  KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK 
PIDANA TERORISME DENGAN HUKUM PIDANA 
TESIS 
DISUSUN OLEH : 
EWIT SOETRIADI, SH.
B4A002015 
Disetujui/Disahkan Untuk dipertahankan di Hadapan 
Dewan Penguji Magister Ilmu Hukum 
Universitas Diponegoro
PEMBIMBING : 
PROF. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, S.H., M.H. 
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM 
UNIVERSITAS DIPONEGORO 
SEMARANG 
2008  ABSTRAK 
Terorisme merupakan tindak pidana  yang sangat menakutkan bagi warga 
masyarakat dunia maupun masyarakat Indonesia. Negara Republik Indonesia 
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 wajib melindungi 
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu 
Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dari setiap ancaman 
terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan kebijakan Legislatif 
dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia dan juga melawan 
terorisme internasional yang kemungkinan terjadi di Indonesia. 
Penelitian yang digunakan dalam tesis ini menggunakan penelitian hukum 
normatif dengan menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan 
sekunder. 
Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana terorisme 
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, antara lain 
dengan melakukan kriminalisasi. Kebijakan  kriminalisasi tersebut diformulasikan 
dalam kelompok Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan 
Tindak Pidana Terorisme. Dalam penerapannya ternyata Undang-Undang tersebut 
masih mengalami hambatan dan kekurangan-kekurangan sehingga perlu dilakukan 
perubahan-perubahan untuk masa yang akan datang. 
Kata Kunci : Terorise, Kriminalisasi, Undang – Undang Nomor 15 tahun 2003ABSTRACT 
Terrorism is one of the most crimes  that make International society or 
Indonesian society very fear. The Indonesian government which  it letter in the 
Undang-Undang Dasar 1945 must be protected the whole nation of Indonesia citizen 
and entire citizen of Indonesia. Therefore state is obliged to protect Indonesia citizen 
from every crime treat of terrorism, that have characteristic of national terrorism or 
international terrorism. 
The Act Number 15 Year 2003 is the  Legislative policy to tackling the 
terrorism in Indonesia and also fight the international terrorism,  that can be in 
Indonesia too. 
The research method that used in this thesis throught research of normative 
law and the data type that used is secondary data using primary and secondary 
material law. 
The Criminal Law that using to tackling terrorism likely in Law Number 15 
Year 2003, made criminalization. The criminalization is formulated in 2 (two) 
terrorism groups, that consist of Terrorism Crime and Crime Relating Terrorism 
Crime. But in the application, the Act Number 15 Year 2003 still found the problems 
in enforcement and must be addition of a new crime formulation and some section 
changes in the future. 
Keywords : Terrorism, Criminalization, The Act Number 15 Year 2003KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Maha Besar dan 
Maha Pengasih kepada semua umat manusia, termasuk kepada diri penulis. Hanya 
karena rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, untuk dapat 
menyelesaikan studi di Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas 
Diponegoro Semarang. 
Tesis dengan judul “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme 
dengan Hukum Pidana” ini sudah sangat lama terbengkalai sejak disetujui oleh 
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. Pada tanggal 23 Mei 2005. Namun pada akhirnya 
dapat penulis selesaikan dengan bantuan dan pertolongan-Nya. 
Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan yang sangat menakutkan dan 
menimbulkan suasana teror bagi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat 
Internasional pada umumnya. Pemerintah Republik Indonesia sesuai yang 
diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 berkewajiban untuk melindungi segenap 
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari cengkeraman rasa takut 
sehingga dapat hidup dengan tentram dan damai. Untuk itu maka Pemerintah 
Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan legislasi dengan mengeluarkan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003. 
Pada kesempatan ini penulis ingin  menyampaikan ucapan terimakasih yang 
tidak terhingga kepada semua pihak yang  telah membantu penyelesaian tesis ini, 
khususnya kepada : 1. Ny. Sri Redjeki, SH., selaku istri penulis yang selalu memberikan dorongan 
untuk menyelesaikan tesis ini di setiap  waktu dan di setiap tempat penulis 
yang berpindah-pindah tempat dinas. 
2. Yth. Bapak Prof. Dr. Barda Nawawi  Arief, SH., selaku Ketua Program 
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada saat penulis 
kuliah pada tahun 2003 dan telah memberikan bimbingan serta petunjukpetunjuk untuk penulisan tesis ini. 
3. Yth. Bapak Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH., MH., selaku 
Pembimbing penulisan tesis ini. 
4. Yth. Bapak Prof. Dr. Paulus Hadi  Suprapto, SH., MH., selaku Pemeriksa 
Proposal penulisan tesis ini. 
5. Yth. Ibu Ani Purwanti, SH., M.Hum.,  selaku Sekretaris Bidang Akademis 
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, yang telah 
mengingatkan penulis tentang jangka waktu penulisan tesis ini. 
6. Yth. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH., Wakil ketua Pengadilan Negeri Kepanjen 
yang telah memberikan dorongan dan bahan-bahan penulisan tesis ini. 
7. Orang tua penulis, Ibu Sukinem Suryono  yang selalu memberikan doa restu 
dan semangat kepada penulis. 
8. Sdr. Gama Brata Noraga (Angga), pegawai Pengadilan Negeri Bukittinggi dan 
Sdr. Hongkon Otoh, SH., MH., yang membantu dan memperlancar penulisan 
tesis ini. 
9. Semua pihak yang telah membantu penulis langsung maupun tidak langsung. Pada akhirnya, tiada gading yang tidak retak, penulis sangat menyadari bahwa 
penulisan tesis ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu penulis sangat 
mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaikinya. 
 Bukittinggi,    September 2008  
 Penulis, 
 (Ewit Soetriadi, SH.) DAFTAR ISI 
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i 
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii 
ABSTRAK ...................................................................................................... iii 
ABSTRACT.................................................................................................... iv 
KATA PENGANTAR.................................................................................... v 
DAFTAR ISI................................................................................................... viii 
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1 
B. Perumusan Masalah ................................................................. 13 
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 14 
D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 14 
a. Kegunaan Teoritis................................................................ 14 
b. Kegunaan Praktis................................................................. 15 
E. Kerangka Teori ........................................................................ 15 
F. Metode Penelitian .................................................................... 26 
1. Metode Pendekatan.............................................................. 26 
2. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 27 
3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 28 4. Analisa Data ........................................................................ 28 
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 29 
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 
A. Pengertian dan Sejarah Terorisme ........................................... 30 
B. Kebijakan Legislatif dalam Penegakan Hukum Pidana........... 50 
C. Teori Pidana dan Pemidanaan.................................................. 57 
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA 
A. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Terorisme ........ 71 
B. Kebijakan Aplikatif Ddalam Penanggulangan Terorisme ...... 79 
1. Pengertian Tindak Pidana Terorisme ................................. 79 
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme.............................. 83 
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan 
Tindak Pidana Terorisme.................................................... 149 
4. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak 
Pidana Terorisme................................................................ 154 
a. Subyek Yang Dapat Dipertanggungjawabkan ............. 154 
b. Pidana dan Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana 
Terorisme ..................................................................... 155 
5. Hambatan-Hambatan Dalam Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.................................................... 169 
C. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Terorisme di masa yang 
akan datang .............................................................................. 178 
1. Usaha Pembaharuan Undang-Undang Tindak Pidana  
Terorisme............................................................................ 178 
2. Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang- 
Undang Hukum Pidana Tahun 2008 .................................. 183 
BAB IV PENUTUP 
A. Kesimpulan .............................................................................. 186 
B. Saran......................................................................................... 191 
DAFTAR PUSTAKA BAB I 
PENDAHULUAN 
A. LATAR BELAKANG MASALAH 
Perbuatan yang dilakukan manusia  dengan menabrakkan 2 (dua) buah 
pesawat pada gedung WTC (World Trade Centre) di Amerika Serikat pada tanggal 11 
September 2001, telah menghancurkan gedung dan menyebabkan jatuhnya korban 
nyawa manusia yang jumlahnya ribuan. Perbuatan yang mengagetkan manusia di 
seluruh belahan dunia tersebut telah di  kutuk sebagai perbuatan keji dan tidak 
berperikemanusiaan karena orang-orang  yang tidak berdosa telah menjadi korban 
tanpa mengetahui ujung pangkal persoalannya. 
Negara Indonesia, sebenarnya sebelum terjadinya serangan teror bom di 
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dan jauh sebelum terjadinya 
tragedi bom bali pada tanggal 12 Oktober 2002, sejak tahun 1999 telah mengalami 
dan mengatasi aksi-aksi teror di dalam negeri. Data yang ada pada POLRI 
menunjukkan bahwa pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 bom yang 
meledak tercatat 185 buah, dengan korban meninggal dunia 62 orang dan luka berat  
22 orang. 
1)
 Peristiwa ledakan bom Bali di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali telah 
menambah lembaran hitam kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. 
                                                
1)
 Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita dari Terorisme, cetakan pertama Kementriaan 
Polkam, Oktober, 2002, hlm. 7. 
1 Perbuatan jahat merupakan fenomena  sosial yang senantiasa ada dalam 
kehidupan masyarakat dan akan selalu terjadi dan dihadapi oleh seluruh masyarakat 
di dunia ini. Perbuatan jahat atau kejahatan dirasakan sangat meresahkan dan 
mengganggu ketentraman hidup masyarakat.  Pada hakekatnya suatu masyarakat 
selalu menginginkan adanya kehidupan yang tenang dan teratur, harmonis dan 
tentram serta jauh dari gangguan kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat. 
Kejahatan terorisme merupakan salah  satu bentuk kejahatan berdimensi 
internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah 
terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang 
berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang 
bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina 
Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of 
Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan 
dengan kekerasan yang perlu mendapat  perhatian. Menurut Muladi, terorisme 
merupakan kejahatan luar biasa  (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula 
penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa  (Extraordinary Measure)
karena berbagai hal:
 2)
a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar 
(the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak 
                                                
2)
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar Pengamanan 
Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004.  asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas 
dari rasa takut. 
b. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung 
mengorbankan orang-orang tidak bersalah. 
c. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan 
memanfaatkan teknologi modern. 
d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar  organisasi terorisme 
nasional dengan organisasi internasional. 
e. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan 
yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional. 
f. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. 
Terorisme sebagai kejahatan telah  berkembang menjadi lintas negara. 
Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai 
yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari 
satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat 
menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional 
antara negara-negara yang berkepentingan  di dalam menangani kasus-kasus tindak 
pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial
3)
 Kejahatan terorisme .
menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat 
mengancam ketentraman dan kedamaian dunia. 
                                                
3) 
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Rafika Aditama, Bandung, 2000,  
hlm 58.  Kejahatan terorisme juga telah terjadi  di Indonesia dan juga telah memakan 
korban orang yang tidak berdosa baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga 
negara asing. Aksi peledakan bom bunuh  diri pada tanggal 12 Oktober 2002 di 
Legian, Kuta, Bali yang menewaskan  kurang lebih 184 orang  dan ratusan orang 
lainya luka berat dan ringan dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, 
Jerman, Inggris dan lain-lain. Aksi-aksi lain dengan menggunakan bom juga banyak 
terjadi di Indonesia seperti di Pertokoan  Atrium Senen Jakarta, peledakan bom di 
Gedung Bursa Efek Jakarta, peledakan bom restoran cepat saji Mc Donald Makassar, 
peledakan bom di Hotel J W Mariot Jakarta, peledakan bom di Kedutaan Besar 
Filipina dan dekat Kedutaan Besar Australia, serta beberapa kejadian peledakan bom 
di daerah konflik seperti Poso, Aceh dan Maluku yang kesemuanya itu menimbulkan 
rasa takut dan tidak tentram bagi masyarakat. Akibat  aksi pengeboman tersebut 
disamping runtuhnya bangunan dan sarananya, juga telah menyebabkan timbulnya 
rasa takut bagi orang Indonesia maupun orang asing. Dalam kancah internasional 
menyebabkan turunnya rasa kepercayaan dunia internasional kepada sektor keamanan 
di Indonesia, menurunnya sektor pariwisata karena adanya pengakuan bahwa di 
Indonesia memang benar ada teroris. 
Kejadian aksi teror yang ada di Indonesia menimbulkan rasa simpati dan 
tekanan dunia internasional untuk memberantas dan mencari pelaku terorisme 
tersebut. Bahkan Perserikatan Bangsa  Bangsa telah mengeluarkan 2 (dua) buah 
Resolusi yaitu Resolusi Nomor 1438 Tahun 2002 yang mengutuk dengan keras 
peledakan bom di Bali, menyampaikan duka cita dan simpati yang mendalam kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya, sedangkan 
Resolusi Nomor 1373 Tahun 2002 berisikan seruan untuk bekerjasama dan 
mendukung serta membantu pemerintah Indonesia untuk menangkap dan 
mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa tersebut dan memproses ke 
pengadilan 
Pada pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tersirat bahwa pemerintah 
Repubik Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi  warga negaranya dari 
setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional maupun  internasional dan 
berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negara serta  memulihkan keutuhan 
dan integritas nasional dari ancaman  yang datang dari dalam maupun luar negeri
4)
 .
Tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu keamanan dan 
ketertiban masyarakat, serta telah menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan negara 
sehingga perlu dilakukan pencegahan dan  pemberantasan tindak pidana terorisme 
guna memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera berdasarkan Pancasila 
dan Undang Undang Dasar 1945. 
Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan, 
musuh rakyat Indonesia dan musuh dunia
5)
 Ada 2 alasan penting mengapa terorisme .
menjadi musuh bersama bangsa Insonesia : 
                                                
4) 
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No 1 Th 2002 
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 
Oktober 2002. 
5) 
Susilo Bambang Yudhoyono,  Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator 
Polkam, 2002, hlm 4 dan 5. 1. Demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak merasa aman. 
Padahal  gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua merasa lebih aman 
di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan bernegara. Kita semua 
mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang ingin mengambil rasa 
aman. 
2. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk gerakan 
yang terorganisasi. Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan 
bersifat global  yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun 
internasional. 
Terorisme adalah suatu kejahatan  yang tidak dapat digolongkan sebagai 
kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar 
biasa” atau ”extraordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan 
terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”
 6)
 Mengingat kategori yang .
demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang 
biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti  pencurian, pembunuhan 
atau penganiayaan. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau 
tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang 
akan menjadi korbannya. 
Keadaan yang mendesak menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia sejak 
awal tahun 1999 telah memulai mengambil langkah-langkah untuk menyusun 
                                                
6) 
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 
Departemen  Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tahun 2002, hlm 8. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 
sebagai langkah antisipatif untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak 
pidana terorisme. Hal ini disebabkan dalam beberapa dekade ini terorisme telah 
menjadi fenomena umum yang terjadi di berbagai negara dan diperkirakan dapat pula 
terjadi di negara Indonesia. 
Pemerintah Republik Indonesia menyusun draf Rancangan Undang-Undang 
(RUU) terorisme semakin terdorong dengan adanya rangkaian peristiwa peledakan 
bom yang terjadi di berbagai wilayah negara Republik Indonesia dan telah 
menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa 
serta kerugian harta benda sehingga mengakibatkan kehidupan sebagian masyarakat 
terancam, yang berakibat pada kehidupan ekonomi, sosial dan politik serta hubungan 
dengan berbagai negara di dunia internasional. 
Akibat yang ditimbulkan karena perbuatan terorisme  dapat dilihat dari 
peristiwa peledakan bom Bali pada  tanggal 12 Oktober 2002 yang menyebabkan 
meninggalnya lebih kurang 184 orang dan yang menderita luka berat dan ringan dari 
berbagai bangsa yang sedang berwisata di Pulau Bali. Berbagai bangunan juga telah 
hancur akibat ledakan bom tersebut. Akibat secara ekonomi antara lain turis yang 
membatalkan kunjungannya ke Pulau Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya 
karena merasa terancam dan tidak nyaman berada di Indonesia. Bahkan Dewan 
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1438 
(2002) yang mengutuk sekeras-kerasnya  peledakan bom Bali dan menyampaikan 
duka cita dan simpati kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya, dan menyerukan kepada  semua negara berdasarkan berdasarkan 
Resolusi Nomor 1373 (2002) untuk bekerjasama mendukung dan membantu 
Pemerintah Indonesia untuk menangkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa 
bom Bali dan membawanya ke Pengadilan. 
Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 
ayat (1) UUD 1945, yaitu syarat ”hal ikhwal kegentingan yang memaksa” bertekad 
segera bertindak untuk mengungkap peristiwa bom Bali dengan mengantisipasi 
segala kemungkinan yang akan terjadi kembali, peristiwa-peristiwa yang menelan 
korban jiwa dan harta benda. Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan 
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 
Tahun 2002 tentang pemberlakuan PERPU Nomor 1 tahun 2002 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali. 
Dalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya kedua buah PERPU tersebut 
setelah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat pada akhirnya disetujui menjadi 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang  Penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2002 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme dan Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang 
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom 
di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun  
2002 yang kemudian disetujui menjadi  Undang-Undang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik juga 
memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam Convention Against  Terorism Bombing (1997) dan Convention 
on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuanketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta 
ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 juga 
mempunyai kekhususan, antara lain: 
1. Merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan    
lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme 
2. Memuat ketentuan khusus tentang  perlindungan terhadap hak asasi 
tersangka atau terdakwa yang disebut ”safe guarding rules”
3. Di dalam Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang ini juga 
ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang 
bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama 
bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif 
4. Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan 
tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik 
(sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang 
satuan tugas bersangkutan. 
Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas 
teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga 
diharapkan dapat secara efektif  memiliki daya jangkauan terhadap 
tindak pidana terorisme 
5. Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai 
tindak pidana terorisme sehingga  sekaligus juga membuat UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang  Tindak Pidana Pencucian 
Uang. 
6. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini 
tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka 
umum, baik melalui unjuk rasa,  protes, maupun kegiatan-kegiatan 
yang bersifat advokasi 
7. Di dalam Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang ini tetap 
dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk 
memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana 
terorisme 
8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan 
ketentuan khusus yang diperkuat  sanksi pidana dan sekaligus 
merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang 
bersifat koordinatif  (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang 
berkaitan dengan pemberantasan terorisme. 
 Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 
Tahun 2002 didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai 
tempat di Indonesia telah menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril serta 
menimbulkan ketidak amanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang tersebut telah menjadi 
ketentuan payung dan bersifat koordinatif  (coordinating act) terhadap peraturan 
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana 
terorisme. Undang-Undang Pemberantasan Terorisme ini juga menegaskan bahwa 
tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja 
sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Tersangka atau 
terdakwa mendapat perlindungan khusus terhadap hak asasinya (safe guarding rules)  
dan juga diatur tentang ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk memperkuat 
fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. 
 Menurut  Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan 
kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya 
perlindungan masyarakat  (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan 
masyarakat (social welfere)
7)
 Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir 
dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan 
                                                
7)
 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 
2002, hlm. 2 masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana terorisme juga terlihat dalam 
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (KUHP) Nasional yaitu dalam 
dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme khususnya 
Pasal 242 sampai dengan Pasal 251 
8)
 .
 Menurut  Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang 
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi : 
a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa 
yang akan ditanggulangi karena  dipandang membahayakan atau 
merugikan. 
b. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan 
terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau 
tindakan)  dan sistem penerapan 
c. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme 
peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana 
9) 
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang terdiri 
dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu tahap kebijakan legislatif, tahap kebijakan 
yudikatif dengan aplikatif dan tahap kebijakan eksekutif dengan administratif. Dari 
ketiga tahap kebijakan tersebut menurut Barda Nawawi Arief, tahap kebijakan 
legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis bagi  upaya penanggulangan 
kejahatan dengan hukum pidana. Tahap ini merupakan tahap formulasi yang menjadi 
                                                
8) 
Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)   
2008, www.legalitas.org. 
9) 
Barda Nawawi Arief, dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1992, 158-159. dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya yaitu 
aplikasi dan   eksekusi 
10) 
Dari berbagai tahap kebijakan tersebut di atas penulis tertarik untuk mengkaji 
dan meneliti lebih mendalam bagaimana kebijakan aplikatif diterapkan dalam 
menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia dengan hukum pidana. Di dalam 
penanggulangan tindak terorisme di Indonesia selama ini ada pihak-pihak yang telah 
merasa puas dan dapat menerima tetapi  mengapa ada juga yang tidak merasa puas 
dengan cara atau hasil pelaksaan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme. 
B. PERUMUSAN MASALAH 
Dari uraian yang telah disebutkan pada latar belakang penulisan ini, maka 
rumusan permasalahan yang diajukan adalah : 
1. Bagaimana kebijakan legislatif dalam penanggulangan Tindak Pidana 
Terorisme. 
2. Bagaimana kebijakan aplikatif dalam penanggulangan Tindak Pidana 
Terorisme. 
3. Bagaimanakah kebijakan legislatif dalam penanggulangan terorisme pada 
masa yang akan datang. 
Penulisan tesis ini akan membahas pada kajian kebijakan legislatif atau 
formulasi mengenai tindak pidana terorisme, masalah pertanggung jawaban pidana 
dan sistem pemidanaannya yang tercantum di dalam Undang Undang Nomor 15 
                                                
10)
 Barda Nawawi Arief, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op Cit hlm. 158 Tahun 2003 tentang penetapan PERPU Nomor 1 Tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme menjadi Undang Undang, selanjutnya juga akan membahas 
bagaimana penanggulangan tindak pidana terorisme pada saat ini dan masa yang akan 
datang. 
C. TUJUAN PENELITIAN 
Bertitik tolak dari permasalahan pada Tesis ini maka tujuan penelitian Tesis 
ini antara lain : 
1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan legislatif dalam penanggulangan 
tindak pidana terorisme dalam peraturan perundang-undangan. 
2. Untuk megetahui bagaimana kebijakan penal dalam penerapan Undang 
Undang dalam menanggulangi tindak pidana terorisme pada saat ini. 
3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan penanggulangan tindak pidana 
terorisme pada masa yang akan datang. 
D. KEGUNAAN PENELITIAN 
1. Kegunaan Teoritis 
a. Penelitian dalam tesis ini dapat  memberikan sumbangan pemikiran 
untuk mengembangkan ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan 
tindak pidana terorisme. 
b. Penelitian ini dapat melengkapi hasil-hasil penelitian lain yang 
berkaitan dengan usaha penanggulangan tindak pidana terorisme. 2. Kegunaan praktis 
a. Dari hasil penelitian dapat diharapkan manfaat pada upaya 
penanggulangan tindak pidana terorisme. 
b. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana atau 
sumbangan pemikiran bagi usaha penyempurnaan undang-undang 
yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. 
E. KERANGKA TEORI 
Pembukaan UUD 1945 menyatakan  bahwa, negara Indonesia ikut 
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi 
dan keadilan sosial, maka Indonesia harus berperan aktif dan berkontribusi di dalam 
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sebagaimana yang telah 
tertuang di dalam piagam PBB. Indonesia bersikap dan mendorong agar PBB 
berperan secara aktif dan konstruktif di dalam upaya pemberantasan terorisme 
internasional. Indonesia juga berpendapat bahwa langkah-langkah yang bersifat 
multilateral perlu lebih dikedepankan. Dunia tidak boleh hanya memerangi terorisme 
yang terlihat di permukaan, tetapi juga harus menyentuh akar masalah dan penyebab 
utamanya, seperti ketimpangan dan ketidak adilan yang masih dirasakan oleh banyak 
kalangan di masyarakat internasional
11) 
                                                
11) 
Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita dari Terorisme, Kementeriaan Koodinasi 
Polkam, Oktober 2002, hlm. 10-11.Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas 
kejahatan terorisme sudah disajikan dalam berbagai konvensi internasional dan 
resolusi Dewan Keamanan PBB yang menegaskan, bahwa terorisme merupakan 
kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia, oleh karenanya 
maka seluruh anggota PBB termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan 
resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk terorisme dan menyerukan kepada 
seluruh anggotanya untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui 
pembentukan peraturan perudang-undangan nasional yang berkaitan dengan 
terorisme di negara masing-masing. 
Perkembangan dunia global yang sekarang ini tidak lagi mengenal batas-batas 
wilayah negara dan dengan mengingat kemajuan teknologi yang semakin canggih 
serta kemudahan transportasi yang memungkinkan orang dengan mudah memasuki 
suatu negara yang hendak ditujunya, maka penegakan hukum dan  ketertiban secara 
konsisten dan berkesinambungan perlu dilakukan. Adanya aksi terorisme yang terjadi 
di beberapa negara baru-baru ini telah membuat Dewan Keamanan Perserikatan 
Bangsa-Bangsa menempatkan terorisme sebagai tindak pidana dengan status 
”Kejahatan Internasional” dengan demikian pengaturan hukum mengenai kejahatan 
terorisme perlu memperhatikan kebiasaan-kebiasaan dan kepentingan internasional di 
samping juga memperhatikan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku di negara masing-masing. 
Negara-negara anggota PBB perlu bekerja sama menangani masalah terorisme 
dengan mengingat aksi-aksi terorisme sampai dengan sekarang ini masih terus terjadi dan meningkat baik dari segi kuantitas  maupun kualitasnya serta semakin menjadi 
ancaman serius terhadap prinsip-prinsip perdamaian dunia sebagaimana termaktub 
dalam piagam PBB. Pendekatan komprehensif untuk mengatasi terorisme merupakan 
suatu hal yang sangat penting mengingat multi aspek yang melingkupi kejahatan 
terorisme berbagai aksi-aksi terorisme yang sudah tidak mengenal batas-batas negara 
merupakan fakta yang harus dihadapi oleh masyarakat internasional, oleh karena itu 
mutlak dilakukan aktifitas bersama baik  melalui kerjasama bilateral maupun 
multilateral untuk mengcounter terorisme melalui penegakan hukum  (Law 
Enforcement), intelijen (Intelligence) dan keamanan (Security)
12)
   .
Terorisme adalah suatu kejahatan  yang tidak dapat digolongkan sebagai 
kejahatan biasa, secara akademis terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar 
biasa” atau  ”Extra Ordinary crime”  dan dikategorikan pula sebagai kejahatan 
terhadap kemanusiaan atau  ”crime against humanity”. Mengingat kategori yang 
demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara biasa 
sebagaimana menangani tindak pidana pencurian, pembunuhan atau penganiayaan
13)
 .
Indonesia dan berbagai negara di  dunia sesungguhnya telah berkeinginan 
untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan terorisme jauh sebelum terjadinya 
peristiwa 11 September 2001 yang menghancurkan World Trade Centre di New 
York, Amerika Serikat dan peledakan bom di Kuta Bali tanggal 12 Oktober 2002. 
                                                
12) 
Simula Victor Muhammad, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Pusat dan Pelayanan Informasi DPRRI, Jakarta 2002, hlm. 110.
13) 
Keterangan pemerintah tentang diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 2002 
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 
Oktober 2002, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, hlm. 8.Kedua peristiwa tersebut dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman 
kekerasan terhadap keselamatan jiwa manusia tanpa pandang bulu terhadap 
korbannya. 
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa  (Extra Ordinary crime) yang 
membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra 
Ordinary Measure) 
14)
 : Sehubungan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan .
” Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat 
domestik karena karakteristiknya mengandung elemen  ”Etno Socio or 
Religios Identity”, dalam mengatasinya mau tidak mau harus 
mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan 
mengingat majunya teknologi komunikasi, informatika dan transportasi 
modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan apabila terjadi identitas 
terorisme lintas batas negara (transborder terorism identity)
15)
 .
Sejalan dengan itu  Romly Atmasasmita mengatakan bahwa dari latar 
belakang sosiologis, terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan 
masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan 
perkosaan terhadap hak asasi manusia 
16)
 Masyarakat Indonesia yang bersifat multi .
etnik dan multi agama, terdiri dari ratusan suku pulau dan terletak di antara dua benua 
(Asia dan Australia) merupakan sasaran yang sangat srategis kegiatan terorisme. 
Dalam menghadapi terorisme di Indonesia  Romly Atmasasmita
mengemukakan : 
                                                
14) 
Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime), Materi 
Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, hlm. 1.
15)  
Muladi, Loc Cit, hlm. 2. 
16)  
Romly Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar Penanganan Terorisme 
Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004. ” dengan mempertimbangkan latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis 
diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang memiliki visi dan 
misi serta terkandung prinsip-prinsip hukum yang memadai sehingga 
dapat dijadikan penguat bagi landasan hukum bekerjanya sistem peradilan 
pidana di mulai dari tingkat penyidikan sampai pada pemeriksaan di 
sidang pengadilan. Undang-undang tersebut harus dapat mencerminkan 
nilai-nilai yang berkembang dan diperlukan masyarakat dan bangsa 
Indonesia baik pada masa kini maupun pada masa mendatang, dan 
sekaligus juga dapat mencerminkan nilai-nilai yang berlaku universal dan 
diakui masyarakat internasional” 
17)
 .
 Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan 
langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan pada kehati-hatian  dan 
bersifat jangka panjang karena: 
” Pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dengan 
beragam agama resmi yang diakui pemerintah dan mendiami ratusan ribu 
pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya 
berbatasan dengan negara lain. 
   Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh 
komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan 
kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak 
pidana terorisme yang bersifat internasional. 
   Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan 
kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran 
peradaban dan dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak 
pidana terorisme yang bersifat internasional baik yang dilkukan oleh 
warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing” 
18)
 .
Usaha pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan tersebut di 
atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia  adalah bangsa yang menjunjung tinggi 
peradaban umat manusia dan memiliki cita perdamaian dan mendambakan 
kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan 
                                                
17) 
Ibid
18) 
Penjelasan Umum Peraturan Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah 
gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia 
19).
  
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia bukan merupakan 
masalah hukum dan penegakan hukum semata  karena juga terkait  masalah sosial 
kenegaraan, budaya, ekonomi dan juga  keterkaitannya dengan pertahanan 
negara.terdapat banyak cara atau upaya  yang dapat dilakukan oleh masyarakat 
maupun negara untuk melakukan pemberantasan terorisme dan penaggulangan 
terhadap kejahatan lainnya. Namun usaha tersebut tidak dapat menghapuskan secara 
tuntas kejahatan yang ada, mungkin hanya dapat mengurangi kuantitasnya. 
Salah satu cara menanggulangi terorisme adalah dengan menggunakan hukum 
pidana  (Penal Policy). Menurut  Marc Ancel,  Penal Policy didefinisikan sebagai 
”suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk 
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”
20)
 yang 
dimaksud dengan peraturan hukum positif adalah peraturan perundang-undangan 
pidana. Dengan demikian istilah  ”penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama 
dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana. 
Menurut  Sudarto kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana 
mengusahakan atau merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang baik 
                                                
19) 
Ibid 
20)
 Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. 
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.23.yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan 
datang
21)
  .
Sedangkan menurut  A. Mulder yang namanya  ”straf rechtpolitiek”
merupakan garis kebijakan untuk menentukan : 
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah   dan 
diperbaharui. 
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan  
pidana harus dilaksanakan
22)
 .
Apa yang didefinisikan  A. Mulder tersebut bertitik tolak dari pengertian 
”sistim hukum pidana” yang dikemukan Marc Ancel, bahwa setiap masyarakat yang 
teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari : 
a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. 
b. Suatu prosedur hukum pidana. 
c. Suatu mekanisme pelaksanaan ( pidana )
23)
 .
Didalam kebijakan kriminal yang  menggunakan sarana penal perlu 
diperhatikan 2 (dua) masalah sentral, yang menurut Barda Nawawi Arief adalah : 
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 
b. Sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar
24)
  .
                                                
21)  
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm
22)
 Barda Nawawi Arief, Op Cit hlm.23 
23)
 Ibid , hlm. 28 
24) 
Ibid, hlm. 30 Kebijakan hukum pidana, memasuki  kebijakan dan mengenai dua masalah 
sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada 
kebijakan (policy oriented approach) seperti yang dikemukakan oleh Barda Nawawi 
Arief : 
”diantara ketiga tahap fungsionalisasi hukum pidana yakni tahap formulasi 
(kebijakan legislatif) tahap aplikasi  (kebijakan yudikatif atau yudicial) dan 
tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau administratif) merupakan tahap yang 
paling strategis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan 
melalui hukum pidana  (penal policy). Oleh karena itu, kesalahan atau 
kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat 
menjadi penghambat upaya penegakan  dan penanggulangan kejahatan pada 
tahap aplikasi dan eksekusi
25)
 .
Pemberantasan tindak pidana terorisme dari segi pengaturan hukum 
internasional terdapat tiga konvensi pokok yang berkaitan dengan terorisme, yaitu:
26) 
1. International Convention and Suppression of Terorism 1937 (Konvensi 
tentang Penegakan dan Pemberantasan Terorisme) 
2. International Convention For the Suppression of Terrorist Bombing 1997 
(Konvensi Internasional tentang  Pemberantasan Pengeboman oleh 
Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2006 Tanggal 5 April 2006 
3. International Convention For the Suppression of Financing of Terorism
1999 (Konvensi International Tentang Pemberantasan Pendanaan untuk 
                                                
25)
 Barda Nawawi Arief, Loc Cit, hlm. 75 
26) 
H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Dalam Tindak Pidana Terorisme, 
PT. Refika Media Aditama, Bandung, 2007, hlm. 3  Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2006 Tanggal 5 April 2006. 
Indonesia pada saat ini sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak 
pidana terorisme sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 
2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Pembuat 
undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini sebagai 
peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuanketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan 
pemberantasan tindak pidana terorisme. 
Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif 
yang bersifat proaktif yang  di landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka 
panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami 
ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang 
berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa 
Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya 
segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme, disamping itu konflik yang sering 
terjadi di berbagai daerah di Indonesia berakibat sangat merugikan kehidupan bangsa 
Indonesia yang menyebabkan kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia 
akan dapat menjadi tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan 
orang Indonesia sendiri maupun orang asing. Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun  2003 terdiri dari 47 (empat puluh 
tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, 
kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme di 
sidang pengadilan, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta kerjasama 
internasional. 
Ditinjau dari optik yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 
mempunyai kekhususan meliputi :
27) 
1. sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya 
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga 
bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus 
koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundangundangan  
2. adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang 
disebut”safe guarding rules” 
3. adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari 
tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak 
pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah
kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih 
efektif. 
4. ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk 
satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan 
akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan 
waktu efektif (sunset principle). 
5. adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai 
tindak pidana terorisme 
6. dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan 
minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku 
tindak pidana terorisme. 
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak 
pidana terorisme yang diatur didalam  undang-undang ini dikecualikan dari tindak 
                                                
27)
 Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron dan Ali Imron 
alias Alik, Penerbit Jambatan, Jakarta, 2007, hlm. 14-15. pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak 
pidana dengan motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politis yang 
menghambat ekstradisi. Harus diakui  penjelasan undang-undang tersebut sangat 
disayangkan tidak dijelaskan apa yang dimaksud tindak pidana politik dan tindak 
pidana dengan tujuan politik. Menurut Barda Nawawi Arif, dalam kebijakan legilatif 
selama ini tidak ada suatu suatu perbuatan yang secara formal  di kualifikasikan 
sebagai ”kejahatan atau tindak pidana politik” oleh karena itu dapat dikatakan bahwa 
istilah ”kejahatan atau tindak pidana  politik” bukan merupakan istilah yuridis 
melainkan hanya merupakan istilah atau sebutan teoritik ilmiah (scientific term)
28)
 .
Ancaman pidana minimal khusus di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 
2003 yang ternyata tidak disertai dengan aturan atau  pedoman pemidanaan untuk 
menerapkan ancaman pidana tersebut, menurut Barda Nawawi Arif ini merupakan 
perpanjangan dari sistem  KUHP, dan seharusnya undang-undang khusus ini di luar 
KUHP membuat aturan khusus atau tersendiri untuk penerapannya. Hal ini 
merupakan konsekwensi dari adanya Pasal 103 KUHP karena KUHP sendiri bukan 
mengatur masalah ini. Dengan tidak adanya aturan atau pedoman pemidanaan ini 
maka tidak begitu jelas apakah pidana minimal itu dapat diperingan (dalam hal ada 
faktor yang meringankan) atau dapat diperberat (dalam hal ada faktor yang 
memberatkan)
29)
 Dilihat dari sudut kebijakan kriminal, maka upaya penanggulangan .
                                                
28) 
Barda Nawawi Arief, Op Cit, hlm 151
29)
 Ibid hlm. 154 kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) dengan sarana hukum pidana  (penal
policy) bukan merupakan kebijakan yang strategis. 
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan : 
”jadi kebijakan strategis dalam penanggulangan kejahatan (termasuk tindak 
pidana terorisme) terletak pada kebijakan penanggulangan yang sensitif. 
Inilah yang tidak dipenuhi oleh  kebijakan penal dalam menanggulangi 
kejahatan, karena kebijakan penal merupakan kebijakan parsial, represif dan 
simptomik. Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya 
juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan 
penjatuhan pidana terhadap delik  atau kejahatan diharapkan ada efek 
pencegahan atau penangkalnya  (deterent effect). Disamping itu kejahatan 
penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan karena hukum pidana 
merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan 
”ketidaksukaan masyarakat  (social dislike) atau ”pencelaan atau kebencian 
sosial” (social disaproval / social abhorence) yang sekaligus juga diharapkan 
menjadi sarana ”perlindungan dengan sosial”  (social defence), oleh karena 
itulah sering dikatakan bahwa ”penal policy” merupakan bagian integral dari 
social defence policy
30)
 .
F. METODE PENELITIAN  
1. Metode Pendekatan  
Metodologi penelitian yang dipakai oleh penulisan ini adalah metode 
penelitian hukum yang disesuaikan dengan ilmu induknya yaitu ilmu hukum. 
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian 
hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan 
                                                
30) 
Barda Nawawi Arief, Ibid hlm. 183-184.pustaka yang merupakan data sekunder, sehingga penelitian yang digunakan adalah 
dengan pendekatan yuridis normatif 
31)
 .
Metode pendekatan yang digunakan  dalam penelitian ini menggunakan 
hukum positif sebagai langkah awal penelitian sehingga pendekatan yang diakukan 
secara yuridis normatif. Disamping itu penelitian ini juga memiliki sistematika 
hukum yang dipergunakan untuk menemukan  pengertian-pengertian dasar dalam 
sistem hukum serta penelitian terhadap asas-asas hukum yang akan digunakan untuk 
memiliki penerapan asas-asas hukum pidana. 
Studi perbandingan hukum (penelitian  studi komprehensif) juga dilakukan 
untuk lebih menunjang hasil penelitian  yaitu dengan cara mengembangkan dan 
menganalisa ketentuan-ketentuan yang terkait dengan tindak pidana terorisme baik 
yang bersifat internasional berupa konvensi-konvensi interasonal maupun dengan 
beberapa negara yang memiliki undang-undang terorisme. 
2. Jenis dan Sumber Data  
Data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan sekunder merupakan 
sumber utama yang digunakan dalam penulisan penelitian ini. Sumber data sekunder 
meliputi bahan hukum primer antara lain dari konvensi-konvensi PBB yang berkaitan 
dengan terorisme internasional. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan 
berupa Undang-Undang Nomor 15 Tahun  2003 tentang Penetapan Peraturan 
                                                
31)
 Ronny Hanitiyo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 
1994, hlm. 9 Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang, KUHP, putusan-putusan hakim, 
pendapat para pakar hukum dan lain-lainnya. 
3. Metode Pengumpulan Data 
Studi dokumenter/studi kepustakaan merupakan sumber utama penelitian ini 
karena penelitian ini memusatkan pada  data sekunder. Bahan-bahan kepustakaan 
yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan, diteliti 
dan di telaah untuk disaripatikan dengan judul tesis yaitu Kebijakan Penanggulangan 
Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana. 
4. Analisa Data 
Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara kualitatif 
normatif. Penganalisaan data dilakukan  secara kualitatif dengan melakukan analisa 
deskriptif yaitu berusaha memberikan  data yang ada dan menilainya kemudian 
menganalisa masalah-masalah yang ada  yang berkaitan dengan kebijakan 
penanggulangan terorisme dengan hukum pidana serta memberikan saran-saran untuk 
mengatasi permasalahan yang timbul dalam usaha penanggulangan terorisme 
tersebut. G. SISTEMATIKA PENULISAN 
1. Bab I merupakan pendahuluan mengetengahkan latar belakang 
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, 
kerangka pemikiran dan metode penelitian. 
2. Bab II merupakan tinjauan pustaka mengenai definisi terorisme dan 
kebijakan legislatif dalam penegakan hukum pidana, pembahasan teoriteori yang terkait hukum pidana  untuk menanggulangi tindak pidana 
terorisme. 
3. Bab III berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan atau analisa data 
yang terdiri dari kebijakan yang melatar belakangi lahirnya undangundang pemberantasan terorisme dan hambatan-hambatan dalam 
penanggulangan terorisme serta bagaimana kebijakan  legislatif dimasa 
yang akan datang akan penanggulangan tindak pidana terorisme. 
4. Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH TERORISME 
Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun 
sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan 
perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut 
hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi 
hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum 
nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme. 
Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin  “terrere” yang kurang 
lebih berarti membuat gemetar atau  menggetarkan. Kata teror juga bisa 
menimbulkan kengerian 
32)
 Akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada .
definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah 
terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena 
terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa. 
Terorisme sendiri memiliki sejarah yang panjang.  The Zealots-Sicarri, 
kelompok teroris Yahudi, berjuang melawan kekaisaran Romawi di siang hari di 
                                                
32)
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Retika Aditama, 2004, 
hal 22. 
30 tengah kota Yerusallem yang menimbulkan rasa panik luar biasa 
33)
 Terorisme .
yang ada saat ini diyakini memiliki sejarah pertautan dengan Revolusi Prancis, 
dimana istilah “teror” pertama kali  digunakan pada tahun 1795 yang secara 
spesifik merujuk pada kebijakan teror yang dijalankan oleh Robespierre untuk 
mempertahankan pemerintah Republiken Perancis yang baru dan masih berusia 
muda. 
Lembaran sejarah manusia telah diwarnai oleh tindakan-tindakan teror mulai 
dari perang psikologis yang ditulis oleh  Xenophon (431-350 SM),  Kaisar 
Tiberius (14-37 SM) dan  Caligula (37-41 SM) dari Romawi telah 
mempraktekkan terorisme dalam penyingkiran atau pembuangan, perampasan 
harga benda dan menghukum lawan-lawan politiknya.  Roberspierre (1758-
1794) meneror musuh-musuhnya dalam masa Revolusi Perancis. Setelah perang 
sipil Amerika terikat, muncul kelompok teroris rasialis yang dikenal dengan 
nama Ku Klux Klan. Demikian pula dengan Hitler dan Joseph Stalin. 
Terorisme sebagai suatu fenomena sosial mengalami perkembangan seiring 
dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk 
melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan 
keinginan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan 
subur perkembangan terorisme. Kemudahan menciptakan ketakutan dengan 
                                                
33)
 Philips J. Vermonte, yang mengutip dari Walter Lequer dalam bukunya Terorism (1977) dalam 
tulisan Menyoal Globalisasi dan Terorisme dalam buku Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, 
Penerbit Imparsial, Jakarta, 2003, hal. 30. teknologi tinggi dan perkembangan informasi melalui media yang luas, membuat 
jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuannya. 
Menurut    Muladi   bentuk-bentuk   terorisme  dapat   diperinci  sebagai 
berikut 
34)
 : 
1. Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri atas 
pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. 
2. Terorisme pada tahun 1950-an yang dimulai di Aljazair, dilakukan oleh 
FLN yang mempopulerkan “serangan  yang bersifat  acak” terhadap 
masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa 
yang mereka sebut (Algerian Nationalist) sebagai “terorisme negara”. 
Menurut mereka, pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan 
bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka 
yang tidak berdosa. 
3. Terorisme yang muncul pada tahun  1960-an dan terkenal dengan istilah 
“terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja 
untuk tujuan publisitas. 
Dalam mendefinisikan terorisme, kesulitan yang dihadapi adalah berubahnya 
wajah terorisme dari waktu ke waktu. Pada saat tertentu terorisme merupakan 
tindakan yang dilakukan negara, pada waktu yang lain terorisme dilakukan oleh 
kelompok non negara, atau oleh kedua-duanya.  Walter Laquer menyatakan 
bahwa tidak akan mungkin ada sebuah  definisi yang bisa meng-Cover ragam 
terorisme yang pernah muncul dalam sejarah. 
35) 
                                                
34)
Muladi, Hakikat Terorisme dan Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi dalam Buku 
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, 
Jakarta, 2002, Hal. 169. 
35)
 Philip J. Vermonte, ibid. Black Law Dictionary memberikan definisi terorisme sebagai  The Use of 
Threat of Violence to Intimidate or Cause Panic ; Especially as a means of 
Affecting Political Conduct. 
36) 
Menurut  T. P. Thornton dalam  Terror as a Weapon of Political Agitation
(1964) terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan 
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku 
politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan 
dan ancaman kekerasan. 
37)
 Terorisme adalah faham yang berpendapat bahwa 
penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang 
sah untuk mencapai tujuan. 
Proses teror, menurut E. V. Walter memiliki tiga unsur, yaitu : 
38) 
1. Tindakan atau ancaman kekerasan. 
2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban 
atau calon korban. 
3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan 
rasa ketakutan yang muncul kemudian. 
Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan 
kekerasan fisik yang direncanakan,  dipersiapkan dan dilancarkan secara 
mendadak terhadap sasaran langsung yang lazimnya adalah non combatant untuk 
mencapai suatu tujuan politik. Pengertian terorisme dalam rumusan yang panjang 
oleh James Adams adalah : 
38a) 
                                                
36)
 Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, ?????, 1999, Hal. 1484. 
37)
Muchamad Ali Syafaat dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, “Imparsial, Jakarta, 2003, 
Hal. 59. 
38)
 Ibid. 
38a)
Simela Victor Mohamad, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Pusat Pengkajian dan 
Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR-RI, Jakarta, 2002, Hal. 106. Terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individuindividu atau kelompok-kelompok untuk  tujuan-tujuan politik, baik untuk 
kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakantindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atua 
mengintimidasi suatu kelompok sasaran  yang lebih besar daripada korbankorban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang 
berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi 
keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik 
internasional yang ada. 
Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala per se) yang 
dibedakan dengan  administrative criminal law (mala prohibita). 
39)
 Untuk 
memahami makna terorisme dari beberapa lembaga di Amerika Serikat juga 
memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti misalnya : 
1. United Stated Central Intelligence (CIA). 
Terorisme internasional adalah  terorisme yang dilakukan dengan dukungan 
pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, 
lembaga, atau pemerintah asing. 
2. United Stated Federal Bureau of Investigation FBI) 
Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas 
seseorang atau harga untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk 
sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik. 
3. United State Departement of State and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara 
atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. 
                                                
39)
 Muladi, ibid. Terorisme internasional adalah terorisme yang menggunakan dan melibatkan 
warga negara atau wilayah lebih dari satu negara. 
4. The Arab Convention on The Suppression of Terrorism (1998) 
Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan 
tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu 
atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut yang 
melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, keselamatan atau 
bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harga publik 
maupun pribadi atau menguasai atau  merampasnya, atau bertujuan untuk 
mengancam sumberdaya nasional. 
5. Convention of The Organisation of The Islamic Conference on Combating 
International Terorism, 1999
Terorisme berarti tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan 
terlepas dari motif atau niat yang  ada untuk menjalankan rencana kejahatan 
individual atau kolektif  dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam 
untuk mencelakakan mereka atua  mengancam kehidupan, kehormatan, 
kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau 
fasilitas atau harga benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau 
merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional, 
atau mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau 
kedaulatan negara-negara yang merdeka. 6. United Kingdom, Terrorism Act, 2000
Terorisme mengandung arti sebagai  penggunaan atau ancaman tindakan 
dengan ciri-ciri : 
a. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian 
berat pada harga benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan 
kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius 
bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari 
publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau 
mengganggu sistem elektronik. 
b. Penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi pemerintah 
atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik. 
c. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan 
politik, agama atau ideologi. 
d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang 
melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. 
Menurut F. Budi Hardiman, terorisme termasuk ke dalam kekerasan politis 
(political violence) seperti kerusuhan, huru hara, pemberontakan, revolusi, perang 
saudara, gerilya, pembantaian dan lain-lain.
40)
 Namun terorisme tidak terlalu 
politis. 
                                                
40)
F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, 2003, Hal. 4. Menurut  Paul Wilkinson, pengertian terorisme adalah aksi teror yang 
sistematis, rapi dan dilakukan  oleh organisasi tertentu. 
41)
 dan terorisme politis 
memiliki karakteristik sebagai berikut : 
1. “Merupakan intimidasi yang memaksa; 
2. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana 
untuk suatu tujuan tertentu; 
3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat 
syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”; 
4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia namun tujuannya adalah 
publisitas; 
5. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara 
personal; 
6. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, 
misalnya “berjuan demi agama dan kemanusiaan”. 
                                                
41)
Abdul Wahid, et all. Loc.cit, Hal 29.  Selanjutnya  Paul Wilkinson membagi Tipologi Terorisme sebagai berikut :  
Tipe Tujuan Ciri-ciri 
Terorisme 
epifenomenal 
(teror dari bawah) 
Tanpa tujuan khusus, suatu 
hasil sampingan kekerasan 
horisontal berskala besar 
Tak terencana rapi, terjadi 
dalam konteks perjuangan 
yang sengit 
Terorisme 
revolusioner 
(teror dari bawah) 
Revolusi atau perubahan 
radikal atas sistem yang ada 
Selalu merupakan fenomena 
kelompok, struktur 
kepemimpinan, program, 
ideologi, konspirasi, elemen 
paramiliter 
Terorisme 
subrevolusioner 
(teror dari bawah) 
Motif politis, menekan 
pemerintah untuk mengubah 
kebijakan atau hukum, 
perang politis dengan 
kelompok rival, 
menyingkirkan pejabat 
tertentu 
Dilakukan oleh kelompok 
kecil, bisa juga individu, sulit 
diprediksi, kadang sulit 
dibedakan apakah 
psikopatologis atau kriminal 
Terorisme 
represif (teror dari 
atas/terorisme 
negara) 
Menindas individu atau 
kelompok (oposisi) yang tak 
dikehendaki oleh penindas 
(rejim otoriter/ totaliter) 
dengan cara likuidasi 
Berkembang menjadi teror 
massa, ada aparat teror, polisi 
rahasia, teknik penganiayaan, 
penyebaran rasa curiga di 
kalangan rakyat, wahana untuk 
paranoia pemimpin. 
Menurut skala aksi  dan organisasinya,  Paul Wilkinson juga membedakan 
antara terorisme nasional di satu pihak dan internasional dan transnasional di lain 
pihak, yaitu sebagai berikut : Terorisme intra-nasional Jaringan organisasi dan aksi terbatas oleh 
teritorial negara tertentu 
Terorisme internasional (1). Diarahkan kepada orang-orang asing dan 
aset-aset asing; 
(2). Diorganisasikan oleh pemerintah atau 
organisasi yang lebih daripada satu negara; 
(3). Bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan- 
kebijakan pemerintah asing. 
Terorisme transnasional Jaringan global yang mempersiapkan revolusi 
global untuk tatanan dunia baru (bagian dari 
terorisme internasional yang menjadi radikal). 
Kata terorisme pertama kali dipopulerkan saat Revolusi Perancis. Pada waktu 
itu, terorisme memiliki konotasi  positif. Sistem atau rezim  dela terreur pada 
1793-1794 dimaknai sebagai cara memulihkan tatanan saat periode kekacauan 
dan pergolakan anarkis setelah peristiwa pemberontakan rakyat pada tahun 1789. 
Jadi, rezim teror ketika itu adalah instrumen kepemerintahan dari negara 
revolusioner. Rezim ini dirancang untuk mengkonsolidasikan kekuasaan 
pemerintahan baru dengan cara mengintimadi gerakan kontra-revolusioner, 
subversif dan semua pembangkang lain  yang oleh rezim tersebut dicap sebagai 
“musuh rakyat”. Terorisme dalam konteks orisinal itu tampaknya juga sangat dekat asosiasinya 
dengan gagasan atau cita-cita tentang demokrasi. Tokoh revolusioner 
Maximillian Robespierre percaya bahwa  virtue adalah sumber utama bagi 
pemerintahan oleh rakyat pada masa damai, tetapi pada masa revolusi harus 
dipersekutukan dengan teror agar  demokrasi tampil sebagai pemenang. 
Ucapannya yang terkenal, “virtue without terror is evil; terror without virtue is 
helpless”. 
Pada era Perang Dunia I, terorisme masih tetap memiliki konotasi 
revolusioner. Pada dekade tahun  1880-an dan 1890-an, gerakan nasionalis 
Armenia militan di Turki Timur melancarkan strategi teroris untuk melawan 
kekuasaan Ottoman. Taktik inilah yang kemudian diadopsi oleh gerakan-gerakan 
separatis pada pasca Perang Dunia II. Pada dekade tahun 1930-an, makna 
“terorisme” kebali berubah. Terorisme pada era ini tidak banyak lagi dipakai 
untuk menyebut gerakan-gerakan revolusioner dan kekerasan yang ditujukan 
kepada pemerintah, dan lebih banyak digunakan untuk mendeskripsikan praktekpraktek represi massa oleh negara-negara totalitarian terhadap rakyatnya. 
Terorisme dengan demikian dimaknai lagi sebagai pelanggaran kekuasaan oleh 
pemerintah, dan diterapkan secara khusus pada rezim otoritatian seperti muncul 
dalam Fasisme Italia, Nazi Jerman dan Stalinis Rusia. 
Pada pasca Perang Dunia II, terorisme kembali mengalami perubahan makna 
dan mengandung konotasi revolusioner. Terorisme mengalami perubahan makna, 
dan mengandung konotasi revolusioner.  Terorisme dipakai untuk menyebut revolusi dengan kekerasan oleh kelompok  nasionalis anti kolonialis di Asia, 
Afrika dan Timur Tengah selama kurun dekade 1940-an dan 1950-an. Istilah 
“pejuang kemerdekaan” yang secara politis dapat dibenarkan muncul pada era 
ini. Negara-negara Dunia Ketiga mengadopsi istilah tersebut, dan bersepakat 
bahwa setiap perjuangan melawan kolonial bukanlah terorisme. Selama akhir 
1960-an dan 1970-an, terorisme masih terus dipandang dalam konteks 
revolusioner. Namun cakupannya diperluas hingga meliputi kelompok separatis 
etnis dan organisasi ideologis radikal. Kelompok-kelompok semacam PLO, 
separatis Quebec FLQ (Front de liberation du Quebec), Basque ETA (Euskadi ta 
Askatasuna) mengadopsi terorisme sebagai cara untuk menarik perhatian dunia, 
simpati dan dukungan internasional. 
Namun belakangan ini terorisme digunakan untuk merujuk pada fenomena 
yang lebih luas. Pada dekade 1980-an  misalnya, terorisme dianggap sebagai 
calculated means untuk mendestabilisasi Barat yang dituduh ambil bagian dalam 
konspirasi global. 
Philips Jusario Vermonte mengemukakan bahwa : 
“pada perkembangan selanjutnya, terorisme kemudian meluas dan melibatkan 
juga kelompok-kelompok subnasional dan kelompok primordial dengan 
membawa elemen radikalisme (seperti agama atau agenda politik lain), yang 
menciptakan rasa tidak aman (insecure) tidak hanya pada lingkup domestik, 
tetapi juga melampaui batas-batas wilayah kedaulatan. Hal ini antara lain 
disebabkan karena terorisme semakin melibatkan dukungan dan keterlibatan 
jaringan pihak-pihak yang sifatnya lintas batas suatu negara . 
Dari berbagai aksi teror yang terjadi tampak jelas bahwa teror merupakan 
senjata tak langsung untuk tujuan politik. Meski seringkali dampak materialnya tidak terlalu besar tetapi dampak politik dan psikologisnya sangat luas. Gema 
aksi teror ini bertambah besar karena pengaruh media massa, terutama televisi. 
Media massa merupakan sarana ampuh untuk penyebaran aksi teror. 
Dalam sejarahnya yang panjang, masih  terdapat ketidaksepakatan mengeani 
batasan sebuah gerakan teroris. Masalahnya, reaksi teror itu sangat subyektif. 
Reaksi setiap individu atau kelompok bahkan pemerintahan akan berbeda. Meski 
demikian ada beberapa bentuk teror yang dikenal dan banyak dilakukan, antara 
lain teror kriminal dan teror politik.  Teror kriminal biasanya hanya untuk 
kepentingan pribadi atau memperkaya diri. Teroris kriminal biasanya 
menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata 
yang dapat menimbulkan ketakukan atau teror psikis. Sedangkan ciri teror politik 
lain lagi, teror politik tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap 
melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil baik itu laki-laki, perempuan, 
dewasa maupun anak-anak. 
Terorisme juga tidak selalu identik dengan gerakan pembebasan nasional dan 
ideologi politik, karena yang dinilai adalah aksi-aksi kekerasan mereka yang 
menyerang sasaran sipil (non-combatant), dan di pihak lain tidak selalu terkait 
dengan simbol-simbol negara dan kekuasaan seperti elit politik, militer dan 
sebagainya. Adapun aksi-aksi kekerasan  yang dilakukan, baik oleh individu, 
suatu kekuatan atau kelompok terhadap  pihak sipil yang tidak berdosa dipakai 
dalam mencapai tujuan tertentu sebagai bentuk resistensi terhadap sistem yang 
ada. Sebagai konsekuensinya, baik kelompok  seperti negara, organisasi politik, 
ataupun organisasi yang berbasis ideologi dan nilai-nilai primordial, bahkan 
individu dapat saja dikategorikan telah melakukan suatu aksi terorisme.  
Walaupun aksi-aksi terorisme dapat dilakukan secara individual, namun biasanya 
kaum teroris tidak berdiri sendiri melainkan mempunyai suatu jaringan kerja 
(network) dan satuan kerja organisasi. Bahkan belakangan diketahui terdapat 
indikasi adanya jalinan kerjasama di antara kelompok  yang berbeda latar 
belakang ideologis namun serupa kepentingannya, yakni melakukan perlawanan 
frontal dan tidak kenal kompromi terhadap sistem kekuasaan yang eksis. 
Jadi pada tingkat tertentu dalam menjalankan aksi di lapangan, terorisme bisa 
saja dilakukan oleh individu yang terpisah dan tidak mengenal satu dengan 
lainnya, namun sesungguhnya masih berada dalam suatu jaringan dengan 
pemimpin yang sama. Hal ini sering disebut sebagai pengaplikasian sistem sel, 
sebagaimana yang dipergunakan oleh organisasi-organisasi bawah tanah, baik 
yang mempunyai tujuan politik ataupun kriminal. 
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mencatat 128 aksi terorisme sejak 
tahun 1961. beberapa aksi terorisme yang terkenal antara lain adalah :  Bloody 
Friday yang dilakukan oleh gerilyawan  IRA di Belfast pada tahun 1972 
(mengakibatkan korban jiwa 11 orang);  Munich Olympic Massacre/Black 
September yang dilakukan oleh gerilyawan Palestina pada Olimpiade Munich; 
Entebbe Crisis pada tahun 1976 dimana Baader Meinhof group membajak Air 
France dan memaksa untuk mendaratkannya di Uganda;  Hostage Crisis yang terjadi di Iran pada tahun 1979; Penyanderaan Masjidil Haram Mekkah pada tahu 
1979 yang korbannya berjumlah 250 orang; Pemboman kedutaan besar Amerika 
Serikat di Beirut pada tahun 1983; Jatuhnya Pesawat Pan Am 103 akibat ledakan 
bom yang terjadi di Lockerbie (The Lockerbie) dengan korban tewas 259 orang; 
Tokyo Subway Attack pada tahun 1995 yang dilakukan oleh kelompok sekte Aum 
Shinrikyo dan mengakibatkan 5.700 orang terluka serta 12 orang terbunuh; 
Federal Building Bombing (peledakan gedung federal di Oklahoma) yang 
dilakukan oleh  Timothy Mc Veigh dan mengakibatkan 166 orang meninggal 
dunia; Penyanderaan Ekspedisi Lorentz oleh kelompok OPM (Organisasi Papua 
Merdeka) di Irian pada tahun 1996, Serangan 11 September yang terjadi di 
Washington DC, Pittsburg dan New York yang memakan korban jiwa kurang 
lebih 4000 orang; Peledakan Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang 
mengakibatkan 187 orang tewas. 
Reaksi dunia terhadap ancaman yang berasal dari gerakan dan aksi-aksi 
terorisme baik lokal maupun yang berdimensi internasional kini sama. Mereka 
sama-sama prihatin dan terancam, sekalipun terdapat perbedaan pandangan atas 
penyebab dasar dari munculnya gerakan dan aksi-aksi tersebut. 
Sebagai konsekuensinya, kini masalah  keamanan manusia tidak lagi hanya 
kelaparan massal yang terjadi di berbagai belahan dunia akibat kekeringan yang 
bersumber dari degradasi lingkungan, terjadinya perpindahan penduduk secara 
ilegal dalam jumlah besar akibat krisis ekonomi dan keterbelakangan yang telah 
mengancam kemakmuran ekonomi dan keamanan sosial negara maju, serta semakin merebaknya peredaran narkotika dan obat bius secara besar-besaran baik 
di negara berkembang maupun negara maju. 
Namun saat ini telah muncul ancaman  baru atas keamanan manusia yang 
berasal dari gerakan dan aksi-aksi terorisme, yang ada hubungannya satu sama 
lain dengan tiga ancaman yang disebutkan sebelumnya. Dengan demikian 
masalah kemanan manusia menjadi lebih kompleks dan sekaligus rawan dewasa 
ini, jauh lebih rawan daripada ketika isu kemanan manusia pertama kali mencuat 
sebagai isu global dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 
Dengan demikian terorisme muncul sebagai isu penting, yang tidak dapat 
dipisahkan dalam diskusi-diskusi mengenai kemanan manusia dalam forumforum internasional. Sebagaimana halnya masalah kelaparan, degradasi 
lingkungan, imigran gelap, kemiskinan, narkotika dan obat bius, kini terorisme 
menjadi masalah yang serius bagi dunia dewasa ini mengingat implikasinya 
secara luas dapat berpengaruh terhadap tata dunia yang ada dalam periode pasca 
Perang Dingin. Dengan kata lain, terorisme dapat merupakan wujud resistensi 
dari mereka yang tidak puas  terhadap tata dunia dewasa ini, yang dinilai tidak 
dapat memberikan alternatif masa depan yang lebih baik kepada umat manusia. 
PBB telah menaruh perhatian cukup lama terhadap permasalahan terorisme. 
Perhatian ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukannya secara terpadu, baik 
melalui upaya hukum maupun politik.  Melalui upaya hukum PBB telah 
menghasilkan sejumlah konvensi yang terkait dengan persoalan terorisme, 
diantaranya sebagai berikut : 1. Convention on Ofences and Certain  Other Acts Commited on Board 
Aircraft. Ditandatangani di Tokyo  tanggal 14 September 1963 dan 
mulai belaku tanggal 4 Desember 1969. 
2. Convention for the Suppression of  Unlawful Seizure of Aircraft. 
Ditandatangani di Hague tanggal 16 Desember 1970 dan mulai berlaku 
tanggal 14 Oktober 1971. 
3. Covention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of 
Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 
dan mulai berlaku tanggal 26 Januari 1973.
4. Convention on the Prevention and Punisment of crimes agains 
internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents. 
Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 3166 (XXVIII) tanggal 
14 Desember 1973 dan mulai berlaku tanggal 20 Februari 1977.
5. International Convention against the Taking of Hostages. Diterima 
oleh Majelis Umum dengan Resolusi 34/46 tanggal 17 Desember 1979 
dan mulai berlaku tanggal 3 Juni 1983.
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material. 
Ditandatangani di Vienna dan  New York tanggal 3 Maret 1980. 
disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979 dan mulai berlaku tanggal 
8 Februari 1987.
7. The Protocol for the Suppression of  Unlawful Acts of Violence at 
Airports Serving International Civil Aviation.  Tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of 
Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24 Februari 1988 
dan mulai berlaku tanggal 6 Agustus 1989.
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of 
Maritime Navigation. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan 
mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of 
Fixed Platform Located on the Continental Shelf. Diterima di Roma 
tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of 
Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 Maret 1991 dan mulai berlaku 
tanggal 21 Juni 1998.
11. International Convention for the Supression of Terorist Bombing. 
Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52/164 tanggal 15 
Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 23 Mei 2001.
12. International Convention on the Supression of Financing of Terrorism. 
Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 54/109 tanggal 9 
Desember 1999 dan mulai berlaku tanggal 10 April 2002.
Setelah peristiwa serangan terorisme ke Amerika Serikat tanggal 11 
September 2001, PBB lebih intens lagi memberikan perhatian terhadap persoalan 
terorisme. Hal ini dilakukan sebagai respon yang wajar karena peristiwa serangan 
teroris ke jantung bisnis dan pertahanan Amerika Serikat tersebut dikategorikan sebagai serangan teroris terbesar sepanjang sejarah terorisme modern. Terkait 
dengan peristiwa  ini, PBB melalui Dewan Keamanan telah mengeluarkan 
Resolusi 1368 dan 1373. Sementara Majelis Umum secara konsensus juga telah 
mengadopsi Resolusi 56/1. Resolusi-Resolusi tersebut menggaris bawahi 
pentingnya kerjasama secara multilateral  dan efektif untuk mengatasi masalah 
terorisme. 
Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai kejahatan 
politik. Definisi yang diberikan Pemerintah Amerika Serikat mengenai terorisme 
adalah  “the unlawful use or threat of violence againts person or property to 
further political or social objectives”.
42)
 Dan sejak peristiwa 11 September 2001, 
Pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas tidak melakukan kompromi, dan 
menolak melakukan negosiasi dengan kelompok teroris karena negosiasi hanya 
akan memperkuat posisi kelompok teroris. Sikap Amerika Serikat ini nampak 
dalam ucapan Presiden George W. Bush. “If you are not with us, you are against 
us” dan selanjutnya negara-negara berat sekutu Amerika mengikuti langkah 
Amerika Serikat memerangi terorisme. 
Sikap Amerika Serikat yang tegas terhadap masalah terorisme dipengaruhi 
beberapa faktor : 
1. Terorisme dianggap sangat membahayakan kepentingan nasional 
Amerika Serikat. Karena seringnya warga negara dan gedung kedutaan 
                                                
42)
 Poltak Pantegi Nainggolan, Editor, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Sekjen DPR-RI, 2002, 
Hal 159. Amerika Serikat maupun perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang 
ada di luar negeri, dijadikan sasaran tindakan terorisme. Antara tahun 
1995-2000, diperkirakan sekitar 13  orang warga Amerika Serikat 
terbunuh dan 109 orang warga Amerika Serikat terluka setiap tahunnya 
karena serangan terorisme. 
2. Tindakan terorisme juga seringkali dianggap mengganggu proses 
perdamaian yang telah diupayakan oleh Amerika Serikat selama lebih 
dari dua puluh tahun di Timur Tengah dalam konflik Arab-Israel. 
3. Terorisme juga mengancam stabilitas keamanan di negara-negara yang 
menjadi sekutu Amerika Serikat. 
4. Terorisme selalu terkait dengan tindakan kekerasan sehingga dianggap 
bertentangan dengan HAM.
43)
Peran Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di dunia pada saat ini 
sangat dominan. Amerika Serikat mengatur dan menerapkan kebijakan dan 
strategi penanggulangan terorisme internasional, sekalipun melalui Perserikatan 
Bangsa-Bangsa sangat terasa sehingga “counter productive” apabila dikaitkan 
dengan politik luar negeri Amerika Serikat yang tidak jarang dianggap bersifat 
memihak suatu negara.  
Pihak-pihak yang berseberangan dengan kebijakan Amerika Serikat dalam 
menanggulangi terorisme berpendapat bahwa peristiwa 11 September 2001 
adalah peristiwa yang dapat terjadi karena siste keamanan (security system) di 
                                                
43)
 Ibid, hal 159. gedung Pentagon disengaja tidak beraksi atau memang terjadi pembiaran. Tidak 
mungkin Al-Qaidah memiliki piranti yang canggih seperti itu, karena yang dapat 
melakukan tindakan tersebut hanyalah terorisme negara (State Terorism) 
44)
 yang 
dilakukan Amerika Serikat sendiri dengan mesin terornya CIA dan USIA (United 
State Information Agency). 
Negara Indonesia yang juga secara empiris telah mengalami tindakan 
terorisme dengan akibat yang dahsyat yaitu peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 
2002 dengan korban kurang lebih 200 orang tewas dan ratusan orang luka-luka, 
juga melakukan kerjasama dengan negara tetangga seperti Australia. Yang 
menyedihkan adalah, langkah-langkah untuk menanggulangi terorisme di tingkat 
nasional seringkali diidentikkan dan dicap sebagai intervensi Amerika Serikat 
yang sejak 11 September 2001 mengajak  berbagai negara untuk memerangi 
terorisme internasional khususnya Al-Qaeda/Osama bin Laden. 
45) 
B. KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA 
Kejahatan yang dilakukan seseorang  dapat mengakibatkan terjadinya 
kegoncangan, ketidak-harmonisan dalam masyarakat yang menginginkan 
kehidupan yang tentram dan sejahtera. Hukum pidana dengan salah satu 
sarananya berupa pidana, merupakan  alternatif, salah satu bagian, untuk 
                                                
44)
 Jerry D. Gray, The Real Truth, Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September, Gema Insani Press, 2004, 
hal XIV-XV. 
45)
 Muladi, Penanganan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Bahan Seminar pada 28 Juni 2004 
di Jakarta, Hal 3. menanggulangi kejahatan dan mengembalikan kejahatan dan mengembalikan 
kehidupan masyarakat supaya tertib dan tentram kembali. 
Kejahatan merupakan gejalan universal, artinya tidak hanya menjadi masalah 
nasional tetapi juga menjadi masalah yang ada dimana-mana. Karena kejahatan 
mendatangkan kerugian di dalam kehidupan masyarakat, maka terhadap pelaku 
kejahatan perlu dilakukan pemberian  sanksi atau hukuman yang setimpal, dan 
untuk itu perlu suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan itu adalah 
kejahatan oleh suatu lembaga yang  berwenang dengan menjatuhkan sanksi 
pidana. 
Barda Nawawi Arief yang mengambil pendapat  Gene Kassebaum
menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi 
pidana merupakan cara yang paling tua,  setua peradaban manusia itu sendiri. 
Adapula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”. 
Herbert L. Packer juga mengemukakan bahwa pengendalian perbuatan anti 
sosial dengan menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah merupakan 
suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting
46)
 .
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa : 
“meningkatnya kejahatan dapat mengganggu kebijakan perencanaan 
kesejahteraan masyarakat yang ingin dicapai. Oleh karena itu kebijakan 
perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial harus pula dibarengi 
dengan kebijakan perencanaan perlindungan sosial. Malahan sebenarnya di dalam 
menetapkan kebijakan sosial, yaitu  usaha-usaha yang rasional untuk 
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di dalamnya harus sudah tercakup juga 
                                                
46)
 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya 
Bakti, Bandung, 2001, hal 155-156. kebijakan mengenai perencanaan perlindungan masyarakat (social defence 
planning)”. 
Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief : 
“salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha 
yang rasional untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan “politik 
kriminal”. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah “perlindungan 
masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan istilah, 
misalnya “kebahagiaan warga masyarakat” (happines of the citizens), “kehidupan 
kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), 
“kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai 
“keseimbangan” (equalitiy). Dengan demikian politik kriminal yang merupakan 
bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat merupakan bagian pula dari 
keseluruhan kebijakan sosial”. 
Sehubungan dengan konsep pemikiran yang demikian itu, maka  Sudarto
mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usahausaha mengatasi segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya 
dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau  social defence 
planning. Dikemukan pula selanjutnya, bahwa  social defence planning ini pun 
harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. 
Politik kriminal menurut Sudarto mempunyai tiga arti, yaitu : 
a. “dalam arti sempit”, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi 
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 
b. dalam arti luas, ialah keseluruhan  fungsi dari aparatur penegak hukum, 
termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi; 
c. dalam arti paling luas (yang beliau ambir dari  Jorgen Jepsen) ialah 
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan 
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma 
sentral dari masyarakat”. 
Sedangkan menurut  G.P. Hoefnagels Upaya penanggulangan kejahatan 
(Politik Kriminal) dapat ditempuh dengan : a. “penerapan hukum pidana (criminal law aplication); 
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); 
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan 
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and 
punishment / mass media)”. 
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) secara 
garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) 
dan lewat jalur “non-penal” (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian di 
atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (a) merupakan upaya “penal,
sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan 
dalam kelompok upaya “non penal”. 
Kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian dari politik 
penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Dengan perkataan lain politik 
hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan 
dengan hukum pidana. Kebijakan atau politik hukum pidana pada hakekatnya 
juga merupakan bagian dari usaha  penegakan hukum (khususnya penegakan 
hukum pdana), sehingga dapat dikatakan  bahwa politik atau kebijakan hukum 
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law 
enforcement policy). 
Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa 2 (dua) masalah sentral dalam 
kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah 
masalah penentuan : 
7. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 
8. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap 2 (dua) masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari 
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau 
kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas 
harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosialpolitik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana 
termasuk pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah sentral di atas, harus 
pula dilakukan dengan pendekatan yang  berorientasi pada kebijakan (policy 
oriented approach). 
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama 
di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal 
yang pada intinya sebagai berikut :
47) 
1. “Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan 
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata 
material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka 
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan 
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu 
sendiri. 
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan 
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu 
perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas 
warga masyarakat. 
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan 
hasil (cost and benefit principle). 
4. Penggunaan hukum pidana harus pula  memperhatikan kapasitas atau 
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan 
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)”. 
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang 
terdiri dari tiga tahapan kebijakan yaitu (1) tahap kebijakan legislatif/formulatif, 
                                                
47)
 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1978, hal. 107. (2) tahap kebijakan yudikatif/aplikatif dan (3) tahap kebijakan 
eksekutif/administratif. Kegita tahap  kebijakan hukum pidana tersebut di 
dalamnya terkandung tiga kekuasaan/kewenangan yaitu kekuasaan 
legislatif/formulatif untuk menetapkan  atau merumuskan hukum pidana oleh 
pembuat undang-undang, kekuasaan yudikatif/aplikatif adalah tahap penerapan 
hukum pidana oleh aparat penegak  hukum atau pengadilan dan kekuasaan 
eksekutif/administratif adalah tahap pelaksanaan pidana oleh aparat 
pelaksana/eksekusi pidana. 
Tahap kebijakan legislatif yang dapat juga disebut tahap formulasi, 
merupakan salah satu mata rantai dari perencanaan penegakan hukum, khususnya 
adalah bagian dari proses konkretisasi  pidana. Tahap kebijakan legislatif ini 
merupakan tahap awal dan sekaligus merupakan sumber landasan dari proses 
konkretisasi pidana berikutnya, yaitu  tahap penerapan pidana dan tahap 
pelaksanaan pidana. 
Sistem pemidanaan dalam tahap kebijakan legistalif/formulatif pada 
hakekatnya merupakan sistem kewenangan/kekuasaan untuk menjatuhkan 
pidana. Pengertian “pidana” dapat dilihat dalam arti sempit/formal maupun dalam 
arti luas/materiil. 
Dalam arti sempit/formal penjatuhan pidana berarti kewenangan 
menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat 
berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/materiil penjatuhan pidana 
merupakan suatu mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pidana 
dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. 
Pengertian kebijakan legislatif/formulatif dirumuskan oleh  Barda Nawawi 
Arief sebagai : 
“suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa 
yang dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana 
melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau 
diprogramkan itu”. 
Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : 
“dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan 
penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas dari aparat penegak 
hukum/penerap hukum, akan tetapi juga merupakan tugas aparat pembuat 
hukum (badan legislatif)”. Kebijakan  legislatif merupakan tahap paling 
strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui penal 
policy. Oleh karena itu kesalahan/kelemahan dalam kebijakan formulasi 
(legislatif) merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat 
upaya pencegahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya 
pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 
Permasalahan kebijakan legislatif/formulatif merupakan permasalahan 
kebijakan, sehingga pendekatannya harus dilakukan dengan pendekatan yang 
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Dalam pengertian 
“Pendekatan Kebijakan” tercakup pengertian pendekatan rasional, pendekatan 
fungsional, pendekatan ekonomi dan pendekatan nilai. 
Pendekatan rasional menurut  Sudarto adalah dalam melaksanakan 
politik/kebijakan orang mengadakan penilaian dari sekian banyak alternatif yang 
dihadapi. Sedangkan Karl O. Christiansen mengemukakan bahwa karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional adalah penerapan metode-metode yang 
rasional. 
Pendekatan yang rasional tersebut menurut  Barda Nawawi Arief, diartikan 
sebagai : 
“Suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus 
merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan 
sadar. Ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk 
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua 
faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu 
dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan inipun 
merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang 
rasional”. 
Menurut  Johanes Andenaes, pendekatan ekonomis, erat hubungannya 
dengan kebijakan yang rasional sebagai  pilihan konsepsi terhadap perlindungan 
masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa : 
“apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan 
masyarakat (social defence), maka tugas selanjutnya adalah 
mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai 
dengan biaya minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi 
individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil ilmiah 
mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektifitas dari bermacam-macam 
sanksi”. 
C. TEORI PIDANA DAN PEMIDANAAN 
Kejahatan-kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat, mengakibatkan 
terganggunya nilai-nilai dan cara hidup warga masyarakat. Usaha untuk 
menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut salah satunya adalah dengan 
menggunakan hukum pidana. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum, dapat mempunyai arti yang 
luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat  berkonotasi dengan bidang 
yang cukup luas. Istilah “hukuman” tidak hanya sering digunakan dalam bidang 
hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama 
dan sebagainya. Sedangkan istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, 
maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna yang dapat menunjukkan ciriciri atau sifatnya yang khas. 
Pengertian atau defenisi pidana itu sendiri banyak dikemukakan oleh para 
sarjana, antara lain  sebagai berikut : 
1. Sudarto 
Yang dimaksud dengan pidana adalah “penderitaan yang sengaja dibebankan 
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhu syarat-syarat 
tertentu”. 
Pidana adalah salah satu dari sekian sanksi yang bertujuan menegakkan 
berlakunya norma. Pelanggaran norma  yang berlaku dalam masyarakat 
menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi 
tersebut. 
2. Roeslan Saleh 
Pidana adalah reaksi atas delik, dan  ini berujud suatu nestapa yang sengaja 
ditimpakan pada pembuat delik itu. Dan untuk terlaksananya diadakan pula perlengkapan yang cukup mahal. Diadakan suatu organisasi yang bukannya 
akan menimbulkan kebahagiaan, melainkan sebaliknya kesengsaraan.
48) 
3. Ten Honderich 
Punishment is an authorities infliction of penalty (something involving 
deprivation or distress) on an offender for an offence (Pidana adalah suatu 
pengenaan yang dijatuhkan oleh penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) 
kepada pelaku tindak pidana).  
4. H.L.A. Hart
49)
Punisment must : 
a. involve pain or consquence normally considered unpleasant; 
b. be for an actual or supposed offenders for his offence; 
c. be for an offence against legal rules; 
d. be intentionally administered  by human beings other than the 
offenders; 
e. be imposed and administered by an authority constituted by legal 
system with the offence is committed.
(Pidana harus : 
a. mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lainnya yang 
tidak menyenangkan; 
                                                
48)
 Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, Hal. 34. 
49)
 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 1985, hal. 22-23. b. dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar 
melakukan tindak pidana. 
c. dikenakan terhadap suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan 
hukum; 
d. dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; 
e. dijatuhkan dan dilaksanakan oleh  penguasa sesuai  dengan ketentuan 
suatu sistem yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut). 
5. Alf Ross 
Punishment is that social responce which : 
a. “occurs where there is violation of legal rules; 
b. is imposed and carried out by authorised persons on behalf of legal 
order to which the violated rule belongs; 
c. involves suffering or at least other consequences normally considered 
unpleasant; 
d. expressed disaproval of the violator”. 
(Pidana adalah reaksi sosial yang : 
a. terjadi berhubungan dengan adanya  pelanggaran terhadap aturan 
hukum; 
b. dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa 
sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar; 
c. mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi 
lain yang tidak menyenangkan; 
d. menyatakan pencelaan terhadap pelanggar). Jenis-jenis pidana yang ada dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum 
Pidana saat ini antara lain: 
a. Pidana Pokok : 
1. Pidana mati 
2. Pidana penjara 
3. Pidana kurungan 
4. Pidana denda 
5. Pidana tutupan 
b. Pidana Tambahan : 
1. Pencabutan hak-hak tertentu 
2. Perampasan barang-barang tertentu 
3. Pengumuman putusan hakim 
Jenis-jenis pidana yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum 
Pidana tahun 2008 antara lain :
50)
Pasal 65 : 
(1) Pidana pokok terdiri atas : 
1. Pidana penjara 
2. Pidana tutupan 
3. Pidana pengawasan 
4. Pidana denda 
5. Pidana kerja sosial 
                                                
50)
 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2008, www.legalitas.org, 25 Juni 2008. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat 
ringannya pidana 
Pasal 66 : 
Pidana mati merupakan pidana pokok  yang bersifat khusus dan selalu 
diancamkan secara alternatif. 
Pasal 67 : 
(1) Pidana tambahan terdiri atas : 
a. Pencabutan hak-hak tertentu 
b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan 
c. Pengumuman putusan hakim 
d. Pembayaran ganti kerugian 
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut 
hukum yang hidup dalam masyarakat. 
Herbert L. Packer, mengemukakan bahwa “usaha pengendalian perbuatan 
anti sosial dengan menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar 
peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi 
hukum yang penting”. Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa : 
1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun 
di masa yang akan datang, tanpa pidana (the criminal sanction is 
indispensable; we could  not, now or in the foreseeable future, get along 
without it). 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita 
miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera 
serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya (the criminal sanction 
is the best available device we have  for dealing with gross and immediate 
harms and threats of harm). 
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/terbaik” dan 
suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia 
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara 
manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan 
dan secara paksa. (the criminal sanction is at once prime guarantor and prime 
threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is 
guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener). 
Namun bertolak dari pendapat di  atas, ada sementara pendapat yang 
mempertanyakan apakah perlu kejahatan ditanggulangi dengan sanksi pidana, 
karena saksi pidana itu akan membawa permasalahan  tersendiri bahkan akan 
menciptakan kejahatan yang lain. Oleh  sebab itu sanksi pidana tidak perlu 
dikenakan terhadap pelaku kejahatan. Pendapat ini didasari oleh kekejaman 
pidana yang diterapkan terhadap pelaku  kejahatan itu sendiri. Pandangan ini 
berlanjut dan menimbulkan paham “abolition of punishment” yang menghendaki 
agar pidana dihapuskan.  Olof kinberg, menyatakan kejahatan pada umumnya 
merupakan perwujudan ketidaknormalan atau ketidakmatangan si pelanggar (the 
expression of an offenders abnormality or immaturity) yang lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment) dari pidana. Kemudian  Karl Menninger
mengemukakan bahwa sikap “memidana” (punitive attitude) harus diganti 
dengan sikap mengobati” (therapeutic attitude). 
Penghapusan pidana dalam hukum pidana mendapat tanggapan dari Roeslan 
Saleh, yang masih memandang perlu untuk memakai pidana dan hukum pidana. 
Ada beberapa alasan yang dikemukakan yang inti alasannya adalah sebagai 
berikut : 
1. perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan 
yang hendak dicapai, tetapi terletak  pada persoalan seberapa jauh untuk 
mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan 
terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara 
nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masingmasing; 
2. ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti 
sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu 
reaksi atas pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukannya itu dan 
tidaklah dapat dibiarkan begitu saja; 
3. pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si 
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu 
warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat. 
Masalah pemidanaan berhubungan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Para 
sarjana dan ahli hukum berbeda berpendapat mengenai masalah teori tujuan pemidanaan ini, yang secara tradisional dibagi menjadi 2 (dua) kelompok besar, 
yaitu : 
1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen); 
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen). 
Teori pertama, menganggap pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada 
sebagai suatu pembalasan kepada yang melakukan kejahatan. Johanes Andenaes
mengatakan tujuan utama (priamir) dari pidana menurut teori absolut ialah 
“untuk memuaskan tuntutan keadilan”. 
Menurut  Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi 
dalam beberapa golongan, yaitu : 
1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang 
berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si 
pembuat. 
2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat 
dibagi dalam : 
a. penganut teori retributif terbatas (the limiting retributivist) yang 
berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan 
kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan 
dengan kesalahan terdakwa. 
b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), 
disingkat dengan teori distributif  yang berpendapat bahwa pidana 
janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan  dibatasi oleh kesalahan. Prinsip 
“tiada pidana tanpa kesalahan dihormati, tetapi dimungkinkan adanya 
pengecualian misalnya dalah hal strict liability”. 
Howard Jones dalam  Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa “teori 
retributif ini berhubungan erat dengan perbaikan keseimbangan moral. Demikian 
pula menurut Goodheart, teori  retribution merupakan pernyataan atau ekspresi 
pencelaan masyarakat terhadap kejahatan. Pemberian pidana yang bersifat 
pembalasan, dengan demikian merupakan pernyataan pencelaan (moral) 
masyarakat yang pada hakekatnya merupakan usaha untuk memulihkan 
keseimbangan nilai. Sisi lain  dari teori retribusi ini ialah teori “expiation” atau 
teori penebusan dosa. Menurut teori  ini, penderitaan pidana merupakan 
penebusan dosa dari si pembuat,  karena seperti dikemukakan oleh  Howard 
Jones, penebusan dosa itu merupakan suatu kebutuhan fundamental dari sifat 
moral kita. 
Kebangkitan kembali perhatian orang terhadap teori-teori retributif ini 
diungkapkan pula oleh  George P. Fletcher. Ia membagi dua kelompok 
pandangan mengenai tujuan atau dasar pemikiran  mengenai pidana. Kepompok 
pertama, mendasarkan pokok pikirannya  pada konsekuensi-konsekuensi pidana 
itu sendiri untuk tujuan perlindungan masyarakat. Akibat atau tujuan pidana itu 
ada yang bersifat spekulatif, yaitu untuk (1) Awal pencegahan umum (general 
deterrence), (2) Awal pencegahan khusus (special deterrence); dan (3) perbaikan 
(rehabilitation of reform), untuk mengasingkan atau mengisolirnya dari pergaulan masyarakat agar tidak mengancam orang-orang lain. Kelompok 
pertama ini dapat disebut teori “perlindungan masyarakat”. Kelompok kedua, 
mendasarkan pokok pikirannya tidak pada konsekuensi atau akibat-akibat yang  
mengikuti pidana itu sendiri, jadi dengan tidak memandang kebaikan sosial yang 
mengikutinya, tetapi semata-mata sebagai reaksi atau respons sosial yang pantas 
terhadap kejahatan. Kelompok kedua ini disebut teori retributif. 
Menurut Fletcher, kebangkitan kembali perhatian terhadap teori retributif ini 
disebabkan oleh kekecewaan orang terhadap teori perlindungan masyarakat, 
khususnya terhadap tujuan rehabilitasi. Dikemukakan olehnya, bahwa cacat yang 
cukup serius dari teori  perlindungan masyarakat ialah bahwa mereka 
menitikberatkan perhatian pada kebaikan (spekulatif) yang akan terjadi dan 
mengabaikan  pengimbalan terhadap si pelanggar. Dengan melihat kebaikan yang 
akan terjadi dari pidana yang akan dijatuhkan, maka hal ini akan mengalihkan 
perhatian hakim dari masa lalu, khususnya pada perbuatan yang telah dilakukan 
si terdakwa. 
Sedangkan pada teori kedua yaitu teori relatif menyatakan, bahwa pidana 
bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang 
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan 
tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori 
tujuan (Utilitarian theory). 
Mengenai tujuan pidana dalam pencegahan kejahatan, biasanya dibedakan 
antara istilah prevensi spesial dan prevensi general atau sering juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general deterrence”. Dengan prevensi spesial 
dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu 
ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk 
tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana 
itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Dengan 
prevensi general dimaksudkan pengaruh  pidana terhadap masyarakat pada 
umumnya. Artinya pencegahan kejahatan  itu ingin dicapai oleh pidana dengan 
mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat. 
Tujuan utama yang ingin dicapai pidana dan hukum pidana sebagai salah satu 
sarana dari politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat”. Tujuan 
perlindugan masyarakat inilah yang menurut  Cherif. M Bassiouni merupakan 
batu landasan  (a cornerstone) dari hukum pidana. Tujuan tersebut merupakan 
induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori mengenai tujuan pidana. Dengan 
perkataan lain, semua pendapat dan teori yang berhubungan dengan tujuan pidana 
dan pemidanaan sebenarnya hanya merupakan perincian atau pengidentifikasian 
dari tujuan umum itu. 
Tujuan yang ingin dicapai dengan pidana dan hukum pidana selama ini belum 
pernah dirumuskan secara formal dalam undang-undang. KUHP yang merupakan 
peraturan yang berisi ketentuan-ketentuan umum hukum pidana materiil tidak 
mengatur masalah tujuan pemidanaan ini. Namun dalam rancangan KUHP 
Nasional tahun 2000 dirumuskan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, yang 
diatur dalam Pasal 50, yaitu : (1) “Pemidanaan bertujuan : 
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma 
hukum demi pengayoman masyarakat; 
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga 
menjadi orang yang baik dan berguna; 
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, 
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam 
masyarakat ini; dan 
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan 
martabat manusia”. 
Menurut  Barda Nawawi Arief, bahwa perumusan tujuan pemidanaan di 
dalam Konsep (Rancangan KUHP Nasioanal, pen.) bertolak dari pokok-pokok 
pemikiran, antara lain : 
1. Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan 
(purposive system) sehingga dirumuskannya pidana dan aturan 
pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan 
sarana untuk mencapai tujuan. 
2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu 
rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja 
direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai kesatuan sistem pemidanaan, maka 
diperlukan perumusan tujuan pemidanaan. 
3. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi 
pengendali/kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar 
rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. BAB III 
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA 
A. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Terorisme 
Peristiwa 11 September 2001 di New York boleh dikatakan menjadi babak 
baru bagi negara-negara di seluruh dunia untuk membangun sistem keamanan.  
Pemerintah Republik Indonesia juga mengalami dan melakukan hal yang sama 
setelah terjadinya peledakan Bom Bali pada 12 Oktober 2002, meskipun 
sebenarnya telah melakukan langkah-langkah sejak awal tahun 1999 dengan 
menyusun Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Terorisme sebagai langkah antisipatif untuk melakukan pencegahan dan 
penanggulangan. 
51)
Di Indonesia sendiri, pada awalnya  masalah terorisme masih menjadi 
perdebatan politis. Sebagian masyarakat menganggap bahwa terorisme tidak ada, 
sementara yang sebagian lagi menganggap bahwa terorisme telah ada di 
Indonesia dan menjadi ancaman yang  serius. Sejak tahun 1999 telah ada 
peledakan bom di berbagai daerah, bahkan peledakan bom Natal pada tahun 2000 
yang terjadi di berbagai kota, masih hanya diperdebatkan secara politis dan tidak 
                                                
51)
 Ket. Pemerintah 18 Oktober 2002 tentang diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Departemen 
Kehakiman dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia, Tahun 2002, hal. 8 menimbulkan adanya kesadaran akan pentingnya memberikan perhatian terhadap 
terorisme. 
Beberapa kasus bom yang menonjol di Indonesia :
52) 
No. Tempat Kejadian Tahun Kejadian 
1. 
2. 
3. 
4. 
5. 
6. 
7. 
8. 
9. 
10. 
12. 
13. 
Kasus Bom Masjid Istiqlal 
Kasus Bom di Rumah Duta Besar 
Philipina 
Kasus Bom Kedutaan Besar Malaysia 
Kasus Bom Gedung Bursa Efek Jakarta 
Kasus Bom Malam Natal 
Kasus Bom Atrium Plaza 
Kasus Bom Huria Kristen Batak Protestan 
& Santa Ana 
Kasus Bom Bali 
Kasus Bom McDonald, Ujung Pandang 
Kasus Bom Gedung Bhayangkara 
Kasus Bom Bandara Soekarno Hatta 
Kasus Bom di Hotel Marriot 
April 1999 
1 Agustus 2000 
27 Agustus 2000 
13 September 2000 
24 Desember 2000 
1 Agustus 2001 
1 Agustus 2001 
12 Oktober 2002 
5 Desember 2002 
2 Februari 2003 
27 April 2003 
5 Agustus 2003 
                                                
52)
 POLRI HARI INI, Bhayangkara 58 Tahun, 2004, hal. 45  
71 Pada tahun 2001 hal yang memprihatikan justru terjadi di Dewan Perwakilan 
Rakyat, dimana dua kali anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 
menolak membentuk Panitia Khusus untuk membahas betapa besarnya ancaman 
berbagai bentuk teror yang telah berlangsung di Indonesia.
53 
Bahkan mungkin 
sebagian kalangan elite politik memperoleh keuntungan politik untuk 
memperkuat posisi pentingnya kekuatan politik waktu itu. Peristiwa Bom Bali 
akhirnya membantah semua perdebatan politik tentang ada tidaknya terorisme di 
Indonesia. Jatuhnya korban warga negara asing yang ratusan jumlahnya 
menempatkan Indonesia pada situasi untuk segera mengambil langkah secara 
cepat dan serius untuk menanggulangi terorisme. 
Pemerintah Republik Indonesia dibebani oleh amanat sebagaimana termuat 
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni, agar negara melindungi 
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara 
berkewajiban untuk melindungi setiap warganegaranya dari setiap ancaman 
kejahatan baik bersifat nasional, trans-nasional apalagi yang bersifat inernasional. 
Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersandar kepada ketentuan-ketentuan 
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dirumuskan 
dalam suatu Undang-Undang yang dapat  dijadikan sebagai landasan dalam 
mengatasi tindak pidana terorisme. 
                                                
53)
 Munir, Menanti Kebijakan Hati Terorisme dalam Buku Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, 
Imparsial, Jakarta, 2003, hal xii Terorisme merupakan kejahatan luar biasa atau  extra ordinary crime yang 
membutuhkan pola penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa 
(extra ordinary measure). 
54) 
Mengingat kategori yang demikian maka 
pemberantasannya tidak dapat menggunakan  cara-cara yang biasa sebagaimana 
menangani tindak pidana pada umumnya. Korban dari tindak pidana terorisme 
juga tidak sebatas pada korban jiwa, tetapi juga perusakan bahkan penghancuran 
dan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber-sumber ekonomi, 
disamping juga dapat menimbulkan keconcangan sosial yang hebat dalam bidang 
politik, sosial dan ekonomi. 
Korban manusia dari tindak pidana terorisme yang targetnya bersifat acak 
(random) dan tidak terseleksi (indiscriminate) dan seringkali mengorbankan 
orang-orang yang tidak berdosa termasuk wanita, anak-anak, orang tua dan 
kemungkinan digunakannya senjata perusak massal (weapon of mass destruction). 
Berhubungan dengan hal-hal tersebut, Muladi mengemukakan :
55) 
”Kejahatan terorisme berkaitan  dengan Hak Asasi Manusia (HAM). 
Pendekatan yang dilakukan harus ditinjau dari 2 (dua) sisi, baik korban maupun 
pelaku teror (victim and offender oriented). Di satu pihak analisis HAM dari sisi 
korban akan meyakinkan siapa saja, bahwa apa yang dinamakan terorisme 
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus dikutuk apapun 
alasan atau motifnya. Dari sisi korban terorisme, HAM yang terkait antara lain 
hal-hal individual seperti hal untuk hidup (Right to life), bebas dari rasa takut 
(freedom from fear), dan kebebasan dasar (fundamental freedom). Disamping itu 
terkait pula hak-hak kolektif seperti rasa takut yang bersifat luas, bahaya terhadap 
                                                
54)
 Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar yang 
diselenggarakan Kementrian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia, 28 Juni 
2004, Jakarta, hal. 1 
55)
 Muladi, Beberapa Aspek dari Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003, makalah disampaikan dalam sosialisasi RUU tentang perubahan UU No. 15 
Tahun 2003, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 13 Agustus 2003, hal. 3 kehidupan demokrasi, integritas teritorial, keamanan nasional,  stabilitas 
pemerintahan yang sah, pembangunan sosial ekonomi, ketentraman masyarakat 
yang pluralistik, harmoni dalam perdamaian interasional dan sebagainya. Di lain 
pihak tinjauan HAM dari sisi pelaku akan memberikan landasan sampai seberapa 
jauh karakter terorisme sebagai  extra ordinary crime harus dihadapi dengan 
langkah-langkah dan tindakan yang juga luas biasa (extra ordinary measure) yang 
tidak jarang dianggap melanggar HAM. 
Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat 
sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah Republik Indonesia sebagai pihak yang 
bertanggung jawab atas keselamatan bangsa dan negara, memandang perlu untuk 
sesegera mungkin memiliki landasan hukum yang kuat dan komprehensif untuk 
memberantas tindak pidana terorisme. Pemerintah menyadari bahwa normanorma hukum yang ada sekarang seperti yang termaktub dalam Undang-Undang 
Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api yang hanya memuat tindak pidana 
biasa (ordinary crime) tidaklah memadai untuk memberantas tindak pidana 
terorisme yang merupakan  kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). 
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang 
Hukum Acara Pidana juga  dirasakan kurang memadai. Proses penyelidikan, 
penyidikan dan penuntutan terhadap  tindak pidana terorisme memerlukan 
ketentuan-ketentuan khusus yang diatur tersendiri, disamping ketentuan-ketentuan 
umum yang berlaku di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 
Untuk mengantisipasi terjadinya segala kemungkinan dengan kegiatan 
terorisme, maka Pemerintah Indonesia  berpendapat adanya syarat ”hal ihwal 
kegentingan yang memaksa” sebagaimana  diatur Pasal 22 Ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 telah terpenuhi. Pemerintah bertekad untuk segera bertindak mengungkap peristiwa peledakan bom di Bali dan mengantisipasi segala 
kemungkinan yang akan terjadi. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan kebijakan 
dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) 
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan 
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 
tanggal 12 Oktober 2002.
56)
 Lahirnya 2 (dua) ketentuan tersebut dengan cepat 
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga melahirkan 
kontroversi,
57)
 seperti misalnya : 
1. Adanya kecenderungan politik kontrol  melalui organisasi intelijen dan 
militer. 
2. Adanya kekhawatiran pemberangusan  kebebasan masyarakat sipil yang 
akan menganulir proses demokratisasi. 
Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut juga ada benarnya, karena bukan tidak 
mungkin dalam usaha melawan terorisme justru dilakukan juga dengan cara teror 
pada kehidupan  masyarakat. Tetapi haruslah tetap diakui, bahwa terorisme 
adalah ancaman yang nyata dan sudah terjadi di Indonesia, dan bukan lagi harus 
diperdebatkan ada atau tidak ada terorisme di Indonesia. Untuk itulah pemerintah 
mengeluarkan dan menetapkan kebijakan penanggulangan terorisme melalui 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU). 
                                                
56)
 Ket. Pemerintah, op.cit. 
57)
 Munir, op.cit. Pemerintah dan bangsa Indonesia harus dapat menunjukkan dan mengambil 
langkah yang bersifat proaktif, tegas dan wajar menghadapi kegiatan terorisme 
baik yang bersifat internasional maupun yang bersifat domestik. Pemerintah 
Indonesia harus dengan sungguh-sungguh dalam menghadapi terorisme di 
wilayah Indonesia khususnya dan juga negara-negara tetangganya di kawasan 
Asia Tenggara pada umumnya. Beberapa alasan yang mengharuskan Pemerintah 
Indonesia  harus  sungguh-sungguh dalam  menghadapi terorisme antara lain 
sebagai berikut :
58)
1. Bahwa kelompok-kelompok teroris di  berbagai tempat di dunia dengan 
cermat memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan oleh perkembangan 
pesat kemajuan teknologi dan komunikasi untuk mencapai tujuannya. 
Sehingga disamping tetap menggunakan metode-metode klasik, aksi-aksi 
terorisme saat ini memiliki potensi  menciptakan kerusakan dan korban 
jiwa yang jauh lebih besar dibandingkan  aksi-aksi sejenis di masa lalu. 
Sebuah kemungkinan yang menunjang pendapat ini adalah kemungkinan 
penggunaan  weapons of mass destruction (WMD) seperti senjata kimia 
dan biologi oleh kelompok teroris. Walaupun demikian, teknologi lama 
dan sederhana tetap dimaksimalkan pemanfaatannya oleh kelompokkelompok yang melakukannya, sebagaimana terlihat contohnya dalam 
aksi peledakan bom di Bali atau Filipina Selatan. Singkatnya, ruang dan 
                                                
58)
 Philip J. Vermonte, Menyoal Globalisasi dan Terorisme, makalah dalam seminar Globalisasi dan 
Terorisme yang diselenggarakan Imparsial, Jakarta, 20 Februari 2003. peluang yang dimiliki  oleh kelompok teroris untuk menjalankan aksinya 
semakin meluas. Hal ini menjadikan terorisme sebagai sebuah ancaman 
serius karena relatif sulit menentukan kapan dan dimana kelompok teroris 
akan melakukan aksinya. 
2. Bahwa tindak terorisme berlaku indiskriminatif terhadap warga biasa yang 
tidak terkait langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai aksi teror 
yang dilakukan dan juga pada instalasi negara yang dipandang sebagai 
target yang sah dalam pemahaman konvensional atas konsepsi perang. 
3. Bahwa kelompok-kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam sebuath 
situasi isolasi dimana fakta-fakta  menunjukkan bahwa saat ini terorisme 
sulit dipisahkan dari berkembangnya  organisasi kejahatan transnasional 
terorganisasi (transnational organized crime) dalam berbagai ragam dan 
bentuknya. Mulai dari tindak  kejahatan pencucian uang (money 
loundering), perdagangan ilegal obat bius  dan juga perdagangan senjata 
secara ilegal. 
Kerjasama internasional juga dipandang perlu untuk dilakukan mengingat 
pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melihat bahwa aksi-aksi terorisme 
hingga kini masih terus  terjadi dan meningkat baik dari segi kuantitas maupun 
kualitasnya serta makin menjadi ancaman serius terhadap prinsip-prinsip 
perdamaian dunia sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB. 
Pada saat ini negara Indonesia sudah memiliki perangkat hukum mengenai 
pemberantasan tindak pidana terorisme dalam bentuk undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun  2002 tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. 
B. Kebijakan Aplikatif  Dalam Penanggulangan Terorisme 
1. Pengertian Tindak Pidana Terorisme 
Usaha menanggulangi tindak pidana terorisme memerlukan kerja keras 
dari Pemerintah Indonesia melalui aparat penegak hukumnya dan peran serta 
masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana terorisme. 
Menurut  Sudarto tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar 
dalam hukum pidana dan juga merupakan suatu pengertian  yuridis. Istilah 
tindak pidana dipakai sebagai pengganti ”strafbaar feit” dan hingga saat ini 
pembentuk undang-undang senantiasa  menggunakan istilah tindak pidana 
dalam peraturan perundang-undangan. 
59)
 Secara dogmatif masalah pokok 
yang berhubungan dengan Hukup Pidana ada 3 (tiga) hal, yaitu : 
a. Perbuatan yang dilarang 
b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. 
                                                
59)
 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 
1990, hal 38-39. c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu. 
Pengertian Tindak Pidana Terorisme menurup Pasal 1 angka 1 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah : Tindak Pidana Terorisme 
adalah suatu perbuatan yang memenuhi  unsur-unsur tindak pidana sesuai 
dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. 
Pasal 5 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur hal 
yang menarik dan bersifat khusus,  yaitu : Tindak Pidana Terorisme 
dikecualikan dari  tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan 
tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana 
dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi. 
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 tersebut dimaksudkan agar 
tindak pidana terorisme tidak dapat  berlindung di balik latar belakang, 
motivasi, dan tujuan politik untuk  menghindarkan diri dari penyidikan, 
penuntutan, pemeriksaan di sidang  pengadilan dan penghukuman terhadap 
pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas 
perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana 
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain. 
Pengecualian tindak pidana terorisme  dari tindak pidana politik yang 
ada di Indonesia, ternyata berbeda dengan yang ada di negara lain. Sebagai 
perbandingan misalnya yang diatur dalam Undang-Undang Terorisme di 
Negara Inggris dan Negara Canada dan Singapura. a. Negara Inggris, Terorism act 2000. UK 
60)
  
Terorisme mengandung arti sebagai  penggunaan atau ancaman tindakan 
dengan ciri-ciri : 
1. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian 
berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, 
bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko 
serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi seseorang 
tertentu yang didesain secara  serius untuk campur tangan atau 
mengganggu sistem elektronik. 
2. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah 
atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik. 
3. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau 
ideologi. 
4. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang 
melibatkan senjata api dan bahan peledak. 
b. Negara Kanada, (Departemen of Justice, 2002 : 2) 
61)
  
Tindak pidana terorisme merupakan suatu kegiatan yang dilakukan 
dengan maksud untuk mencapai tujuan politik, agama atau ideologi yang 
mengancam masyarakat atau keamanan nasional dengan pembunuhan, 
secara serius menyakiti atau membahayakan seseorang, menyebabkan hak 
milik menjadi rusak secara serius, menyakiti atau dengan mengganggu 
barang-barang yang berguna, fasilitas atau sistem. 
c. Negara Singapura 
Negara Singapura juga memasukkan dalam peraturannya mengenai 
pemberantasan tindak pidana terorisme yang menyangkut ”terrorist act 
often contain elements of warfare, politics and propaganda”, yang artinya 
suatu kejahatan yang bermotif politik yang dilakukan dengan propagandapropaganda. Dalam perundang-undangan terorismenya, Singapura juga 
                                                
60)
 Muladi, Op. Cit. 
61)
 Abdul Wahid, Op.Cit. hal. 78-79 mengatur perlindungan terhadap diplomat-diplomat negara asing dan 
fasilitas-fasilitas internasional. 
62)
  
Ketentuan pengaturan tindak pidana terorisme dengan motif-motif 
politik sebagaimana terdapat di Inggris, Kanada dan Singapura sebagaimana 
tersebut di atas, kemungkinan didasarkan pada pandangan bahwa kejadiankejadian terorisme yang seringkali terjadi banyak dilatarbelakangi faktor 
politik, bahkan agama atau ideologi tertentu. Sedangkan untuk negara 
Indonesia yang multi etnis dan multi agama, terorisme tidak didasarkan pada 
faktor politik, agama maupun ideologi  tetapi terfokus pada cara untuk 
melakukan tindak pidana terorisme yaitu kekerasan dan ancaman kekerasan 
yang mempunyai akibat luar biasa yaitu hilangnya nyawa manusia atau 
rusaknya harta benda dan menimbulkan  rasa takut terhadap manusia secara 
luar biasa. 
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, perbuatan-perbuatan 
yang melanggar dan berhubungan dengan tindak pidana terorisme dibagi 
dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : 
1. Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam Bab III, dari Pasal 6 sampai 
dengan Pasal 19. 
2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme, 
diatur dalam Bab III, dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 24. 
                                                
62)
 Ibid. Kelompok pertama memuat 35 (tiga puluh lima) perumusan Tindak 
Pidana Terorisme dari Pasal 6 (termasuk juga percobaan, pembantuan dan 
permufakatan jahat). Sedangkan kelompok kedua mengatur tindak pidana 
yang berkaitan dengan proses penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di 
sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme (yang dilakukan 
oleh orang-orang yang mencegah, merintangi atau menggagalkan proses 
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara 
Tindak Pidana Terorisme.  
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme 
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan 
bahwa : Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 
Dr. Simons  menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subyektif 
dalam strafbaar feit, yaitu : 
63) 
1. Unsur Objektif dari strafbaar feit, adalah : 
a. Perbuatan orang. 
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. 
c. Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. 
                                                
63)
 Sudarto, Ibid, hal. 41 2. Unsur Subyektif dari Strafbaar feit adalah : 
a. Orang yang mampu bertanggung jawab. 
b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa)  
Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 akan dibahas dalam dua bagian yaitu : kesatu, 
unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme, dan kedua, tindak pidana yang 
berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme. 
a) Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme 
Pasal 6 : 
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut 
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat 
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa 
dan harta benda orang lain, atua mengakibatkan kerusakan atau 
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan 
hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan 
pidana mati atau penjara seumur  hidup atau pidana penjara paling 
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 
Unsur-unsur Pasal 6 adalah sebagai berikut : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; 
(3) menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara 
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan 
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta 
benda orang lain; atau (4) mengakibatkan kerusakan atau  kehancuran terhadap obyek-obyek 
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau 
fasilitas internasional. 
Dari rumusan Pasal 6 yang berbunyi : ”............ dengan sengaja 
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan 
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau 
menimbulkan korban yang bersifat massal..........dst”, menunjukkan 
bahwa pasal tersebut dirumuskan secara ”materiil”. Jadi yang dilarang 
adalah ”akibat” yaitu timbulnya suasana teror atau rasa takut atau 
timbulnya korban yang bersifat massal. 
Dengan perumusan sebagai delik materiil, maka perlu dibuktikan 
adalah ”akibat” yaitu : 
a. menimbulkan suasan teror atau rasa takut terhadap orang secara 
meluas, atau 
b. menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas 
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, 
atau 
c. mengakibatkan kerusakan atau  kehancuran terhadap obyek-obyek 
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau 
fasilitas internasional. 
Dari akibat tersebut di atas terdapat hubungan kausal dengan 
perbuatan pelaku yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam teori hukum pidana untuk menentukan 
hubungan kausal terdapat 3 (tiga) aliran, yaitu : 
1. Teori Ekivalensi. Teori ini mengatakan bahwa tiap syarat adalah 
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat 
tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif 
maupun negatif, untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, 
dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, 
maka tidak akan terjadi akibat konkrit, seperti yang senyatanyatanya menurut waktu, tempat keadaannya. 
2. Teori Individualisasi. Teori ini memilih secara  post factum (in 
concreto), artinya setelah peristiwa konkrit terjadi, dari serentetan 
faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan 
dari peristiwa tersebut, sedangkan faktor-faktor lainnya hanya 
merupakan syarat belaka. Teori ini meninjau secara konkrit 
mengenai perkara tertentu saja dan dari rangkaian sebab-sebab 
yang telah menimbulkan akibat, dicari sebab-sebab yang dalam 
keadaan tertentu paling menentukan untuk terjadinya akibat. 
3. Teori Generalisasi. Teori ini melihat secara ante factum  (sebelum 
kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada 
perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat 
semacam itu, artinya menurut  pengalaman hidup biasa, atau 
menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequat untuk timbulnya 
akibat yang bersangkutan (ad-acquare artinya dibuat sama). Oleh 
karena itu teori ini disebut teori adaequat (teori adekwat, 
adaquanztheorie). 
Setelah memahami metode pembuktian dari suatu rumusan 
delik, maka selanjutnya, dalam rangka penerapan fakta hukum kepada 
unsur tindak pidana, perlu dipahami pengertian dari unsur rumusan 
tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mempergunakan metode 
penafsiran hukum, antara lain penafsiran gramatikal, penafsiran 
bahasa, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran 
teleologis, penafsiran sosiologis dan sebagainya. 
Pengertian dari unsur-unsur rumusan Pasal 6 Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003 dapat ditafsifkan sebagai berikut : 
1) Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan 
Yang dimaksud dengan ”kekerasan” menurut Pasal 1 angka 4 
adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan 
atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan 
menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang 
termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. 
Yang dimaksud dengan ”ancaman kekerasan” menurut Pasal 1 
angka 5 adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu 
keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap 
orang atau masyarakat secara meluas. 
2) Unsur-unsur : 
- menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang 
secara meluas, atau 
- menimbulkan korban yang bersifat massal, 
Pengertian dari unsur-unsur dimaksud : 
a. Teror 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak menjelaskan 
mengenai apa yang dimaksud dengan teror. Berdasarkan 
penafsiran bahasa, yaitu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 
teror mempunyai pengertian sebagai : ”usaha menciptakan 
ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau 
golongan”. 
b. Takut 
Apabila menggunakan penafsiran bahasa, yaitu menurut kamus 
Besar Bahasa Indonesia, kata takut berarti : ”merasa gentar (ngeri) 
menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana”. 
c. Meluas 
Menurut Kamus Besar Bahasa  Indonesia, meluas berarti 
bertambah luas (banyak, dsb); atau merata. d. Objek vital yang strategis 
Menurut Pasal 1 butir 10 yang dimaksud dengan objek vital yang 
strategis adalah tempat, lokasi atau bangunan yang mempunyai 
nilai ekonomis, politis, sosial, budaya dan pertahanan serta 
keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional. 
e. Fasilitas publik 
Menurut Pasal 1 angka 11, yang dimaksud dengan fasilitas publik 
adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat 
secara umum. 
f. Kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup 
Menurut penjelasan Pasal 6, yang dimaksud dengan kerusakan atau 
kehancuran lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya 
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk 
hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi 
kelangsungan perikehidupan dan  kesejahteraan manusia serta 
makhluk lainnya. Termasuk merusak atau menghancurkan adalah 
dengan sengaja melepaskan atau  membuang zat, energi dan/atau 
komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara 
atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau 
barang. 
Pasal 7 : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 
ancaman kekerasan bermaksud atau menimbulkan suasana teror atau 
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban 
yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau 
hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan 
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, 
atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, 
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. 
Unsur-unsur dari Pasal 7 adalah sebagai berikut : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; 
(3) bermaksud untuk : 
a) menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang 
secara meluas atau 
b) menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara 
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda 
orang lain; atau 
c) menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas 
publik atau fasilitas internasional. 
Rumusan pasal ini berbeda dengan Pasal 6, dimana Pasal 7 
ditambahkan rumusan kata-kata ”bermaksud”, sehingga dengan 
demikian baru unsur sikap batin saja, yaitu bermaksud, tidak harus 
benar-benar telah timbul akibat, perbuatan tersebut sudah dilarang dan 
diancam pidana. Dengan demikian Pasal 7 ini merupakan delik formil, karena yang dirumuskan dalam tindak pidana ini adalah ”kelakuan” 
nya dalam hal ini maksud pelaku. 
Dalam hubungan ini yang perlu dipahami adalah pengertian 
rumusan kata ”bermaksud”. Doktrin atau teori menyebut unsur ini 
sebagai suatu sikap batin pelaku. Permasalahan yang timbul untuk 
membuktikan unsur ini, apakah harus dibuktikan berdasarkan niat 
terdakwa yaitu tujuan untuk maksud yang hendak dicapai pelaku 
ataukah dari keadaan obyektif  yaitu apa yang sesungguhnya terjadi 
sebagai akibat dari perbuatan pelaku. Menurut  Ramelan, dalam hal 
akibat belum terjadi, maka unsur  ”dimaksud” harus diartikan secara 
sempit yaitu dibuktikan berdasarkan tujuan atau maksud yang hendak 
dicapai pelaku. Dalam hal akibat  telah timbul, unsur ”maksud” 
diartikan secara luas yaitu apa yang telah terjadi sebagai realisasi 
maksud atau niat pelaku. 
Pasal 8 : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang : 
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak 
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan 
usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; 
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya 
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha 
untuk pengamanan bangunan tersebut; 
c. dengan sengaja dan melawan  hukum menghancurkan, merusak, 
mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan  bekerjanya tanda atau alat 
tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; 
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk 
pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau 
menyebabkan terpasangnya tanda  atau alat untuk pengamanan 
penerbangan yang keliru; 
e. dengan sengaja atau melawan  hukum, menghancurkan atau 
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara  yang seluruhnya 
atau sebagian kepunyaan orang lain; 
f. dengan sengaja atau melawan hukum mencelakakan, 
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak 
pesawat udara; 
g. karena kealpaannya menyebabkan  pesawat udara celaka, hancur, 
tidak dapat dipakai atau rusak; 
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain 
dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan 
kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau 
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang 
dipertanggungkan terhadap bahaya atau dipertanggungkan 
muatannya maupun upah yang diterima untuk pengangkutan 
muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah 
diterima uang tanggungan; 
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum, 
merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai 
pesawat udara dalam penerbangan; 
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 
atau ancaman dalam bentuk  lainnya, merampas atau 
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian 
pesawat udara dalam penerbangan; 
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, 
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan 
luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat 
udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan 
dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan 
merampas kemerdekaan seseorang; 
l. dengan sengaja dan melawan  hukum melakukan perbuatan 
kekerasan terhadap seseorang  di dalam pesawat udara dalam 
penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan 
pesawat udara tersebut; 
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara 
dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara 
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau 
membahayakan keamanan penerbangan; n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau 
menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam 
dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat 
menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat 
terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang 
dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; 
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai 
kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan 
direncanakan lebih dahulu, dan  mengakibatkan luka berat bagi 
seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, 
huruf m, dan huruf n; 
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan 
karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara 
dalam penerbangan; 
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat 
membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam 
penerbangan; 
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang 
dapat mengganggu ketertiban dan tata tertiv di dalam pesawat 
udara dalam penerbangan. 
Catatan : 
Menurut penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, 
ketentuan ini merupakan perjabaran dari tindak pidana tentang 
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana 
Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX A Buku II 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 
Pasal 8 huruf a : 
Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak  
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan 
usaha untuk pengamanan bangunan tersebut. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf a adalah : 
(1) menghancurkan; (2) membuat tidak dapat dipakai atau merusak; 
(3) bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara; 
(4) menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut. 
Dalam rumusan pasal ini unsur-unsur ke-1 sampai dengan ke-4 
merupakan unsur obyektif. Dalam rumusan pasal ini tidak 
dicantumkan unsur yang bersifat  subyektif, namun bila mencermati 
rumusan perbuatan ”menghancurkan”, ”membuat tidak dapat dipakai” 
atau ”merusak”, dan ”menggagalkan usaha untuk pengamanan”, maka 
dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan tersebut pastilah dilakukan 
dengan sengaja. Sebab tidak dapat dan sukar dipahami untuk 
melakukan perbuatan-perbuatan itu tanpa dengan sengaja. Unsur 
kesengajaan disini bersifat terselubung. 
Pengertian dari unsur-unsur rumusan Pasal 8 huruf a Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003 dapat ditafsirkan sebagai berikut : 
Apabila dilihat dari akibat perbuatan, ada perbedaan antara perbuatan 
menghancurkan dan merusak, yaitu pada perbuatan menghancurkan 
akibat yang ditimbulkan sedemikian parah/berat sehingga tidak 
mungkin diperbaiki lagi. Namun pada perbuatan merusak 
menimbulkan akibat kerusakan benda yang sedemikian rupa, yang 
mana kerusakan tersebut masih  dimungkinkan untuk diperbaiki lagi. 
Dengan demikian perbuatan menghancurkan dan merusak tetap membawa akibat rusaknya benda hanya berbeda pada derajat atau 
kualitas kerusakannya saja. 
Sedangkan makna pada kata membuat tidak dapat dipakai yaitu 
perbuatan yang menjadikan benda tidak dapat dipakai atau difungsikan 
kembali dari maksud diadakannya benda tersebut. Contohnya sepeda 
motor untuk berkendaraan jika dibuat tidak dapat dipakai maka 
pencabutan aki atau busi dari motor tersebut dapat mengakibatkan 
motor tersebut tidak dapat dipakai untuk berkendaraan. 
Pasal 8 huruf b : 
Menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya 
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha 
untuk pengamanan bangunan tersebut. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf b adalah : 
(1) Menyebabkan : 
- hancurnya; 
- tidak dapat dipakainya atau rusaknya; 
(2) bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara; atau 
(3) gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut. 
Dalam rumusan tindak pidana ini  unsur ke-1 sampai dengan ke-3 
merupakan unsur obyektif yaitu berupa akibat, sedangkan unsur 
subyektif tidak tercantum secara tegas dalam rumusan tindak pidana, 
namun unsur kesengajaan ada secara terselubung. Apabila dilihat dari perumusan tindak pidananya maka tindak pidana ini dirumuskan 
secara ”materiil”. Jadi yang dilarang adalah ”akibat” berupa 
hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk 
pengamanan lalu-lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan 
bangunan tersebut. Akibat tersebut timbul karena pelaku alpa, berbuat 
kurang hati-hati atau kurang  dapat menduga. Dengan perumusan 
sebagai delik materiil, maka perlu dibuktikan unsur ”akibat”. 
Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak ada penjelasan 
mengenai apa yang dimaksud dengan bangunan untuk pengamanan 
lalu lintas udara dan bangunan tersebut meliputi apa saja tidak 
dijelaskan. 
Pasal 8 huruf c : 
Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, 
mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan 
penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, 
atau memasang tanda atau alat yang keliru. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf c adalah : 
(1) dengan sengaja; dan 
(2) melawan hukum; 
(3) menghancurkan; 
(4) merusak; (5) mengambil; atau 
(6) memindahkan; 
(7) tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan; atau  
(8) menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut; atau 
(9) memasang tanda atau alat yang keliru 
Unsur yang pertama dengan sengaja dan melawan hukum adalah unsur 
subyektif. Sedangkan unsur  obyektif berupa perbuatan 
menghancurkan, merusak, mengambil, memindahkan tanda atau alat 
untuk pengamanan penerbangan, menggagalkan bekerjanya tanda atau 
alat untuk pengamanan penerbangan, atau memasang tanda atau alat 
yang keliru untuk pengamanan penerbangan. Dengan adanya unsur 
dengan sengaja dalam rumusan tindak pidana ini dapat diartikan 
bahwa tindak pidana ini hars dilakukan dengan sengaja. Unsur dengan 
sengaja disini meliputi perbuatan menghancurkan, merusak, 
mengambil, memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan 
penerbangan, menggagalkan bekerjanya tanda atau alat untuk 
pengamanan penerbangan, atau memasang tanda atau alat yang keliru 
untuk pengamanan penerbangan. Dengan demikian agar pelaku itu 
dapat dinyatakan terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana 
sesuai rumusan pasal ini, maka harus dapat dibuktikan bahwa pelaku 
telah ”menghendaki” menghancurkan, merusak, mengambil, memindahkan, menggagalkan, memasang yang keliru. Pelaku juga 
mengetahui bahwa yang ia hancurkan, rusak, ambil, pindahkan, 
gagalkan, pasang secara keliru itu  merupakan tanda atau alat untuk 
pengamanan penerbangan. 
Dalam rumusan tindak pidana ini, pembuat undang-undang merasa 
perlu untuk mencantumkan unsur melawan hukum, meskipun 
perbuatan menghancurkan, merusak, mengambil, memindahkan, 
menggagalkan, memasang yang keliru terhadap tanda atau alat untuk 
pengamanan penerbangan tersebut  sudah tidak diragukan sifatnya 
yang bertentangan dengan hukum dan juga bertentangan dengan apa 
yang oleh masyarakat dipandang patut. Unsur melawan hukum dalam 
rumusan pasal ini meliputi beberapa unsur obyektif yang oleh pembuat 
undang-undang diletakkan di belakangnya, yaitu unsur-unsur 
menghancurkan, merusak, ....................dan seterusnya. Dengan 
dicantumkannya unsur melawan hkum dalam rumusan pasal ini maka 
harus dibuktikan bahwa pelaku memang tidak berhak atau berwenang 
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. 
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan menghancurkan, 
merusak dan membuat tidak dapat dipakainya sama dengan apa yang 
telah dikemukakan sebelumnya. 
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan tanda atau alat untuk 
pengamanan penerbangan tidak dijelaskan undang-undang ini. Pasal 8 huruf d : 
Karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan 
penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan 
terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang 
keliru. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf d adalah : 
(1) karena kealpaannya; 
(2) menyebabkan : 
- hancur 
- rusak; 
- terambil atau pindah 
(3) tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan; atau 
(4) menyebabkan terpasangnya tanda  atau alat untuk pengamanan 
penerbangan yang keliru. 
Unsur yang pertama karena kealpaannya merupakan unsur 
subyektif. Kealpaan dapat timbul karena si pembuat (pelaku) alpa, 
sembrono, teledor, berbuat kurang  hati-hati atau kurang mendugaduga. Dalam kealpaan, sikap batin si pelaku kurang mengindahkan 
larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang secara obyektif menimbulkan keadaan yang dilarang. Sedangkan 
unsur ke-2 sampai dengan ke-4 merupakan unsur obyektif yang berupa 
akibat. 
Dalam rumusan pasal ini dapat diketahui bahwa akibat berupa 
hancurnya, rusak, terambil atau pindahnya, terpasangnya tanda atau 
alat yang keliru. Pertama-tama  harus dicari sebabnya, dan kalau 
ternyata sebab itu adalah karena berbuat atau tidak berbuatnya 
seseorang (pelaku) maka yang menjadi masalah   adalah kesalahan 
dari orang yang menyebabkan akibat tersebut.  Dalam hal ini 
kesalahan ini dapat berupa kesengajaan, kurang berpikir atau 
sembrono dan kurang hati-hati. Dalam hal yang disebutkan terakhir 
(kurang berpikir atau sembrono dan kurang hati-hati) terdapat unsur 
kealpaan. Untuk menentukan kekurang hati-hatian dari si pelaku dapat 
digunakan ukuran ia ”ada kewajiban untuk berbuat lain”. Kewajiban 
ini dapat diambil dari ketentuan undang-undang atau dari luar undangundang, yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang 
seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang 
seharusnya ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat 
mengatakan bahwa ia alpa. Menurut penulis rumusan tindak pidana 
ditujukan pada pihak-pihak yang bertugas dalam rangka 
penyelenggaraan penerbangan, termasuk dalam hal pengamanan 
penerbangan. Pasal 8 huruf e : 
Dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat 
tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian 
kepunyaan orang lain. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf e adalah : 
(1) dengan sengaja; atau 
(2) melawan hukum; 
(3) menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya; 
(4) pesawat udara; 
(5) yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. 
Unsur dengan sengaja atau melawan hukum merupakan unsur 
subyektif. Unsur dengan sengaja disini meliputi semua unsur yang 
berada di belakangnya. Dengan demikian agar si pelaku itu dapat 
dinyatakan terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana yang 
diatur dalam rumusan pasal ini,  maka harus dapat dibuktikan bahwa 
pelaku telah ”menghendaki” menghancurkan atau membuat tidak 
dapat dipakainya pesawat udara,  pelaku juga ”mengetahui” bahwa 
pesawat udara tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang 
lain. Dalam rumusan tindak pidana ini, pembuat undang-undang merasa perlu untuk mencantumkan unsur melawan hukum, meskipun 
perbuatan ”menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya 
pesawat udara tersebut sdah  tidak diragukan sifatnya yang 
bertentangan dengan hukum dan juga bertentangan dengan apa yang 
oleh masyarakat dipandang patut. Unsur melawan hukum dalam 
rumusan pasal ini meliputi beberapa unsur obyektif yang oleh pembuat 
undang-undang diletakkan di belakangnya, yaitu unsur-unsur 
menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat 
udara................. dan seterusnya. Dengan dicantumkannya unsur 
melawan hukum dalam rumusan pasal ini maka harus dibuktikan 
bahwa pelaku memang tidak berhak atau berwenang untuk melakukan 
perbuatan-perbuatan tersebut. 
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan menghancurkan dan 
membuat tidak dapat dipakainya sama dengan apa yang telah 
dikemukakan sebelumnya. 
Pasal 8 huruf f : 
Dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, 
membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf f adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) melawan hukum; 
(3) mencelakakan; (4) menghancurkan; 
(5) membuat tidak dapat dipakai atau merusak; 
(6) pesawat udara. 
Unsur pertama dengan sengaja dan melawan hukum merupakan unsur 
subyektif. Unsur dengan sengaja disini meliputi semua unsur yang 
berada di belakangnya. Dengan demikian agar si pelaku itu dapat 
dinyatakan terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana yang 
diatur dalam rumusan pasal ini,  maka harus dapat dibuktikan bahwa 
pelaku telah ”menghendaki” mencelakakan, menghancurkan, membuat 
tindak pidana ini, pembuat undang-undang mencantumkan unsur 
melawan hukum, meskipun perbuatan mencelakakan, menghancurkan 
atau membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara tersebut 
sudah tidak diragukan sifatnya yang bertentangan dengan hukum dan 
juga bertentangan dengan apa yang oleh masyarakat dipandang patut. 
Unsur melawan hukum dalam rumusan pasal ini meliputi beberapa 
unsur subyektif yang oleh pembuat undang-undang diletakkan di 
belakangnya, yaitu unsur-unsur  mencelakakan, menghancurkan, 
 dan seterusnya. Dengan dicantumkannya unsur melawan................
hukum dalam rumusan pasal ini maka harus dibuktikan bahwa pelaku 
memang tidak berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatanperbuatan tersebut. Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan mencelakakan dapat 
diartikan sebagai : mendatangkan (menimbulkan) celaka; 
menyebabkan mendapat celaka. 
Pengertian mengenai menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai 
atau merusak sama dengan pengertian yang telah dikemukakan 
sebelumnya. 
Pasal 8 huruf g : 
Karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak 
dapat dipakai atau rusak. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf g adalah : 
(1) karena kealpaannya; 
(2) menyebabkan pesawat udara : 
- celaka; 
- hancur; 
- tidak dapat dipakai atau rusak. 
Rumusan tindak pidana ini hampir sama dengan rumusan Pasal 8 
huruf f, hanya bedanya kalau perbuatan di dalam Pasal 8 huruf f 
dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum, maka peristiwa di 
dalam pasal ini terjadi karena kealpaan seseorang. 
Unsur yang pertama karena kealpaannya merupakan unsur subyektif. 
Unsur yang kedua merupakan unsur obyektif yang berupa akibat. Pasal 8 huruf h : 
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain 
dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan 
kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau 
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang muatannya 
maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, 
ataupun untuk kepentingan muatan  tersebut telah diterima uang 
tanggungan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf h adalah : 
(1) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain; 
(2) melawan hukum; 
(3) atas penanggung asuransi; 
(4) menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, 
kerusakan atua membuat tidak dapat dipakainya; 
(5) pesawat udara; 
(6) yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang 
dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima 
untuk pengangkutan muatannya,  ataupun untuk kepentingan 
muatan tersebut telah diterima uang tanggungan. 
Perbuatan yang diancam pidana dalam pasal ini adalah menimbulkan 
kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan atau 
membuat tidak dapat dipakainya lagi pesawat udara yang 
dipertanggungkan, atau untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan, dengan maksud untuk menguntungkan diri 
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. 
Yang dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi tidak hanya  kerugian 
atas pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya 
kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran dan lain sebagainya, 
tetapi juga terhadap muatannya atau upah yang akan diterima untuk 
pengangkutan muatannya. 
Pasal 8 huruf i : 
Dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum, merampas 
atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara 
dalam penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf i adalah : 
(1) dalam pesawat udara; 
(2) melawan hukum; 
(3) merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai 
pesawat udara; 
(4) dalam penerbangan. 
Perbuatan pelaku dalam rumusan pasal ini harus dilakukan dengan 
sengaja dan perbuatan merampas atau mempertahankan perampasan 
atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan menurut sifatnya 
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan juga 
bertentangan dengan apa yang oleh masyarakat dipandang patut. Rumusan tindak pidana ini dapat dikualifikasikan sebagai ”penguasaan 
pesawat udara secara melawan hukum” atau ”pembajakan pesawat 
udara”. 
Penjelasan mengenai arti kata ”dalam penerbangan” tidak terdapat 
dalam undang-undang ini. Tetapi kita dapat mengetahuinya dari 
pengertian yang diuraikan dalam Pasal 95b, KUHP, yang lengkapnya 
berbunyi : 
Yang  dimaksud  dengan ”dalam penerbangan” adalah sejak saat 
semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang 
(embarkasi) sampai saat pintu  dibuka untuk penurunan penumpang 
(diembarkasi). 
Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus 
berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil  alih 
tanggung  jawab  atas pesawat udara dan barang yang ada di 
dalamnya. 
Pasal 8 huruf j : 
Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau 
ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan 
perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam 
penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf j adalah : 
(1) dengan pesawat udara; (2) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam 
bentuk lainnya; 
(3) merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai 
pengendalian pesawat udara dalam penerbangan. 
Rumusan pasal ini hampir sama dengan pasal 8 huruf i, hanya bedanya 
kalau perampasan pesawat udara dan sebagainya yang diterangkan di 
dalam Pasal 8 huruf i tersebut dilakukan dengan perbuatan yang 
melawan hukum, maka dalam pasal ini perbuatan tersebut disertai 
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan 
atau ancaman dalam bentuk lainnya. Di dalam pasal ini terdapat unsur 
menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan. 
”Menguasai pengendalian” ini merupakan terjemahan dari ”exercise 
control” seperti yang tersebut dalam Pasal 11 sub 1 Konvensi Tokyo 
tahun 1963 tentang tindak pidana dan perbuatan-perbuatan lainnya 
yang dilakukan dalam pesawat udara (convention on offences and 
certain other acts committed on board aircraft) yang disebutkan 
sebagai berikut : When a person on board has unlawfully committed by 
force or threat and act of interference, seizure, or other wrongful 
exercise of control of an aircraft in flight............etc. Menurut Sudarto, 
rumusan tindak pidana dalam pasal ini dapat dikualifikasikan sebagai 
”pembajakan pesawat udara” atau disingkat ”pembajakan udara”. Namun pembajakan udara yang diancam pidana dalam pasal ini tidak 
ditujukan kepada pilot pesawat itu sendiri, mengingat maksud dan 
sejarah terbentuknya pasal ini; pilot pesawat itu sejak semula sudah 
mempunyai kekuasaan atas pesawatnya. 
Dalam Pasal 8 huruf j ini disebutkan 3 (tiga) cara, yaitu : dengan 
kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk 
lainnya, yang digunakan oleh pembajak untuk mencapai tujuannya. 
Pengertian mengenai kekerasan, ancaman kekerasan terdapat dalam 
Pasal 1 butir 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. 
Sedangkan mengenai apa yang dimaksud dengan ancaman dalam 
bentuk lainnya tidak ada penjelasannya dalam undang-undang ini. 
Namun dapat diduga bahwa ancaman tersebut dilakukan selain dengan 
kekerasan. Ancaman tersebut dapat berupa ”chantage” (blackmail), 
ialah akan mencemarkan nama dengan membuka rahasia dari yang 
diancam. 
Pasal 8 huruf k : 
Melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, 
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka 
berat seseorang, mengakibatkan  kerusakan pada pesawat udara 
sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan 
maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas 
kemerdekaan seseorang. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf k adalah : 
(1) melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat; (2) dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu; 
(3) mengakibatkan luka berat seseorang; 
(4) mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat 
membahayakan penerbangannya; 
(5) dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau 
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang. 
Pasal ini dirumuskan secara ”materiil”. Jadi yang dilarang adalah 
”akibat” yaitu mengakibatkan luka berat seseorang dan mengakibatkan 
kerusakan pada pesawat udara  sehingga dapat membahayakan 
penerbangannya. Dengan perumusan sebagai delik materiil, maka 
yang pertama-tama perlu dibuktikan adalah ”akibat” sebagaimana 
disebutkan di atas. Akibat tersebut memiliki hubungan kausal dengan 
perbuatan yang dilakukan pelaku yang dalam hal ini dilakukan secara 
bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat dengan 
direncanakan terlebih dahulu. 
Sebagai pencerminan untuk menafsirkan permufakatan jahat 
melakukan tindak pidana terorisme dapat diambil norma dari 
penafsiran otentik tentang permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP 
yang berbunyi : 
”dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah 
sepakat akan melakukan kejahatan”. Permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan suatu 
kejahatan itu dianggap telah terjadi, yaitu segera setelah 2 (dua) orang 
atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan 
tersebut. Permufakatan disini tentunya harus dilakukan oleh 2 (dua) 
orang atau lebih, karena perbuatan permufakatan jahat tidak mungkin 
dilakukan oleh hanya satu orang saja. Jadi ini terjadi apabila sudah 
terdapat kesepakatan  setelah   ada perundingan atau perjanjian 
diantara mereka.  Perjanjian  antara  2 (dua) orang atau lebih untuk 
melakukan kejahatan dalam hal ini  sangat diperlukan. Perjanjian ini 
bukan merupakan perjanjian dalam pengertian hukum perdata. 
Perjanjian ini dapat disimpulkan dari keterangan-keterangan orangorang yang salin berjanji. Persetujuan menjadi tanda atau bukti yang 
nampak atas perjanjian yang dikehendaki. Unsur permufakatan jahat 
dalam pasal ini ditambahkan dengan kata dengan direncanakan 
terlebih dahulu, hal ini berarti  kejahatan yang dimufakati merupakan 
hal yang direncanakan terlebih dahulu. 
Unsur dengan maksud adalah unsur subyektif dalam pasal ini yang 
berarti pelaku secara bersama-sama mempunyai niat atau kehendak 
atau bertujuan. Maksud itu harus meliputi perbuatan merampas 
kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang. 
Pengertian mengenai merampas kemerdekaan atau meneruskan 
merampas kemerdekaan seseorang dapat dilihat menurut Pasal 333 KUHP yang memuat 2 (dua) tindakan yaitu merampas kemerdekaan 
atau meneruskan perampasan kemerdekaan itu. 
Menurut Simons : 
”Yang dimaksud merampas kemerdekaan disini merupakan 
kemerdekaan meninggalkan tempat dimanan seseorang sedang berada 
untuk pergi kemanapun sesuai dengan kehendaknya. Pada dasarnya 
perampasan kemerdekaan itu dilakukan dengan cara menutup atau 
mengurung seseorang, akan tetapi  perbuatan tersebut juga dapat 
dilakukan dengan cara mengikat orang yang bersangkutan ataupun 
dengan tindakan-tindakan yang mempunyai pengaruh secara psikis 
hingga kemerdekaan bergerak atau kemerdekaan untuk meninggalkan 
suatu tempat pada diri seseorang itu menjadi tidak ada sama sekali. 
Sedangkan yang dimaksud dengan meneruskan merampas 
kemerdekaan seseorang tidak dijelaskan dalam undang-undang ini, 
namun dari rangkaian kelimatnya dapat disimpulkan bahwa kata 
meneruskan dapat diartikan melanjutkan perampasan kemerdekaan 
seseorang sampai jangka waktu yang lama. 
Pasal 8 huruf l : 
Dengan sengaja  dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan 
terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika 
perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara 
tersebut. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf l adalah : 
(1) dengan sengaja; dan 
(2) melawan hukum; 
(3) melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam 
pesawat udara dalam penerbangan; (4) perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara 
tersebut. 
Perbuatan yang diancam pidana dalam pasal ini adalah melakukan 
perbuatan kekerasan terhadap  seseorang. Perbuatan  tersebut 
dilakukan di dalam pesawat udara dalam penerbangan dan perbuatan 
itu dapat  membahayakan  keselamatan pesawat udara. Akibat ini  
tidak perlu benar-benar terjadi, akan  tetapi  dari  apa yang terjadi itu 
harus dapat diperkirakan bahwa  perbuatan kekerasan itu mempunyai 
potensi untuk menimbulkan bahaya  bagi keselamatan pesawat udara. 
Perbuatan kekerasan itu harus  dilakukan ”dengan sengaja dan 
melawan hukum”. 
Untuk yang pertama dengan sengaja dan melawan hukum adalah unsur 
subyektif. Sedangkan unsur obyektif berupa perbuatan melakukan 
kekerasan terhadap seseorang  di dalam pesawat udara dalam 
penerbangan dan perbuatan tersebut dapat membahayakan 
keselamatan pesawat udara. Dengan  adanya unsur dengan sengaja 
dalam rumusan tindak pidana ini dapat diartikan bahwa tindak pidana 
ini harus dilakukan dengan sengaja, meskipun dalam pengertian 
”melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang” itu dengan 
sendirinya sudah tersimpul perbuatan dengan sengaja. Dengan 
demikian agar pelaku itu dapat dinyatakan terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana sesuai rumusan pasal ini, maka harus dapat 
dibuktikan bahwa pelaku telah ”menghendaki” melakukan kekerasan 
terhadap seseorang. 
Dalam rumusan tindak pidana ini, pembuat undang-undang merasa 
perlu untuk mencantumkan unsur melawan hukum, meskipun 
perbuatan melakukan kekerasan terhadap seseorang tersebut sudah 
tidak diragukan sifatnya yang bertentangan dengan hukum. Mungkin 
pembuat undang-undang berpendirian dengan tidak dicantumkannya 
unsur tersebut dikhawatirkan orang yang mempunyai kewenangan dan 
melakukan perbuatan itu akan dapat dipidana pula. Dengan 
dicantumkannya unsur melawan hukum dalam rumusan pasal ini maka 
harus dibuktikan bahwa pelaku memang tidak berhak atau berwenang 
untuk melakukan perbuatan tersebut. 
Pegnerntian mengenai ”kekerasan”  dan ”dalam penerbangan” telah 
dikemukakan dalam uraian sebelumnya. 
Pasal 8 huruf m : 
Dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam 
dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang 
menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan 
penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf m adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) melawan hukum; (3) merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan 
atas pesawat udara tersebut; 
(4) yang menyebabkan tidak dapat  terbang atau membahayakan 
keamanan penerbangan. 
Unsur pertama dengan sengaja dan melawan hukum merupakan unsur 
subyektif. Unsur dengan sengaja disini meliputi semua unsur yang 
berada di belakangnya. Dengan demikian agar si pelaku itu dapat 
dinyatakan terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana yang 
diatur dalam rumusan pasal ini,  maka harus dapat dibuktikan bahwa 
pelaku telah ”menghendaki” merusak  pesawat   udara dalam dinas 
atau ”mengetahui” bahwa perbuatannya menyebabkan kerusakan atas 
pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau 
membahayakan keamanan penerbangan. Hal-hal terkahir ini harus 
pula dibuktikan bahwa betul-betul ada kerusakan dan sebagainya atau 
ada pembahayaan tersebut. Dalam rumusan tindak pidana ini, pembuat 
undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum, meskipun 
perbuatan merusaka pesawat udara atau menyebabkan kerusakan atas 
pesawat udara tersebut sudah tidak diragukan sifatnya yang 
bertentangan denganhukum dan juga  bertentangan dengan apa yang 
oleh masyarakat dipandang patut. Unsur melawan hukum dalam 
rumusan pasal ini meliputi beberapa unsur obyektif yang oleh pembuat undang-undang diletakkan di belakangnya, yaitu unsur-unsur merusak 
datau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara. Dengan 
dicantumkannya unsur melawan hukum dalam rumusan pasal ini maka 
harus dibuktikan bahwa pelaku memang tidak berhak atau berwenang 
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. 
Pengertian mengenai ”dalam dinas” terdapat dalam Pasal 95c KUHP, 
yang berbunyi sebagai berikut : 
Yang dimaksud dengan ”dalam dinas” adalah jangka waktu sejak 
pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat 
untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah 
setiap pendaratan. 
Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan  merusak sama 
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Sedangkan apa yang 
dimaksud dengan perbuatan  menyebabkan kerusakan atas pesawat 
udara, tidak ada penjelasannya dalam undang-undang ini. 
Pasal 8 huruf n : 
Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau 
menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, 
dengan cara apapun, alat atau  bahan yang dapat menghancurkan 
pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau 
menyebabkan kerusakan pesawat  udara tersebut yang dapat 
membahayakan keamanan dalam penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf n adalah : 
(1) dengan sengaja; (2) melawan hukum; 
(3) menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya dalam pesawat 
udara dalam dinas; 
(4) dengan cara apapun, alat atau bahan; 
(5) yang dapat menghancurkan pesawat udara; 
(6) yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan 
kerusakan pesawat udara tersebut; 
(7) yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan. 
Unsur yang pertama dengan sengaja  dan melawan hukum adalah 
unsur subyektif. Sedangkan unsur obyektif berupa perbuatan 
menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya alat atau bahan 
dalam pesawat udara dalam dinas. Bagaimana cara melakukan 
perbuatan itu tidak dibatasi. Alat atau bahan tersebut dapat 
menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat 
udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau 
menyebabkan kerusakan pesawat  udara tersebut yang dapat 
membahayakan keamanan dalam penerbangan.  Dengan  adanya  
unsur  dengan  sengaja dalam  rumusan tindak pidana ini dapat 
diartikan bahwa tindak pidana ini harus dilakukan dengan sengaja. 
Unsur dengan sengaja disini meliputi perbuatan menempatkan atau 
menyebabkan ditempatkannya alat atau bahan dengan cara apapun. Dengan demikian agar pelaku itu dapat dinyatakan terbukti dengan 
sengaja melakukan tindak pidana sesuai rumusan pasal ini, maka  
harus dapat dibuktikan bahwa pelaku telah ”menghendaki” 
menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya alat atau bahan 
dengan cara apapun, ”yang diketahuinya” bahwa dengan melakukan 
perbuatan tersebut, dapat menghancurkan pesawat udara yang 
membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan 
pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam 
penerbangan. 
Dalam rumusan tindak pidana ini, pembuat undang-undang merasa 
perlu untuk mencantumkan unsur melawan hukum, meskipun 
perbuatan menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya alat atau 
bahan yang dapat menghancurkan  pesawat udara yang membuatnya 
tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara 
tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan, 
sudah tidak diragukan akan sifatnya  yang  bertentangan dengan 
hukum dan bertentangan dengan apa yang  oleh  masyarakat 
dipandang patut. Dengan dicantumkannya unsur melawan hukum 
dalam rumusan pasal ini maka harus dibuktikan bahwa pelaku 
memang tidak berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatanperbuatan tersebut. Pengertian mengenai alat atau bahan yang dapat menghancurkan 
pesawat udara tidak ada penjelasannya dalam undang-undang ini. 
Pengertian mengenai ”dalam dinas” sama seperti yang telah 
dikemukakan sebelumnya. 
Pasal 8 huruf o : 
Melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai 
kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan 
lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari 
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf o adalah : 
(1) melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih; 
(2) sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat; 
(3) melakukan dengan direncanakan lebih dahulu; 
(4) mengakibatkan luka berat bagi seseorang; 
(5) salah satu perbuatan dalam Pasal 8 huruf l; huruf m; huruf n. 
Pasal ini dirumuskan secara ”materiil”. Jadi yang dilarang adalah 
”akibat” yaitu mengakibatkan luka  berat bagi seseorang di dalam 
pesawat udara dari salah satu perbuatan sebagaimana diatur dalam 
Pasal 8 huruf l, m dan n sehingga dapat membahayakan keamanan 
penerbangam. Dengan perumusan sebagai delik materiil, maka yang 
pertama-tama perlu dibuktikan adalah ”akibat” sebagaimanan 
disebutkan di atas. Pasal 8 huruf p : 
Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena 
perbuatan itu membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam 
penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf p adalah : 
(1) memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu; 
(2) membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan. 
Dalam pasal ini memang tidak dicantumkan unsur kesengajaan namun 
agak sukar jika perbuatan memberikan keterangan dilakukan dengan 
tanpa sengaja sehingga sudah pasti perbuatan ini diliputi dengan 
kesengajaan. Dengan adanya unsur  dengan sengaja ini maka yang 
harus dibuktikan adalah bahwa  pelaku ”menghendaki” memberikan 
keterangan dan pelaku ”mengetahui” bahwa keterangan yang 
diberikannya adalah palsu. Apa yang dimaksud dengan keterangan 
palsu yaitu apa yang diterangkan itu adalah sesuatu yang lain dari yang 
sebenarnya. Keterangan yang tidak  benar itu tidak perlu seluruhnya, 
sebagian saja yang tidak benar adalah sudah cukup.  
Hoge Raad (HR)  dalam suatu  arrestnya (25-6-1928) menyatakan 
bahwa ”suatu keterangan adalah palsu, apabila sebagian dari 
keterangan itu adalah tidak benar, terkecuali jika ini adalah sedemikian 
rupa sehingga dapat diperkirakan bahwa hal itu tidak sengaja diberikan 
dalam memberikan keterangan palsu”. Unsur perbuatan memberikan keterangan palsu, adalah suatu perbuatan aktif. Artinya, sesuatu yang 
palsu itu harus diterangkan. 
Yang dimaksud oleh pasal ini adalah tindakan-tindakan yang sering 
terjadi seperti pemberitahuan lewat telepon atau alat komunikasi 
lainnya tentang adanya ancaman bom. 
Pasal 8 huruf q : 
Di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat 
membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf q adalah : 
(1) di dalam pesawat udara; 
(2) melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan 
keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan. 
Perbuatan-perbuatan yang dapat  membahayakan keamanan dalam 
pesawat udara dalam penerbangan, misalnya : 
a. Membuka pintu darurat atau pintu utama. 
b. Merusak alat-alat pelampung atau alat-alat penyelamat lainnya. 
Pasal 8 huruf r : 
Di dalam pesawat udara melakukan  perbuatan-perbuatan yang dapat 
mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam 
penerbangan. 
Unsur-unsur dari Pasal 8 huruf f adalah : 
(1) di dalam pesawat udara; (2) melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu 
ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam 
penerbangan. 
Perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib 
di dalam pesawat udara dalam penerbangan, misalnya : 
a. Mabuk-mabukkan. 
b. Membuat onar atau gaduh dan lain sebagainya. 
Pasal 9 : 
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, 
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau 
mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai  
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, 
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan 
ke dan/atau dari Indonesia sesuatu  senjata api, amunisi, atau sesuatu 
bahan peledak dan bahan-bahan  lainnya yang berbahaya dengan 
pidana mati atau penjara seumur  hidup atau pidana penjara paling 
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 
Unsur-unsur dari Pasal 9 adalah : 
(1) melawan hukum; 
(2) memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba 
memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau 
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, 
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan ke 
dan/atau dari Indonesia; 
(3) sesuatu senjata api; amunisi; bahan peledak atau bahan-bahan 
lainnya yang berbahaya; 
(4) dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme. 
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah memasukkan ke 
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan 
atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai 
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, 
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan 
ke dan/atau dari Indonesia, sesuatu  senjata api, amunisi, atau sesuatu 
bahan peledak dan bahan-bahan  lainnya yang berbahaya dengan 
maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme. 
Dalam rumusan tindak pidana ini, pembuat undang-undang merasa 
perlu untuk mencantumkan unsur melawan hukum. Mungkin pembuat 
undang-undang berpendirian dengan tidak dicantumkannya unsur 
tersebut dikhawatirkan orang  yang mempunyai kewenangan dan 
melakukan perbuatan itu akan dapat dipidana pula. Dengan 
dicantumkannya unsur melawan hukum dalam rumusan pasal ini maka harus dibuktikan bahwa pelaku memang tidak berhak atau berwenang 
untuk melakukan perbuatan tersebut. 
Pasal 9 ini hampir serupa dengan Pasal 1 Undang-Undang Darurat 
Nomor 12 Darurat Tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi dan 
Bahan Peledak. Perbedaannya adalah dalam Pasal 9 ini terdapat 
rumusan ”bahan-bahan lainnya yang berbahaya” serta mengharuskan 
adanya ”maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme”. 
Pengertian mengenai bahan peledak terdapat dalam Pasal 1 angka 12 
undang-undang ini, yaitu : 
Bahan peledak adalah : semua bahan yang dapat meledak, semua jenis 
mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan 
peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk 
menimbulkan ledakan. 
Sedangkan menurut penjelasan Pasal 9, apa yang dimaksud dengan 
bahan-bahan lainnya yang berbahaya adalah termasuk gas beracun dan 
bahan kimia yang berbahaya. 
Pasal 10 : 
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana 
dimaksud  dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja 
menggunakan senjata kimi, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga 
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara 
meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan 
terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, 
dan hak-hak orang, atau terjadi  kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, 
atau fasilitas internasional. 
Unsur-unsur dari Pasal 10 adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menggunakan; 
- senjata kimia; 
- senjata biologis; 
- radiologi; 
- mikroorganisme; 
- radioaktif atau komponennya; 
(3) sehingga : 
a) menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang 
secara meluas; 
b) menimbulkan korban yang bersifat massal; 
c) membahayakan terhadap kesehatan; 
d) terjadi kekacauan terhadap : 
- kehidupan; 
- keamanan dan hak-hak orang; atau 
1. terjadi kerusakan, kehancuran terhadap : 
- obyek-obyek vital yang strategis; 
- lingkungan hidup; 
- fasilitas publik atau fasilitas internasional. Dari rumusan pasal ini berbunyi : ”...........................dengan sengaja 
menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga 
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara 
meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan 
terhadap kesehatan................... dan seterusnya”, menunjukkan pasal 
tersebut dirumuskan secara ”materiil”. Jadi yang dilarang adalah 
”akibat” yaitu timbulnya suasana teror, atau rasa takut terhadap orang 
secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, 
membahayakan terhadap kesehatan....................dan seterusnya. 
Dengan perumusan sebagai delik materiil, maka perlu dibuktikan 
adanya ”akibat” sebagaimana tersebut  di atas. Akibat tersebut di atas 
memiliki hubungan kausal dengan perbuatan pelaku yang dengan 
sengaja menggunakan senjata kimia,  senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya. 
Pengertian mengenai obyek-obyek vital yang strategis, kerusakan atau 
kehancuran lingkungan hidup dan fasilitas publik, sama dengan yang 
telah dikemukakan sebelumnya. 
Menurut penjelasan Pasal 10, ketentuan pasal ini diambil dari 
Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, yang 
diselenggarakan di Wina, Austria Tahun 1979 yang telah diratifikasi 
dengan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1986. Pasal 11 : 
Dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 3 (tiga) tahun dan 
paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja 
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan 
atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya 
untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. 
Unsur-unsur dari Pasal 11 adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan dana; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian/seluruh dana itu); 
(4) untuk melakukan salat satu tindak pidana terorisme dalam Pasal 6; 
Pasal 7; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan pasal ini adalah 
”menyediakan” atau ”mengumpulkan” dana dengan tujuan akan 
digunakan atau patut diketahuinya  akan digunakan sebagian atau 
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10. 
Yang dimaksud dengan dana adalah sejumlah uang untuk membiayai 
melakukan perbuatan dimaksud. 
Dihubungkan dengan unsur-unsur lainnya, unsur dengan sengaja 
diletakkan di muka unsur-unsur lainnya. Dengan demikian unsur dengan sengaja meliputi atau mempengaruhi semua unsur yang 
letaknya di belakang. Hal ini dapat diartikan bahwa perbuatan ini 
harus dilakukan dengan sengaja. Dalam hal ini pelaku ”menghendaki” 
menyediakan atau mengumpulkan dana yang akan digunakan sebagian 
atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan 
Pasal 10. Pelaku juga ”mengetahui” bahwa penyediaan atau 
pengumpulan dana tersebut akan digunakan sebagian atau seluruhnya 
untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 6, pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal  10, atau pelaku 
setidaknya patut mengetahui bahwa  dana tersebut akan digunakan 
sebagian atau seluruhnya untuk  melakukan tindak pidana terorisme 
sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut di atas. Dalam hal 
ini terdapat unsur kelalaian dimana menurut perhitungan yang layak 
pelaku dapat menduga bahwa dana  tersebut akan digunakan untuk 
melakukan tindak pidana terorisme. 
Pasal 12 : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, 
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, 
radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat 
mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan 
kerusakan harta benda; 
b. mencuri atau merampas bahan  nuklir, senjata kimia, senjata 
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau 
komponennya; 
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, 
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, 
radioaktif atau komponennya. 
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya secara paksa atau 
ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; 
e. mengancam : 
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, 
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya 
untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan 
harta benda; atau 
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf 
b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, oganisasi 
internasional atau negara lain untuk melakukan atau tidak 
melakukan sesuatu; 
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
huruf a, huruf b, atau huruf c; dan  
g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam huruf a sampai dengan huruf f. 
Rumusan tindak pidana dalam Pasal 12 ini masih berkaitan dengan 
rumusan tindak pidana dalam Pasal 11. Pasal ini dirumuskan dengan 
unsur-unsur pokoknya yaitu dilakukan dengan sengaja, menyediakan 
atau mengumpulkan harta kekayaan, dengan tujuan akan digunakan 
atau patut diketahuinya akan digunakan, sebagian atau seluruhnya, 
untuk melakukan tindak pidana terorisme. Namun ada sedikit 
perbedaan dimana dalam Pasal 11 obyek dari perbuatan menyediakan 
atau mengumpulkan berupa dana, sedangkan dalam rumusan Pasal 12 obyeknya berupa harta kekayaan.  Di dalam rumusan Pasal 11 
ditentukan secara limitatif tindak  pidananya yaitu tindak pidana 
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, 
Pasal 9, dan Pasal 10, sedangkan dalam rumusan Pasal 12 ditentukan 
pula secara limitatif tindak pidananya yaitu meliputi perbuatan 
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g. 
Pengertian harta kekayaan terdapat dalam Pasal 1 butir 9 undangundang ini. Harta kekayaan adalah  semua benda begerak atau benta 
tidak bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud. 
Pasal 12 huruf a : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan  sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, 
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan 
nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang 
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka 
berat atau menimbulkan kerusakan harta benda. 
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf a : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian/seluruhnya) (4) untuk melawan tindakan secara melawan hukum menerima, 
memiliki, menggunakan, menyerahkan, membuang : 
- bahan nuklir; 
- senjata kimia; 
- senjata biologis; 
- radiologi; 
- mikroorganisme; 
- radioaktif atau komponennya. 
(5) Yang mengakibatkan atau dapat  mengakibatkan kematian atau 
luka berat atau kerusakan harta benda. 
Rumusan tindak pidana dalam Pasal 12 huruf a ini dirumuskan secara 
”materiil”. Jadi yang dilarang adalah ”akibat” yaitu mengakibatkan 
atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan 
kerusakan harta benda. Akibat  tersebut memiliki hubungan kausal 
dengan rumusan pokok tindak pidana ini yaitu perbuatan pelaku yang 
dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan 
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan 
untuk melakukan tindakan secara melawan hukum menerima, 
memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan 
nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, 
radioaktif atau komponennya. Pasal 12 huruf b : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atua seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata 
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya. 
Unsur-unsur Pasal 12 huruf b adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian atau seluruhnya); 
(4) untuk melakukan perbuatan mencuri atau merampas : 
- bahan nuklir; 
- senjata kimia; 
- senjata biologis; 
- radiologi; 
- mikroorganisme; 
- radioaktif atau komponennya. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf b ini adalah 
dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan 
sebagian atau seluruhnya untuk mencuri atau merampas bahan nuklir, 
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif 
atau komponennya. 
Pasal 12 huruf c : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, 
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, 
radioaktif atau komponennya. 
Unsur-unsur dari pasal 12 huruf c adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian atau seluruhnya); 
(4) untuk melakukan penggelapan atau memperoleh secara tidak sah : 
- bahan nuklir; 
- senjata kimia; 
- senjata biologis; 
- radiologi; 
- mikroorganisme; - radioaktif atau komponennya. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf c ini adalah 
dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan 
dengan tujuan akan digunakan atau  patut diketahuinya akan 
digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan penggelapan 
atau memperoleh secara tidak sah  bahan  nuklir,  senjata  kimia, 
senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau 
komponennya. 
Pasal 12 huruf d : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. meminta bahan nuklir,  senjata  kimia, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya secara paksa atau 
ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi. 
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf d adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian atau seluruhnya) 
(4) untuk meminta : 
- bahan nuklir; - senjata kimia; 
- senjata biologis; 
- radiologi; 
- mikroorganisme; 
- radioaktif atau komponennya. 
(5) secara paksa atau dengan ancaman kekerasan atua dengan segala 
bentuk intimidasi. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf d ini adalah 
dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan 
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan 
sebagian atau seluruhnya untuk meminta bahan nuklir, senjata kimia, 
senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau 
komponennya secara paksa atau  dengan ancaman kekerasan atau 
dengan segala bentuk intimidasi. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan 
intimidasi adalah tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa 
orang atau pihak lain berbuat sesuatu). 
Pasal 12 huruf e angka 1 : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
mengancam : 
menggunakan bahan nuklir, senjata  kimia, senjata biologis, 
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya untuk 
menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda. 
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf 3 angka 1 adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian/seluruhnya); 
(4) untuk mengancam menggunakan : 
- bahan nuklir; 
- senjata kimia; 
- senjata biologis; 
- radiologi; 
- mikroorganisme; 
- radioaktif atau komponennya. 
(5) untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta 
benda. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf e angka 1 ini 
adalah dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan sebagian atau seluruhnya untuk mengancam menggunakan 
bahan nuklir, senjata kimia,  senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya untuk menimbulkan 
kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda. Perbuatan 
mengancam ini ditujukan terhadap orang atau barang. 
Pasal 12 huruf e angka 2 : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
mengancam : 
melakukan tindak pidana sebagaimanan dimaksud dalam huruf b 
dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, 
atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf e angka 2 adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian/seluruhnya); 
(4) untuk mengancam melakukan tindak pidana dalam huruf b yaitu 
mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata 
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; 
(5) dengan tujuan untuk memaksa : - orang lain; 
- organisasi internasional; atau 
- negara lain. 
(6) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf e angka 2 ini 
adalah dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta 
kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan sebagian atau seluruhnya yang dilakukan dengan ancaman 
untuk mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata 
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya 
dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, 
atau negara lain untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan 
sesuatu. 
Pengertian mengenai Organisasi Internasional terdapat dalam Pasal 1 
angka 8 undang-undang ini. Yang dimaksud dengan Organisasi 
Internasional adalah organisasi  yang berada dalam lingkup struktur 
organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional 
lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan 
tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa. 
Pasal 12 huruf f : Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atua 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
huruf a, huruf b, atau huruf c; 
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf f adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian/seluruhnya); 
(4) untuk mencoba; 
(5) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 
huruf a; huruf b; huruf c. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf f ini adalah 
dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan 
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya  akan 
digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan percobaan 
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau 
huruf c. 
Menurut penulis, dasar patut dipidananya percobaan ini terletak pada 
sifat berbahayanya perbuatna terhadap kepentingan/benda hukum 
antara lain keselamatan masyarakat maupun terhadap harta benda. Pasal 12 huruf g : 
Dipidana karena melakukan tindak  pidana terorisme dengan pidana 
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atua 
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk 
melakukan : 
a. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud 
dalam huruf a sampai dengan huruf f. 
(1) dengan sengaja; 
(2) menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan; 
(3) dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan 
digunakan (sebagian/seluruhnya); 
(4) untuk ikut serta; 
(5) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf a; 
huruf b; huruf c; huruf d; huruf e; huruf f. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan Pasal 12 huruf g ini adalah 
dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan 
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya  akan 
digunakan  sebagian atau seluruhnya untuk turut serta melakukan salah 
satu tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, 
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f. 
Pasal 13 : Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau 
kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan : 
memberikan atua meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan 
lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; 
menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau 
menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. 
Dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 3 (tiga) tahun dan 
paling lama 15 (lima belas) tahun. 
Unsur-unsur dari Pasal 13 adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak 
pidana terorisme; 
(3) dengan cara : 
- memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta 
kekayaan lainnya; 
- menyembunyikan pelaku; 
- menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan pasal ini adalah dengan 
sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak 
pidana terorisme dengan cara memberikan atau meminjamkan uang 
atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku, 
menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi tentang 
tindak pidana terorisme. Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan “bantuan” dan 
“kemudahan” terdapat dalam penjelasan Pasal 13 Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut : 
Yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan memberikan 
bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. 
Yang dimaksud dengan “kemudahan” adalah tindakan memberikan 
bantuan setelah tindak pidana dilakukan. 
Dengan adanya unsur dengan sengaja dalam rumusan tindak pidana ini 
dapat diartikan bahwa tindak pidana ini harus dilakukan dengan 
sengaja. Unsur dengan sengaja disini meliputi perbuatan memberikan 
bantuan atau kemudahan terhadapa  pelaku tindak pidana terorisme 
yang dilakukan dengan cara memberikan atau meminjamkan uang atau 
barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku, menyembunyikan 
pelaku atau menyembunyikan informasi tentang tindak pidana 
terorisme. 
Pasal 14 : 
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain 
untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 
12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. 
Unsur-unsur dari Pasal 14 adalah : 
(1) merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain; (2) melakukan salah satu tindak pidana dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. 
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah merencanakan 
dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan salah satu tindak 
pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Dari kata “merencanakan” 
dapat diartikan pelaku melakukan perencanaan untuk melakukan 
tindak pidana atau masih dalam  tahap perbuatan persiapan untuk 
melakukan tindak pidana. Merencanakan juga dapat diartikan apabila 
antara saat timbulnya maksud untuk melakukan tindak pidana dan 
pelaksanaannya, masih ada waktu bagi pelaku untuk memikirkan atau 
mempersiapkan tindak pidana atau membatalkan niat melakukan 
tindak pidana. Sedangkan dari  kata “menggerakkan” menunjukkan 
bahwa pelaku harus membangkitkan niat orang lain untuk melakukan 
tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, 
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, meskipun orang lain 
tersebut mungkin sebenarnya tidak mempunyai niat untuk melakukan 
perbuatan-perbuatan tersebut.  Perbuatan menggerakkan orang lain ini 
dapat  juga  berupa  perbuatan  yang menekankan  pengaruhnya 
kepada orang lain secara langsung untuk membuat orang  lain itu 
bersedia melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki. Dengan  demikian, kata “menggerakkan” itu menunjukkan bahwa inisiatif 
untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 
12 itu, harus berasal dari pelaku. 
Dalam rumusan pasal ini tidak dicantumkan unsur yang bersifat 
subyektif. Unsur yang tercantum dalam rumusan pasal ini merupakan 
unsur obyektif meliputi perbuatan merencanakan dan/atau 
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, 
dan Pasal 12. Namun bila dicermati rumusan perbuatan 
“merencanakan” dan/atau “menggerakkan”, maka melakukan 
perbuatan tersebut pastilah dilakukan dengan sengaja, sebab tidak 
dapat dan sukar dipahami untuk melakukan perbuatan-perbuatan 
tersebut tanpa dengan sengaja. Dengan demikian unsur kesengajaan itu 
ada secara terselubung. 
Menurut naskah akademis mengenai Rancangan Undang-Undang 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa 
pasal ini dirangcang untuk menangkap otak yang berada di belakang 
komplotan teroris. Ketentuan pasal ini memungkinkan untuk 
menangkap teroris-teroris “kelas kakap” (pimpinan teroris, pen) yang 
merencanakan tindakan-tindakan, tetapi tidak melakukannya secara nyata dan juga tidak berada di tempat kejadian dan tidak mengambil 
bagian secara langsung dalam pelaksanaan tindakan tersebut. 
Pasal 15 : 
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau 
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, 
dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak 
pidananya. 
Unsur-unsur dari Pasal 15 adalah : 
(1) permufakatan jahat; 
(2) percobaan; atau 
(3) pembantuan; 
(4) untuk melakukan salah satu tindak pidana dalam Pasal 6, Pasal 7, 
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12. 
Perbuatan yang dilarang dalam rumusan pasal ini adalah melakukan 
permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan 
tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, 
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dan terhadap 
perbuatan-perbuatan tersebut dipidana dengan pidana yang sama 
sebagai pelaku tindak pidana. 
Pengertian mengenai permufakatan jahat, percobaan dan pembantuan 
tidak dijelaskan dalam undang-undang ini. Namun sebagai 
pencermeninan untuk menafsifkan pengertian tersebut di atas kita dapat mengambil norma dari penafsiran autentik pada KUHP, 
khususnya Pasal 88, Pasal 53 ayat  (1) dan Pasal 56. Tetapi harus 
diingat bahwa penjelasan atau  penafsiran autentik tentang 
permufakatan yang tercantum dalam Pasal 88 KUHP tidak berlaku 
untuk perundang-undangan pidana khusus dan perundang-undangan 
lain yang menggunakan sanksi pidana, karena pasal itu termasuk Bab 
IX Buku I, yang tidak dinyatakan berlaku oleh Pasal 103 KUHP untuk 
perundang-undangan khusus dan  perundang-undangan lain yang 
menggunakan sanksi pidana. Yang dinyatakan berlaku hanyalah Bab IVIII Buku I KUHP dan tidak termasuk Bab IX. Menurut Pasal 88 
KUHP, dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih 
telah sepakat melakukan kejahatan. Menurut naskah akademis 
mengenai informasi yang berkaitan Rancangan Undang-Undang 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa 
untuk memberikan perangkat  hukum yang lebih kuat dalam 
pencegahan tindak pidana terorisme, dibutuhkan undang-undang yang 
secara tegas mengatur bahwa bermufakat jahat untuk melakukan 
tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana. Hal tersebut 
dikarenakan terorisme hampir selalu melibatkan permufakatan jahat, 
dan jarang sekali terorisme dilakukan oleh satu orang saja. Biasanya, 
tahapan pertama dari setiap tindak pidana terorisme terjadi ketika dua 
orang atau lebih sepakat atau  bermufakat untuk melakukan tindak pidana terorisme. Dalam hal Percobaan, menurut Pasal 53 ayat (1) 
KUHP, dirumuskan batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan 
untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu : “Mencoba 
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari 
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, 
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Batasan 
mengenai percobaan ini mensyaratkan “permulaan pelaksanaan”. 
Menurut naskah akademis RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Terorisme, batasan ini tidak memberikan perlindungan yang memadai 
bagi masyarakat terhadap tindak  pidana terorisme. Meskipun sulit 
untuk menentukan batas perbuatan “permulaan pelaksanaan”, sebagian 
ahli Hukum Pidana Internasional menganggap batasan ini terlalu 
sempit sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang maksimal 
terhadap percobaan tindak pidana terorisme. Hal ini dapat membatasi 
pilihan yang tersedia bagi polisi dan penuntut umum dan membatasi 
kemampuan penegak hukum tersebut untuk mengantisipasi dan 
menghentikan bencana (aksi-aksi terorisme, pen) sebelum bencana 
tersebut terjadi. Oleh karena itu aparat penegak hukum membutuhkan 
kerangka hukum yang lebih kuat untuk menghentikan percobaan 
tindak pidana terorisme sebelum  dilakukan. Dalam hal Pembantuan, 
menurut pasal 56, dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu 
kejahatan : (1). Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan terjadi; (2). Mereka yang sengaja memberi kesempatan, 
sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. 
Menurut naskah akademis mengenai informasi yang berkaitan RUU 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa 
tindak pidana terorisme seringkali mengandalkan para ahli yang 
mengambil bagian secara terbatas namun penting artinya. Satu orang 
mungkin mengadakan bahan peledak,  sementara satu orang lagi 
membuat alat peledak dan satu orang lagi mengirimkannya. Bagian 
penjelasan mengindikasikan bahwa “pembantuan” dimaksudkan untuk 
mencakup bantuan yang diberikan sebelum, selama dan setelah tindak 
pidana terorisme. Hal ini memperluas jangkauan tindak pidana 
pembantuan melebihi apa yang ditentukan berdasarkan KUHP, 
sehingga secara jelas mencakup orang-orang yang terlibat dan 
memberikan kontribusi sedemikian rupa selain dari terlibat langsung 
dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut. Merupakan hal yang 
penting untuk memperluas cakupan tindak pidana pembantuan dalam 
konteks penanggulangan tindak pidana terorisme untuk memerangi 
sel-sel teroris. Bagian dari kekuatan terorisme modern adalah 
kemampuan sel-sel teroris untuk merencanakan tindak pidana 
terorisme dan untuk membantu teroris menghindari deteksi dari pihak 
keamanan. Ditetapkannya permufakatan jahat, percobaan dan pembantuan untuk 
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 
sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan dipidana dengan pidana 
yang sama sebagai pelaku tindak pidana terorisme merupakan suatu 
pengaturan yang baru dan berbeda dengan pengaturan yang ada di 
KUHP, dimana ancaman pidana  untuk pihak-pihak yang bersalah 
melakukan perocabaan (Pasal 53 KUHP) atau pembantuan (Pasal 57 
KUHP) dikurangi sepertiga dan apabila kejahatan tersebut diancam 
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana 
penjara paling lama lima belas tahun. Sedangkan permufakatan jahat 
untuk menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir hanya dikenakan 
pidana penjara paling lama  lima tahun (Pasal 187 ter KUHP). 
Pengaturan mengenai pemidanaan permufakatan jahat, percobaan dan 
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme disamakan 
dengan pelaku tindak pidana terorisme, menunjukkan bahwa pembuat 
undang-undang menganggap tindak pidana terorisme sebagaimana 
dimaksud dalam pasal-pasal tersbut di atas sebagai tindak pidana yang 
sifatnya begitu berbajaya bagi kepentingan/benda hukum baik 
terhadap orang maupun harta benda. Pasal 16 : 
Setiap orang di luar wilayah  Negara Republik Indonesia yang 
memberikan bantuan, kemudahan,  sarana atau keterangan untuk 
terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama 
sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, 
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. 
Unsur-unsur dari Pasal 16 adalah : 
(1) memberikan bantuan; 
(2) kemudahan; 
(3) sarana atau keterangan; 
(4) untuk terjadinya salah satu tindak  pidana dalam Pasal 6, Pasal 7, 
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. 
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah memberikan bantuan, 
kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana 
terorisme, dan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut dipidana dengan 
pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, 
dan Pasal 12. Pengertian mengenai  bantuan dan kemudahan telah 
diterangkan dalam penjelasan Pasal 13 dalam uraian sebelumnya. 
Menurut naskah akademis mengenai RUU tentang Undang-Undang 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa pasal ini 
memperluas jangkauan hukum Indonesia sehingga mencakup teroris 
yang melakukan tindak pidana pembantuan dari luar wilayah Indonesia. Dalam melakukan kegiatannya, para teroris dapat 
merencanakan dan melaksanakan aksinya dengan menggunakan 
peralatan teknologi canggih dan modern yang jangkauannya lintas 
batas negara. 
Pasal 17 : 
(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama 
suatu korporasi, maka tuntutan  dan penjatuhan pidana dilakukan 
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 
(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak 
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan 
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam 
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, 
maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 
Pasal ini mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap 
tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh atau atas nama suatu 
korporasi. 
Pasal 18 : 
(1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka 
panggilan untuk menghadap dan  penyerahan surat panggilan 
tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus 
atau di tempat pengurus berkantor. 
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap  korporasi                
hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak                           
Rp. 1.000.000.000.000 (satu trilyun rupiah). 
(3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan 
atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang 
terlarang. Pasal ini mengatur mengenai dalam hal tuntutan pidana dilakukan 
terhadap korporasi maka penyerahan surat panggilan disampaikan 
kepada pengurus. Pasal ini juga menetapkan pidana pokok yang   
dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling 
banyak Rp. 1.000.000.000.000 (satu trilyun rupiah) dan pidana 
tambahan berupa pembekuan atau dicabutnya izin korporasi tersebut 
dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. 
Pasal 19 : 
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, 
Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan 
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk  pelaku tindak pidana terorisme 
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. 
Pasal ini mengatur mengenai pengecualian berlakunya pidana 
minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 
9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, terhadap 
pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan 
belas) tahun. 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana 
Terorisme 
Pasal 20 : 
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman 
kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut 
umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak 
pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, 
dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 3 (tiga) tahun dan 
paling lama 15 (lima belas) tahun. 
Unsur-unsur dari Pasal 20 adalah : 
(1) menggunakan kekerasan; atau 
(2) ancaman kekerasan; atau 
(3) dengan mengintimidasi; 
(4) penyelidik; penyidik; penuntut umum; penasihat hukum; dan/atau 
hakim yang menangani tindak pidana terorisme; 
(5) sehingga proses peradilan menjadi terganggu. 
Perbuatan yang dilarang dalam  pasal ini adalah menggunakan 
kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi 
penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau 
hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses 
peradilan menjadi terganggu. 
Pengertian mengenai kekerasan atau ancaman kekerasan sama dengan 
yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya. Sedangkan pengertian mengenai mengintimidasi, berasal dari kata 
“intimidasi”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, intimidasi 
berarti “tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau 
pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman”. 
Pasal 21 : 
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat 
bukti palsu atau barang bukti palsi, dan mempengaruhi saksi secara 
melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan 
terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak 
pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. 
Unsur-unsur dari Pasal 21 adalah : 
(1) memberikan kesaksian palsu; 
(2) menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu; 
(3) mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan; 
atau 
(4) melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas 
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. 
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah memberikan kesaksian 
palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan 
mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, 
atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas 
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. Pengertian mengenai kesaksian palsu, alat bukti atau barang bukti 
palsu adalah kesaksian, alat atau barang bukti yang lain dari 
sebenarnya. 
Mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan 
dapat diartikan pelaku mempengaruhi keterangan yang diberikan oleh 
saksi yang mana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 
(KUHAP), keterangan saksi adalah  keterangan dari saksi mengenai 
suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia 
alami sendiri. Perbuatan mempengaruhi saksi disini jelas bertentangan 
dengan hukum (undang-undang). 
Penyerangan terhadap saksi maupun petugas pengadilan menunjukkan 
inisiatif penyerangan berasal dari pelaku yang telah melakukan 
perbuatna penyerangan tersebut terhadap pihak lain dalam hal ini saksi 
maupun petugas pengadilan. 
Pasal 22 : 
Setiap orang yang dengan sengaja  mencegah, merintangi, atau 
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung  penyidikan, 
penuntutan dan pemeriksaan di  sidang pengadilan dalam perkara 
tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling 
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. 
Unsur-unsur dari Pasal 22 adalah : 
(1) dengan sengaja; 
(2) mencegah; (3) merintangi; atau 
(4) menggagalkan secara langsung; 
(5) penyidikan; 
(6) penuntutan; 
(7) pemeriksaan di sidang pengadilan; 
(8) dalam perkara tindak pidana terorisme. 
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah dengan sengaja 
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak 
langsung penyidikan, penuntutan   dan pemeriksaan di sidang 
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. 
Dihubungkan dengan unsur-unsur lainnya, unsur dengan sengaja 
diletakkan di muka unsur-unsur lainnya. Dengan demikian unsur 
dengan sengaja meliputi atau mempengaruhi semua unsur yang 
letaknya di belakang. Hal ini dapat diartikan bahwa perbuatan ini 
harus dilakukan dengan sengaja. Dalam hal ini pelaku “menghendaki, 
mencegah, merintangi proses penyidikan, penuntutan, dan 
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana 
terorisme. Pelaku juga “mengetahui” bahwa perbuatannya itu dapat 
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, 
penuntutan, dan pemeriksaan di  sidang pengadilan dalam perkara 
tindak pidana terorisme. Dalam  penjelasan disebutkan bahwa 
ketentuan pasal ini bermaksud memidanakan pelaku yang melakukan tindakan yang ditujukan kepada penyidik, penuntut umum dan hakim. 
Namun tidak dijelaskan tindakan apa saja yang termasuk pengertian 
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak 
langsung penyidikan, penuntutan,  dan pemeriksaan di sidang 
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. 
Pasal 23 : 
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)  dipidana dengan pidana kurungan 
paling lama 1 (satu) tahun. 
Pasal ini melarang saksi dan orang lain melanggar ketentuan Pasal 32 
ayat (2) undang-undang ini yang menentukan bahwa saksi dan orang 
lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang 
menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang 
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.  
4. Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana terorisme 
a. Subyek yang dapat dipertanggungjawabkan 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mencantumkan orang dan 
korporasi sebagai subyek tindak pidana yang dapat 
dipertanggungjawabkan dalam suatu tindak pidana terorisme. Dari pasalpasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, misalnya Pasal 6 sampai dengan  Pasal 24 Undang-Undang Nomor 15 
Tahun 2003, diawali dengan kata-kata setiap orang. 
Setiap orang, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 
Tahun 2003 adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil. 
Militer, maupun polisi yang bertanggung  jawab secara individual, atau 
korporasi. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa orang dan korporasi 
dapat menjadi subyek tindak pidana  orang dan korporasi dapat menjadi 
subyek tindak pidana terorisme dan dapat dipertanggungjawabkan. 
Korporasi, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 
2003 adalah kumpulan orang dan/atau  kekayaan yang terorganisasi baik 
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam dal tindak 
pidana dilakukan oleh korporasi, maka menurut Pasal 17 ayat (1) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003, pertanggungjawabkan pidananya dapat 
dikenakan terhadap : 
- korporasi, dan atau 
- pengurusnya. 
Pasal 17 ayat (2) dan (3), dan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur lebih lanjut mengenai sistem 
dan prosedur pertanggungjawaban korporasi. 
b. Pidana dan Pemidanaan terhadap Tindak Pidana Terorisme Seseorang baru dapat dimintai  pertanggungjawaban pidana apabila 
telah melakukan tindak pidana. Dipidananya seseorang tidaklah cukup 
apabila orang itu telah melakukan pembuatan yang bertentangan dengan 
hukum atau bersifat melawan hukum  bentuk pemidanaan masih perlu 
adanya syarat, bahwa orang tersebut dalam perbuatannya mempunyai 
kesalahan. 
Menurut  Sudarto, kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat 
disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum 
pidana” dan didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat 
atas perbuatannya.
64)
Menurut  Simons, kesalahan adalah  sebagai dasar untuk 
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, ia berupa kesadaran psykhis 
dari si pembuat dalam hubungannya terhadap perbuatannya dan dalam arti 
bahwa berdasarkan keadaan psykhis itu perbuatannya dapat dicelakan 
kepada si pembuat. 
65) 
Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dalam rumusan 
tindak pidana terorisme hampir selalu tercantum unsur dengan sengaja 
atau kealpaan. Dengan dicantumkannya unsur dengan sengaja dalam 
rumusan tindak pidana terorisme seperti dalam Pasal 6, Pasal, 7, Pasal 8 
huruf c, e, f, l, m, n, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 22 
                                                
64)
 Sudarto, Op.Cit hal 89. 
65
 Ibid, hal 88 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan dalam beberapa pasal lainnya 
yang tidak mencantumkan kata dengan sengaja. Tetapi dari rangkaian 
perbuatannya tergolong sebagai  pembuatan yang dilakukan dengan 
sengaja (unsur dengan sengaja dirumuskan secara implisit) serta unsur 
kealpaan dalam rumusan Pasal 8 huruf d, g, Pasal 11 dan Pasal 12 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, dapat disimpulkan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 didasarkan pada azas kesalahan atau azas 
culpabilitas. 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada Bab III dan Bab IV 
mengatur Ketentuan Pidana, dimana  dalam Ketentuan Pidana tersebut 
diatur masalah tindak pidana dan  sanksi pidana. Selanjutnya dalam 
masalah pidana dan pembindaan terhadap tindak pidana terorisme akan 
dibahas mengenai jenis pidana (strafsoort) dan lamanya pidana 
(strafmaat). 
i. Jenis Pidana (Strafsoort) 
Pasal 6 sampai dengan Pasal 24 (Bab III dan Bab IV) Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003 memuat jenis sanksi pidana yang dapat 
dikenakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, antara lain : 
a. Pidana mati atau pidana seumur hidup. 
b. Pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara 
minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun. c. Pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara 
minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun. 
d. Pidana seumur hidup. 
e. Pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima 
belas) tahun. 
f. Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh) 
tahun. 
g. Pidana kurungan maksimal 1 (satu) tahun. 
h. Pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun 
rupiah) terhadap korporasi. 
Apabila diklasifikasikan sanksi pidana dan tindak pidananya dapat 
dikemukakan sebagai berikut : 
a) ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup bagi perbuatan : 
1) tindak pidana dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 
ancaman kekerasan bermaksud menimbulkan teror atau 
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan 
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas 
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang 
lain, atau mengakibatkan kehancuran terhadap obyekobyek bital yang strategis atau lingkungan hidup atau 
fasilitas publik atau fasilitas internasional; 2) tindak pidana merencanakan dan/atau menggerakkan orang 
lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, 
Pasal 11 dan Pasal 12; 
b) ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana 
penjara minimal 4 (empat) tahun  dan maksimal 20 (dua puluh) 
tahun bagi perbuatan : 
1) tindak pidana dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau 
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan 
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas 
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang 
lain, atau mengakibatkan kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis  atau lingkungan hidup atau 
fasilitas publik atau fasilitas internasional; 
2) tindak pidana menghancurkan, membuat tidak dapat 
dipakai atau merusak bangunan atau pengamanan lalu 
lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan 
bangunan tersebut; 
3) tindak pidana menyebabkan hancurnya, tidak dapat 
dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan 
bangunan tersebut. 
4) tindak pidana dengan sengaja dan melawan hukum 
menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan 
tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau 
menggagalkan bekerjanya tanda  atau alat tersebut, atau 
memasang tanda atau alat yang keliru; 
5) tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan tanda atau 
alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, 
terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda 
atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; 
6) tindak pidana dengan sengaja atau melawan hukum, 
menghancurkan atau membuat  tidak dapat dipakainya 
pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan 
orang lain; 
7) tindak pidana dengan sengaja atau melawan hukum 
mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat 
dipakai atau merusak pesawat udara; 
8) tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan pesawat 
udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; 
9) tindak pidana dengan maksud untuk menguntungkan diri 
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau 
ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan atau membuat 
tidak dapat dipakainya pesawat udara yang 
dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang 
dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan 
diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk 
kepentingan muatan tersebut telah diterima uang 
tanggungan; 
10) tindak pidana dalam pesawat udara dengan perbuatan 
melawan hukum, merampas atau mempertahankan 
perampasan atau menguasai pesawat udara dalam 
penerbangan; 
11) tindak pidana dalam pesawat udara dengan kekerasan atau 
ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, 
merampas atau mempertahankan perampasan atau 
menguasai pengendalian pesawat udara dalam 
penerbangan; 
12) tindak pidana yang dilakukan bersama-sama sebagai 
kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan 
direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat 
seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara 
sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau 
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; 
13) tindak pidana dengan sengaja dan melawan hukum 
melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di 
dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu 
dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut; 
14) tindak pidana dengan sengaja dan melawan hukum 
merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan 
kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan 
tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan 
penerbangan; 
15) tindak pidana dengan sengaja dan melawan hukum 
menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam 
pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau 
bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang 
membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan 
kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat 
membahayakan keamanan dalam penerbangan; 
16) tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama 2 (dua) 
orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan 
jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan 
mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  l, huruf m, dan 
huruf n; 
17) tindak pidana memberikan keterangan yang diketahuinya 
adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan 
keamanan pesawat udara dalam penerbangan; 
18) tindak pidana di dalam pesawat udara melakukan perbuatan 
yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara 
dalam penerbangan; 
19) tindak pidana di dalam pesawat udara dengan melakukan 
perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban 
dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. 
20) tindak pidana dengan sengaja menggunakan senjata kimia, 
senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau 
komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau 
rasa takut terhadap orang  secara meluas, menimbulkan 
korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap 
kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, 
keamanan dan hak-hak orang  atau terjadi kerusakan, 
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, 
lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas 
internasional. 21) tindak pidana permufakatan jahat, percobaan atau 
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 10; 
22) tindak pidana memberikan bantuan, kemudahan, sarana, 
atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 10; 
c) Ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana 
penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun 
bagi perbuatan : 
Tindak pidana secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, 
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau 
mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai 
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, 
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau 
mengeluarkan ke dan/atau dari  Indonesia sesuatu senjata api, 
amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang 
berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana 
terorisme; 
d) Ancaman pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 
(lima belas) tahun bagi perbuatan : 
1) tindak pidana dengan sengaja menyediakan atau 
mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau 
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, 
Pasal 9, dan Pasal 10; 
2) tindak pidana secara melawan hukum menerima, memiliki, 
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan 
nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang 
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau 
luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; 
3) tindak pidana mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata 
kimia, senjata biologis,  radiologi, mikroorganisme, 
radioaktif atau komponennya; 
4) tindak pidana penggelapan atau memperoleh secara tidak 
sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, 
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; 
5) tindak pidana meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata 
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau 
komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau 
dengan segala bentuk intimidasi; 
6) tindak pidana pengancaman untuk menggunakan bahan 
nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya untuk 
menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan 
harta benda; 
7) tindak pidana pengancaman untuk melakukan tindak 
pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan 
untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau 
negara  lain untuk melakukan atau tidak melakukan 
sesuatu; 
8) tindak pidana percobaan untuk melakukan tindak pidana 
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b atau huruf c; 
9) ikut serta dalam melakukan  tindak pidana sebagaimana 
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f; 
10) tindak pidana dengan sengaja  memberikan bantuan atau 
kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme 
dengan cara memberikan atau meminjamkan uang atau 
barang atau harta kekayaan  lainnya kepada pelaku tindak 
pidana terorisme, menyembunyikan pelaku tindak pidana 
terorisme atau menyembunyikan informasi tentang tindak 
pidana terorisme; 
11) tindak pidana dengan menggunakan kekerasan atau 
ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi 
penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasehat umum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme 
sehingga proses peradilan menjadi terganggu; 
12) tindak pidana memberikan kesaksian palsu, menyampaikan 
alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan  
mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang 
pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, 
termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana 
terorisme. 
e) Ancaman pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 
(tujuh) tahun bagi perbuatan : 
• Tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi, atau 
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung 
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang 
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. 
f) Ancaman  pidana kurungan maksimal 1 (satu) tahun bagi 
perbuatan : 
• Tindakan pidana menyebut nama atau alamat pelapor atau 
hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat 
diketahuinya identitas pelapor. 
g) Ancaman pidana denda maksimal Rp. 1.000.000.000.000 (satu 
triliun rupiah) bagi perbuatan : • Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh atau atas 
nama suatu korporasi. 
ii. Ukuran atau lamanya pidana (strafmaat) 
Dalam menetapkan jumlah atau lamanya ancaman pidana, 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menganut sistem atau 
pendekatan “Absolut”. Yang dimaksud sistem ini adalah setiap tindak 
pidana ditetapkan “bobot/kualitasnya” sendiri-sendiri, yaitu dengan 
menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman 
minimumnya) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum 
pidana untuk tiap tindak pidana ini dikenal pula dengan sebutan 
“sistem indefinite” atau “sistem maksimum”. 
Pola perumusan jenis dan lamanya pidana di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003, dapat  diidentifikasikan sebagai 
berikut : 
a. jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan tindak pidana 
terdiri dari pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana 
penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Pidana mati hanya 
diancamkan untuk delik-delik tertentu dan selalu 
dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana 
penjara maksimal 15 tahun dan 20 tahun. b. Jenis pidana pokok yang diancamkan terutama dirumuskan 
secara tunggal dan alternatif. 
c. Jumlah atau lamanya pidana dicantumkan hampirn seluruhnya 
dengan mencantumkan minimum khususnya. Adapun jumlah 
minimum khusus dan maksimum khusus yang diancamkan 
adalah : 
- Minimum khusus terhadap pidana penjara bervariasi 
meliputi 2 (dua) tahun, 3 (tiga) tahun dan 4 (empat) tahun. 
- Maksimum khusus terhadap pidana penjara bervariasi 
meliputi 7 (tujuh) tahun, 15 (lima belas) tahun, 20 (dua 
puluh) tahun dan pidana seumur hidup. 
- Maksimum 20 (dua puluh) tahun digunakan sebagai 
ancaman maksimum untuk delik pokok yang berdiri 
sendiri, tetapi selalu dirumuskan sebagai alternatif dari 
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. 
- Maksimum pidana kurungan adalah 1 (satu) tahun. 
Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 khususnya 
terhadap pidana penjara terdapat ancaman pidana minimal khusus. 
Pada prinsipnya pidana minimal khusus ini diterapkan untuk delikdelik terorisme tertentu yang dipandang sangat merugikan, 
membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (Erfolgsqualifizierte 
Delikte). 
Diadakannya ancaman pidana minimal khusus untuk delikdelik tertentu (termasuk tindak pidana terorisme) sebenarnya memiliki 
landasan yang cukup beralasan. Alasan itu antara lain : 
a. untuk mengurangi adanya disparitas pidana; 
b. untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya 
standar minimal yang obyektif  untuk delik-delik yang sangat 
dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat/negara; 
c. untuk lebih mengefektifkan prevensi umum (general prevention). 
5. Hambatan-hambatan dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana 
Terorisme 
Peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 menjadi titik awal 
penanganan tindak pidana terorisme secara serius di Indonesia. Proses 
penanganan mulai dari penyelidikan,  penyidikan, penuntutan dan proses 
peradilan merupakan tantangan yuridis bagi aparat penegak hukum karena 
belum adanya peraturan yang baku dan standard yang dapat digunakan untuk 
menangani perkara tindak pidana terorisme tersebut. 
Mengantisipasi kekosongan hukum untuk menangani kasus terorisme 
tersebut Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2002 atau 6 (enam) 
hari setelah peristiwa Bom Bali telah mengeluarkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yaitu Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang Nomor 1  Tahun 2002 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2002 pada Peristiwa Peledakan 
Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. 
Menurut  I Made Karna, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar Bali 
yang juga menjadi Ketua Majelis dalam perkara Bom Bali, begitu Bom Bali 
meledak pada tanggal 12 Oktober 2002, para pimpinan Kepolisian,  
Kejaksaan dan Pengadilan berkumpul dan mengambil langkah-langkah awal, 
antara lain : 
66)
a. Melaporkan kepada Gubernur Bali  tentang peraturan apa yang akan 
diterapkan untuk menangani tindak pidana terorisme yang secara tidak 
terduga telah terjadi di Bali. 
b. Mengumpulkan pemuka-pemuka agama untuk memberikan penjelasanpenjelasan karena yang menjadi korban adalah orang-orang dari berbagai 
agama dan suku bangsa. 
c. Mencari peraturan-peraturan yang ada, apakah cukup dengan 
menggunakan Kitab Undang-Undang  Hukum Pidana (KUHP) dan 
Undang-Undang Bahan Peledak Berbahaya (Undang-Undang Nomor.... 
                                                
66)
 I Made Karna, Catatan Seminar Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme sebagai Tindak Pidana 
Khusus, Jakarta, 28 Juni 2004. Karena Undang-Undang yang mengatur terorisme belum ada, dan segera 
melapor ke Jakarta kepada masing-masing atasan instansi terkait.  
Penanganan tindak pidana terorisme pada kasus Bom Bali juga sangat 
merepotkan pihak Kepolisian yang ada di lapangan.
67)
  
Pada saat pengeboman di Bali tanggal 12 Oktober 2002, Polisi 
Republik Indonesia (POLRI) saat itu belum siap untuk 
menanggulanginya. Baik dari kesiapan Sumber Daya Manusia, sarana 
penunjang, pengetahuan dan pengalaman, prosedur menangani suatu 
bencana, Polisi belum siap. Dengan modal dukungan internasional dan 
pemerintah Republik Indonesia, kemauan dan semangat yang sangat 
besar, ditambah dengan Keputusan Kepala Polisi Republik Indonesia 
(Ka.Polri) untuk membentuk Satuan Tugas Bom dan Kesepakatan 
Kerjasama dengan Polisi Federal  Australia, maka kasus Bom Bali 
dapat diungkap dalam waktu yang relatif cepat dan dapat  menangkap 
sebagian besar pelakunya termasuk menangkap jaringannya. 
Para pelaku peledakan Bom Bali pada akhirnya diadili dengan 
pengamatan luar biasa dari dalam maupun luar negeri. Persidangan terhadap 
pelaku utama yaitu  Amrozi, Abdul Aziz, Ali Gufron, Sawad, Utomo 
Pamungkas sampai dengan  Abdul Rauf, dilakukan secara terbuka dan 
                                                
67)
 Bekto Suprapto, Pengalaman Investigasi Kasus Terorisme di Indonesia dan Permasalahannya, 
Seminar Penanganan Terorisme Reg Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Juni 2001. diliput pers secara nasional dan internasional. Pada hakekatnya, proses 
mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa 
dan memutus perkara berdasarkan azas bebas, jujur dan tidak memihak di 
sidang pengadilan.
68)
  
Menurut Lilik Mulyadi (yang juga merupakan anggota Majelis Hakim 
yang mengadili perkara Bom Bali)  dalam proses mengadili Bom Bali 
setidaknya berorientasi pada 3 (tiga) aspek, yaitu 
69)
  
a. Aspek Yuridis, mengacu kepada dasar dan rasio peraturan 
hukumnya, agar supaya peraturan  yang diterapkan bisa diterima 
masyarakat. 
b. Aspek Sosiologis, bertendensi  kepada dimensi dan cara pandang 
bagaimana masyarakat menyikapi kejadian pengeboman tersebut. 
c. Aspek Psikologis, tertuju kepada  bagaimana sikap dari keluarga 
korban pada khususnya dalam menyikapi pelaku pengeboman. 
Hambatan lain yang dihadapi dalam penanganan kasus Bom Bali bagi 
Hakim yang mengadili perkara Bom Bali adalah, di dalam masyarakat secara 
selintas selalu timbul opini bahwa seseorang yang telah disidik dan diperiksa 
oleh Kepolisian maka dianggap telah  bersalah. Oleh sebab itu, apabila 
nantinya di depan persidangan pelakunya dibebaskan maka akan timbul 
sebuah perdebatan panjang. Di satu  sisi, hakim harus dapat menempatkan 
                                                
68)
 Lilik Mulyadi, Pengadilan Bom Bali, Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron 
alias Alik, Penerbit, Jambatan, Jakarta, 2007, halaman 1. 
69
Ibid.  posisinya sebagai seorang yang memutus perkara dengan tuntutan yang 
mempunyai visi dan misi untuk lebih  berorientasi mengedepankan dimensi 
keadilan. Padahal dari dimensi inilah diketemukan bahwa sistem hukum 
Indonesia lebih berorientasi kepada kepentingan pelaku. Sementara di sisi 
lainnya, adalah tidak adil mengacu kepada hukum positif yang lebih memihak 
kepada pelaku, karena dalam sistem hukum Indonesia Hakim juga harus 
mempertimbangkan keseimbangan dengan memperhatikan kepentingan 
negara, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan 
kepentingan korban kejahatan. 
Azas Refroaktif yang diterapkan dalam peradilan Bom Bali, dinilai 
sebagian orang sebagai melanggar prinsip hukum pidana karena berlaku surut 
(retroaktif). Azas hukum pidana mengatakan bahwa tidak  ada tindak pidana 
yang dapat dihukum oleh peraturan yang belum ada saat tindak pidana 
tersebut terjadi (Nullum Delictum Sine Praevia Lege Poenali – Pasal 1 Ayat 
(1) KUHP). 
Ketentuan berlaku surut hanya berlaku bagi kasus Bom Bali yang 
terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002. Terhadap kasus lain di luar Bom Bali, 
penyelidikan, penyidikan atau penuntutan tidak dapat memakai azas 
retroaktif. Perberlakuan surat dalam  kasus Bom Bali ini sesuai prinsip 
keseimbangan keadilan (balance of justice) dan penghormatan hak asasi manusia khususnya hak asasi korban, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28i 
dan Pasal 28j Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
70)
  
Kasus Bom Bali merupakan kasus  pertama diterapkannya UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana  Terorisme oleh Penyidik, Penuntut 
Umum, Hakim dan Penasehat Hukum, dan terhadap kasus peradilan Bom Bali 
semua pelakunya dijatuhi putusan pemidanaan (veroordeling). Dalam 
memutus perkara Bom Bali, Majelis Hakim bukan hanya bertitik tolak pada 
dimensi legal justice akan tetapi juga mempertimbangkan aspek yang bersifat 
non-yuridis berupa social justice dan moral justice.
71)
Aspek agamis juga merupakan hal menarik oleh kru para pelaku Bom 
Bali berpandangan bahwa yang mereka lakukan adalah “Jihad Fi Sabilillah”. 
Dalam Putusan Nomor 317/Pid/B/2003/PN.DPS tanggal 18 September 2003 
atas nama terdakwa Ali Imron halaman 358-362, kekeliruan pandangan ide 
dipertimbangkan sebagai berikut : 
Bahwa terdakwa Ali Imron bin H. Nurhasyim alias Alik alias Toha 
alias Mulyadi  alias Zaid di depan persidangan Pengadilan Negeri 
Denpasar mengatakan dalam pembelaannya telah menyadari dan 
menginsafi bahwa peledakan di  Sari Club dan Paddy’s Pub pada 
tanggal 12 Oktober 2002 bukanlah termasuk jihad Fi Sabilillah karena 
Jihad Fi Sabilillah menurut agama Islam adalah sesuatu yang luhur 
                                                
70)
 Abdul Gani Abdullah, Undang-Undang Terorisme dan Penerapannya di Indonesia, Bahan Diskusi 
dalam Forum Diskusi Masalah Hukum dan Terorisme, 18-19 Februari 2005 di Novotel, Bogor. 
71)
 Lilik Mulyadi, Ibid, hal. 75. dan suci yaitu menegakkan dan melaksanakan kalimat-kalimat Allah, 
sedangkan bom Legian adalah tindakan kekerasan atau perbuatan 
kelompok terdakwa yang berada di  luar Jihad Fi Sabilillah karena 
ternyata sasaran korban Bom Bali  tidak saja orang Amerika dan 
sekutunya, akan tetapi masyarakat Bali dan masyarakat Indonesia 
lainnya, dan tidak sedikit pula yang beragama Islam yang menurut 
terdakwa dan kelompoknya yang dibela dan diperjuangkannya. 
Masalah pemberantasan terorisme di Indonesia terkesan kuat 
menyangkut agama, terutama Agama Islam. Hal ini menyebabkan tidak hentihentinya usaha untuk menangkap dan memproses secara hukum terhadap Abu 
Bakar Ba’asyir, yang dianggap sebagai salah  satu tokoh Jamaah Islamiyah 
yang menjadi penggerak pelaku terorisme di Indonesia. Pihak asing juga ikut 
campur dalam masalah  Abu Bakar Ba’asyir, seperti misalnya Perdana 
Menteri Australia  John Howard yang meminta agar Jaksa Indonesia 
mengajukan  banding  atas  vonis  3  (tiga) tahun kepada  Abu Bakar 
Ba’asyir.
72) 
Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus salah satu perkara 
Abu Bakar Ba’asyir dalam perkara No. 29 K/Pid/2004 tanggal 3 Maret 2004, 
dalam pertimbangan antara lain disebutkan :
73)
  
- Perbuatan terdakwa yang terbukti dalam perkara ini berupa 
menyetujui/memberi restu atas rencana peledakan Bom di Gereja 
                                                
72)
 Kompas, 14 Maret 2005. 
73)
 Varia Peradilan, Nomor 225, Juni 2004. di beberapa tempat di Indonesia, peledakan Bom di Paddy’s Club 
dan Sari Cafe di Bali serta Mall di Atrium Plaza dan penyerangan 
atas kepentingan Amerika Serikat di Singapore, 
menyetujui/merestui keberangkatan saksi Suyadi Mas’Ud, Utomo 
Pamungkas  dan lain-lain ke Afganistan dan Mindanao Philipina 
(Jihad) dan dakwah-dakwah oleh terdakwa, bukan merupakan 
perbuatan pelaksanaan niat untuk menggulingkan pemerintah yang 
sah sebagai Makar, sebagaimana yang disebutkan dalam dakwaan 
Kesatu Primair : Pemimpin dan Pengatur Makar, ex Pasal 107 (2) 
KUHPidana dan dakwaan Kesatu Subsidair, Turut Serta Makar, ex 
pasal 107 (1) jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana, karena 
sasaran/target peledakan bom-bom termaksud bukan ditujukan 
kepada simbol-simbol negara Republik Indonesia atau Pemerintah 
atau Pimpinan Pemerintahan yang sah. Peledakan bom-bom 
tersebut adalah terorisme bukan makar. 
Masalah penerapan dan penanggulangan terorisme di Kabupaten Poso, 
lain lagi, karena kondisi daerah Poso yang tidak aman maka pemeriksaannya 
dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana Majelis Hakim pada 
tanggal 26 Juli 2007 telah memvonis 17  (tujuh belas) terdakwa dengan 
hukuman antara 8 (delapan) tahun sampai 14 (empat belas) tahun penjara.
74)
Perkara 17 (tujuh belas) orang terdakwa tersebut sebenarnya adalah perkara 
pembunuhan 2 (dua) orang pasca eksekusi Fibianus Tibo yaitu Dominggus 
da Silva  dan  Marimus Riwu pada tanggal 23 September 2006 yang telah 
menimbulkan suasana teror di wilayah Kabupaten Poso yang didakwa 
melanggar Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 yang 
ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagai UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 
                                                
74)
 Kompas, 27 Juli 2007 Hambatan dalam hukum acara juga dialami terutama oleh Pihak 
Kepolisian yang melakukan penyelidikan dan penyidikan yang menyangkut 
masa lamanya penahanan. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 
2003 telah memuat masa penahanan selama 6 (enam) bulan dan penangkapan 
selama 7 (tujuh) hari, hal tersebut masih dirasa kurang memadai. 
Organisasi teroris adalah organisasi rahasia yang bersifat tertutup dan 
setiap anggotanya harus disiplin dan menjaga kerjasa yang bersifat tertutup 
pula. Berdasarkan pengalaman para pemburu terorir, menangkap jaringan 
teroris dengan cara biasa yang mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum 
Acara Pidana akan mempersulit proses penangkapan selanjutnya.
75)
 Hal ini 
dapat dibuktikan dengan jarak waktu  penangkapan kelompok satu dengan 
kelompok lainnya memerlukan waktu 2  (dua) bulan atau lebih, dan waktu 
proses penangkapan selanjutnya memerlukan waktu yang lebih lama lagi 
karena jaringan tersangka teroris juga mempelajari pola penangkapan rekanrekan mereka. 
Proses investigasi terhadap organisasi rahasia seperti terorisme yang 
juga sulit dilakukan adalah memperoleh  kesaksian diantara  para tersangka. 
Diantara para tersangka sering  menyangkal apa yang sudah pernah 
disampaikan sebelumnya, sehingga yang  terjadi kemudian adalah perlakuan 
                                                
75)
 Bekto Suprapto, Ibid. polisi terhadap para tersangka pelaku  teror bom dalam proses investigasi 
dapat berbeda-beda, seperti misalnya : 
76) 
a. tempat penahanan 
b. cara pemeriksaan 
c. penentuan tempat sidang 
d. bantuan penasehat hukum 
e. penangguhan penahanan 
f. perlindungan saksi 
keterbatasan waktu dalam penyusunan berita acara interogasi dapat 
berakibat semua informasi yang diperoleh tidak tertampung dalam berita 
acara. Untuk itu pengungkapan jaringan terorisme banyak dibantu oleh 
rekaman dan data elektronik dari  hubungan telepon maupun e-mail. Namun 
dalam berkas berita acara kasus-kasus terorisme yang diungkap selama ini 
belum disertakan sebagai alat bukti sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 
2003 karena alasan kerahasiaan.
77) 
Dengan kata lain, pelacakan terhadap 
keberadaan dan jaringan terorisme dilakukan dengan menggunakan data 
elektronik namun data elektronik tersebut belum dipakai sebagai alat bukti. 
C. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Terorisme Pada Masa Yang 
Akan Datang 
                                                
76)
 Bekto Suprapto, Ibid. 
77)
 Bekto Suprapto, Ibid. 1. Usaha Pembaharuan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme 
Pengungkapan kasus-kasus baru di  Indonesia oleh pihak Kepolisian 
Republik Indonesia, dan selanjutnya  memproses para pelaku kejahatan 
peledakan bom tersebut ke pengadilan, menunjukkan adanya usaha serius dari 
aparat keamanan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme. 
Tindak Pidana Terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu 
keamanan dan ketertiban masyarakat serta merupakan ancaman serius 
terhadap kedaulatan negara, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak 
pidana terorisme perlu dilakukan secara berencana dan berkesinambungan 
guna memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. 
Usaha pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 
Tentang Tindak Pidana Terorisme, juga terus dilakukan oleh pemerintah dan 
unsur-unsur terkait, hal ini nampak dalam konsiderans Rancangan UndangUndang Republik Indonesia Nomor        Tahun         yang menyebutkan : 
78) 
Bahwa utuk lebih menjamin kepastian hukum dan menghindari 
keragaman penafsiran dalam penegakan hukum serta memberikan 
perlindungan dan perlakuan secara  adil kepada masyarakat dalam 
usaha mencegah dan memberantas terorisme, perlu diadakan 
perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 
                                                
78)
 Lampiran bahan seminar, Abdul Gani Abdullah, Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan 
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Undang-Undang Terorisme dan Penerapannya di 
Indonesia, Forum Diskusi Hukum dan Terorisme, 18-19 Februari 2005 di Novotel Bogor. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003 pada intinya memuat rancangan perubahan sebagai 
berikut : 
1. Menambah Pasal 9A tentang perdagangan bahan-bahan potensial yang 
digunakan sebagai bahan peledak atau membahayakan jiwa manusia 
dan lingkungan. Apabila bahan-bahan  potensial tersebut terbukti 
digunakan dalam tindak pidana  terorisme maka diberikan 
pemberantaran pidana; 
2. Menambah Pasal 13A tentang orang yang mengetahui akan terjadinya 
tindak pidana terorisme tidak melaporkannya kepada pejabat yang 
berwenang. Apabila tindak pidana terorisme benar-benar terjadi maka 
diberikan pemberatan pidana; 
3. Menambah Pasal 13B tentang : 
- larangan menjadi anggota organisasi yang bertujuan melakukan 
tindak pidana terorisme; 
- larangan mengenakan pakaian atau  perlengkapan organisasi yang 
bertujuan melakukan tindak pidana terorisme di tempat umum; 
- meminta atau meminjam uang dan/atau barang dari organisasi yang 
bertujuan melakukan tindak pidana terorisme; 4. Merubah Pasal 14 dengan menambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2) 
tentang peringanan pidana terhadap pelaku apabila tindak pidana 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terjadi; 
5. Mengubah Pasal 17 ayat (2) dengan rumusan baru yakni tindak pidana 
terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut 
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai wewenang mengambil 
keputusan, mewakili, dan/atau mengendalikan korporasi, baik 
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam 
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 
6. Menyempurnakan perumusan Pasal 25 ayat (2) tentang jangka waktu 
penahanan : 
- untuk kepentingan penyidikan paling lama 120 (seratus dua puluh) 
hari; 
- untuk kepentingan penuntutan paling lama 60 (enam puluh) hari; 
- perpanjangan penahanan masing-masing terhadap proses 
penyidikan dan penuntutan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) 
hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 
30 (tiga puluh) hari; 
7. Mengubah Pasal 26 tentang cara memperoleh bukti permulaan yang 
cukup dan penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti 
permulaan yang cukup; 8. Mengubah Pasal 27 dengan huruf d baru tentang laporan intelijen yang 
diperoleh selama penyidikan dan penuntutan setelah memenuhi 
ketentuan Pasal 26; 
9. Mengubah perumusan Pasal 28 tentang jangka waktu penangkapan 
terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana 
terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 
7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam; 
10. Mengubah dan menambah Pasal 31 ayat (2) dengan 1(satu) ayat baru 
yakni ayat (2a) tentang tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan 
berdasarkan penetapan Hakim Pengadilan Negeri untuk tenggang 
waktu yang ditentukan dalam penetapan tersebut; 
11. Mengubah ketentuan Pasal 33 tentang perlindungan negara terhadap 
saksi, penyidik, advokat, penuntut umum, dan hakim berserta 
keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, 
jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses 
pemeriksaan perkara; 
12. Menambah Pasal 34A tentang pemberian keterangan pada saat 
pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan 
tersangka; 
13. Menambah Ketentuan Peralihan (Bab VIIA, Pasal 43); 
14. Menghapus Pasal 46; 15. Menghapus penjelasan umum angka 5 dari Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 
2003 tersebut terdapat beberapa hal baru, antara lain : 
1) Perubahan atau penambahan Tindak Pidana Terorisme dalam 
Pasal  9A,  Pasal  13A,  Pasal 13B, Pasal 14 ayat (2), Pasal 17 
ayat (2); 
2) Masalah pemidanaan, masih mempertahankan ancaman pidana 
minimal khusus terhadap tindak pidana terorisme, namun dalam 
Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003 tersebut tidak dibuatkan aturan/pedoman 
penerapannya. 
Masalah penahanan terhadap tersangka terorisme juga tidak ada 
perubahan padahal masalah penahanan merupakan paling menentukan proese 
hukum tersangka terorisme. Masyarakat  selama ini hanya  melihat hasilnya 
bahwa pihak Kepolisian telah berhasil menangkap dan mengungkap jaringan 
terorisme dan membawanya kepengadilan, tetapi tidak melihat kesulitankesulitan yang dihadapi petugas-petugas di lapangan karena terbatasnya 
waktu penahanan yang ditentukan undang-undang. Bekto Suprapto mengemukakan dalam pengalamannya 
menginvestigasi pelaku-pelaku terorisme : 
79)
  
Berdasarkan pengalaman para pemburu teroris, menangkap jaringan 
terorisme dengan cara biasa yang mengacu pada KUHAP akan 
mempersulit proses penangkapan selanjutnya. Hal ini dapat dibuktikan 
dengan jarak waktu penangkapan kelompok satu dengan kelompok 
lainnya memerlukan waktu dua bulan atau lebih, dan waktu proses 
penangkapan selanjutnya memerlukan waktu yang lebih lama lagi 
karena jaringan tersangka teroris juga mempelajaran pola penangkapan 
rekan-rekan mereka. 
2. Konsep Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2008  
Di dalam konsep RUU KUHP Tahun 2008 terdapat pengaturan 
mengenai Tindak Pidana Terorisme yaitu di dalam Buku II Bab I tentang 
Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, khususnya pada bagian keempat 
yang mengatur Tindak Pidana Terorisme. 
Tindak Pidana Terorisme yang terdapat pada bagian keempat terdiri 
dari : 
a. Paragraf 1 : Terorisme, diatur dalam Pasal 242 dan Pasal 243. 
b. Paragraf 2 : Terorisme dengan  menggunakan bahan-bahan kimia, 
diatur dalam Pasal 244. 
                                                
79)
 Bekto Suprapto, Op.Cit. hal 5. c. Paragraf 3 : Pendanaan untuk Terorisme diatur dalam Pasal 245 dan 
Pasal 246. 
d. Paragraf 4 : Penggerakan, Pemberian banguan dan kemudahan untuk 
Terorisme diatur dalam Pasal 247, Pasal 248 dan Pasal 249. 
e. Paragraf 5 : Perluasan Pidana Terorisme, diatur dalam Pasal 250 dan 
Pasal 251. 
Pengaturan mengenai Tindak Pidana Terorisme di dalam Konsep RUU 
KUHP Tahun 2008 ini apabila dibandingkan dengan Tindak Pidana Terorisme 
di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, maka ketentuan-ketentuan 
yang ada dalam Konsep RUU KUHP melengkapi Undang-Undang Nomor 15 
Tahun 2003. Perluasan Pidana Terorisme  yang diatur dalam  Pasal 251 yang 
mengatur tentang permufakatan jahat, persiapan atau percobaan dan 
pembantuan melakukan terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 242, Pasal 
243 dan pasal 250 dipidana sebagaimana ketentuan pasal-pasal tersebut. 
Perluasan Pidana Terorisme yang juga ada di dalam pasal 250 terkait 
dengan Tindak Pidan Terhadap Penerbangan dan Sarana Penerbangan, pada 
bagian Kelima Konsep RUU, antara lain : 
a. Pembajakan udara, diatur dalam Pasal 256 dan Pasal 257, dimana 
hukumannya menjadi seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 
5 (lima) tahun, dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, sedangkan jika 
dilakukan dan memenuhi syarat  Pasal 258 hukumannya menjadi pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 
b. Perusakan Sarana Penerbangan, Pasal 252. 
c. Perusakan Pesawat Udara, Pasal 255. 
d. Perbuatan yang membahayakan keselamatan penerbangan, Pasal 260, 
Pasal 261 dan Pasal 262. BAB IV 
PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Kebijakan Penanggulangan Tindak  Pidana Terorisme dengan hukum 
pidana sebagaimana telah dibahas, diurai dan dianalisis tersebut di atas, ternyata 
dalam menanggulangi terorisme di Indonesia dapat disimpulkan hal-hal sebagai 
berikut : 
a. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Terorisme 
1. Dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, kebijakan yang menonjol 
untuk menanggulangi Tindak Pidana Terorisme adalah dengan 
menggunakan sarana hukum pidana dan  melakukan kriminalisasi, antara 
lain : 
(a) Tindak Pidana Terorisme, antara lain meliputi : 
(1) tindak pidana yang diadopsi dari Konvensi tentang Penentangan 
Terhadap Pemboman oleh Teroris (International Convention for the 
Suppression of Terrorist Bombing, New York, 1997), Konvensi 
tentang Penentangan Terhadap Pendanaan Untuk Terorisme 
(International Convention on the Financing of Terrorism, New 
York, 1999). (2) Tindak pidana yang merupakan  penyempurnaan dari UndangUndang Nomor 12 dan seterusnya Tahun 1951 tentang Senjata Api, 
Amunisi dan Bahan Peledak. 
(3) Tindak pidana yang diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum 
Pidana yaitu Tindak Pidana Kejahatan terhadap Penerbangan dan 
Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan sebagaimana diatur dalam 
Bab XXIXA Buku II KUHP khususnya Pasal 479 huruf a sampai 
dengan huruf r. 
(4) Tindak pidana baru yang mengandung unsur pokok penggunaan 
kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasan teror 
atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat 
masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa 
dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kehancuran 
terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, 
fasilitas publik maupun fasilitas internasional. 
(b) Tindak pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme seperti 
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap penegak hukum 
yang menangani tindak pidana terorisme, memberikan kesaksian palsu, 
memberikan alat bukti dan barang bukti palsu, mencegah, merintangi 
atau menggagalkan secara langsugn atau tidak langsung proses 
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam 
perkara tindak pidana terorisme. 
186 2. Subyek yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana terorisme 
adalah orang dan korporasi. 
3. Tindak pidana terorisme dikecualikan  dari tindak pidana politik, tindak 
pidana yang berkaitan dengan politik, tindak pidana yang motif politik dan 
tindak pidana dengan tujuan politik. 
4. Jenis sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana 
terorisme antara lain terdiri dari pidana pokok berupa pidana mati, pidana 
penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda, sedangkan pidana 
tambahan yang dikenakan terhadap korporasi berupa pembekuan korporasi 
atau pencabutan ijin korporasi yang diikuti dengan dinyatakannya korporasi 
sebagai korporasi yang terlarang. 
5. Sistem pemidanaan menurut  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, 
terdapat penyimpangan atau berbeda dengan aturan umum yang ada dalam 
KUHP yang menjadi induknya. Penyimpangan tersebut antara lain : 
- Adanya subjek tindak pidana berupa korporasi dan 
pertanggungjawaban pidana korporasi. 
- Adanya ancaman pidana minimal khusus. 
- Dipidananya percobaan, pembantuan  dan permufakatan jahat, sama 
dengan pelaku. 
- Meningkatnya jumlah ancaman pidana denda. 6. `Perumusan jumlah atau lamanya pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 
Tahun 2003, hampir seluruhnya mencantumkan ancaman pidana minimum 
khusus dan maksimum khusus, misalnya : 
- Minimum khusus terhadap pidana penjara bervariasi meliputi 2 (dua) 
tahun, 3 (tiga) tahun dan 4 (empat)  tahun. 
- Maksimum khusus terhadap pidana penjara bervariasi meliputi 7 
(tujuh) tahun, 15 (lima belas) tahun, 20 (dua puluh) tahun dan pidana 
penjara seumur hidup. 
- Maksimum pidana kurungan adalah 1 (satu) tahun. 
b. Kebijakan Aplikatif Dalam Penanggulangan Terorisme 
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdapat 
hambatan-hambatan, akan tetapi hambatan tersebut yang paling nyata 
pada saat terjadi kasus Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002, karena pada 
saat itu belum ada peraturan khusus terorisme. Sedangkan hambatan lain 
yang terjadi di lapangan adalah terbatasnya alat-alat teknologi yang 
dimiliki Kepolisian sehingga dengan kerjasama dengan pihak asing dapat 
menimbulkan anggapan adanya campur tangan negara asing. Pihak 
penyidik juga mengalami hambatan karena ternyata untuk mengungkap 
saksi-saksi dan jaringan terorisme  memerlukan banyak waktu sehingga 
jangka waktu penahanan yang diatur Undang-Undang masih kurang 
memadai. c. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Terorisme Di Masa Yang 
Akan Datang 
1.  Di dalam Rancangan Undang-Undang yang akan menyempurnakan 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003,  terdapat penambahan tindak 
pidana baru dan perubahan terhadap beberapa pasal, antara lain : 
(a) tindak pidana perdagangan bahan-bahan potensial yang digunakan 
sebagai bahan peledak atau membahayakan jiwa manusia dan 
lingkungan dan apabila bahan-bahan tersebut terbukti digunakan dalam 
tindak pidana terorisme maka diberikan pemberatan pidana. 
(b) Tindak pidana mengenai orang yang mengetahui akan terjadinya tindak 
pidana terorisme tetapi tidak melaporkannya dan apabila tindak pidana 
terorisme benar-benar terjadi maka akan diberikan pemberatan pidana. 
(c) Tindak pidana mengenai larangan menjadi anggota, mengenakan 
pakaian atau perlengkapan, meminta atau meminjam uang dan/atau 
barang dari organisasi yang bertujan melakukan tindak pidana 
terorisme. 
(d) Mengubah Pasal 14 dengan menambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2) 
tentang peringanan pidana terhadap pelaku apabila tindak pidana 
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terjadi. 
(e) Mengubah Pasal 17 ayat (2) tentang pertanggungjawaban pidana 
terhadap korporasi yang melakukan  tindak pidana terorisme, dengan 
rumusan baru yaitu tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut  dilakukan oleh orang-orang yang 
mengambil keputusan, mewakili dan/atau mengendalikan korporasi, 
baik berdasarkan hubungan kerja  maupun hubungan lain, bertindak 
dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama. 
2.  Di dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang 
Hukum Pidana Tahun 2008, Tindak Pidana Terorisme diatur dalam Buku 
II, Bab I, Bagian Keempat, khususnya termuat dalam Pasal 242 sampai 
dengan Pasal 251, antara lain : 
(a) Paragraf 1 : Terorisme, terdapat dalam Pasal 242 dan Pasal 243. 
(b) Paragraf 2 : Terorisme dengan  menggunakan bahan-bahan kimia, 
diatur dalam Pasal 244. 
(c) Paragraf 3 : Pendanaan untuk terorisme, diatur dalam Pasal 245 dan 
Pasal 246. 
(d) Paragraf 4 : Penggerakan, pemberian bantuan dan kemudahan untuk 
terorisme, diatur dalam Pasal 247, Pasal 248 dan Pasal 249. 
(e) Paragraf 5 : Perluasan Pidana Terorisme, diatur dalam Pasal 250 dan 
Pasal 251. 
B. Saran 
1. Peran serta masyarakat hendaknya dimasukkan di dalam Rencana Perubahan 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, hal ini mengingat sulitnya upaya 
mendeteksi kejahatan terorisme dan di dalam kenyataannya pihak Kepolisian memasang gambar-gambar atau foto tokoh-tokoh teroris yang dicari dengan 
meminta bantuan masyarakat. 
2. Kerjasama Internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak 
pidana terorisme, yang dilakukan pemerintah dengan negara lain baik di 
bidang intelijen, kerjasama teknis maupun aparat kepolisian yang berkaitan 
dengan tindak pidana terorisme, hendaknya dijelaskan dan diatur dengan 
terbuka sehingga masyarakat dapat mengetahui dan tidak menimbulkan rasa 
curiga adanya campur tangan pihak asing terhadap aparat hukum Negara 
Indonesia. DAFTAR PUSTAKA 
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002  
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan 
dengan Pidana Penjara, Semarang, 1996. 
                                    , Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan 
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 
                                    , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 
2002 
, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana Raja 
Grafindo Persada, Jakarta, 2002 
, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 
2003. 
, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, 
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juni 
1999. (Pidato Pengukuhan Guru Besar). 
, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan 
Pengembangan Hukum Pidana,  Citra Aditya Bakti, Bandung, 
1998. 
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Putra Baru, 
Bandung, 2002 
                                    , Pengantar Hukum Pidana Internasional,  .Refika Aditama, 
Bandung, 2000. 
, Kapita Selekta Hukum Pidana  Internasional, Dunia Cipta, 
Bandung 1997. 
, Teori dan Kegiatan Selekta Kriminologi, PT. Eresco, 
Bandung, 1992. 
Assegaf, Nurcahaya Tandang, Terorisme Internasional, Indonesia Dan Dinamika 
Internasional, Penerbit Ombak, Jogjakarta, 2004. Garner, Bryan. A, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, Wesa 
Group Minn, 1999. 
Gray, Jerry.D, The Real Truth 9-11, Gema Insani Press, Jakarta, 2004. 
Hamzah, Andi, Delik-Delik Tersebar di  luar KUHP, Pradaya Paramita, Jakarta, 
1980. 
                          , Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradaya Paramita, 
Jakarta, 1993.  
Hanitijo, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Materi, Ghalia Indonesia, 
Jakarta, 1990. 
Hardjosoemantri, Koesnandi, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University 
Press, Yogyakarta, 2002. 
Hardiman, F Budi dan kawan-kawan, Terorisme, Defenisi, Aksi dan Regulasi, 
Penerbit Imparsial dan Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat 
Sipil, Jakarta, 2003. 
Indonesia, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Republik, Undang-Undang 
Nomor 15 Tahun 2003. 
Kleden, Kons dan Imam Waluyo (ED), Percakapan-Percakapan  Tentang UndangUndang Subversi dan Hak Asasi  Manusia, Sinar Agung Press, 
Jakarta, 1981. 
Lamintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus  Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum 
Negara, Sinar Baru Bandung, 1987. 
Loqman, Loeby, Delik-Delik. Politik di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991. 
                        , Pidana dan Pemidanaan, Datacom Jakarta, 2002. 
                        , Hak asasi Manusia Dalam Hukum  Acara Pidana, Sinar Grafika, 
Jakarta, 2002. 
Moeljanto, KitabUndang-Undang Hukum Pidana, Gajah Mada University Press, 
Jogjakarta, 2002.  
Muladi, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1945.                         , Demokratisasi Hak Asasi Manusia Dan Reformasi Hukum di 
Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. 
, & Dwidja Priatno, PertanggungJawaban Korporasi Dalam Hukum 
Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1998.  
                        , & Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, 
Bandung, 1998. 
                        , & Barda Nawawi Arief, Bunga  Rampai Hukum Pidana, Alumni, 
Bandung, 1992  
Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary 
Crime), Bahan Seminar, Jakarta, 2004. 
Mulyadi, Lilik, Peradilan Bom Bali, Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron 
dan Ali Imron, Penerbit Jembatan, Jakarta, 2007. 
Nainggolan, Poltak Partogi (Editor), Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Pusat 
Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekjen DPR RI, Jakarta, 
2002. 
Nasir, Abas, Melawan Pemikiran Aksi Bom Imam Samudra dan Noordin M. Top, 
Penerbit Grafindo, Tanpa Tahun. 
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, 
Bandung, 1986. 
Putrajaya, Nyoman Sarikat, Kapita  Selekta, Hukum Pidana, Badan Penerbit 
Universitas Diponegoro, Semarang, 2001. 
                        , Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Badan Penerbit Universitas 
Diponegoro, Semarang, 2001. 
Purwanto,  Wawan. H, Terorisme Ancaman Tiada Akhir, Grafindo, Jakarta, 2004. 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Himpunan Peraturan     PerundangUndangan, Fokusmedia, Bandung, 2003. 
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. 
                              , Wajah Hukum Di Era Reformasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 
2000.                               , Hukum dan Masyarakat Alumni, Bandung, 1976. 
,Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1976. 
, Hukum Progresif, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. 
, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan, Pidato 
Mengakhiri Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas 
Diponegoro, 2000. 
Remelink, Jan, Hukum Pidana, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 
2002. 
Sadli, Saparinah, Persepsi sosial mengenai perilaku menyimpang, Bulan Bintang, 
Jakarta, 1976. 
Saleh, Ruslan, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983. 
                              , Mengadili Sebagai Pergulatan  Manusia, Aksara Baru, Jakarta, 
1983. 
Saleh, K. Wantjik, Pelengkap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Ghalia 
Indonesia, Jakarta, 1985. 
Seno Adji, Oemar, Herezening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga, 
Jakarta, 1984. 
                              , Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1985. 
Sianturi, S.R., Hukum Pidana Perbandingan Alumni, AHM-PTHM, Jakarta, 1982. 
Simorangkir, J.C.T, dan Rudy T. Erwin, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 
2000. 
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana 
Terorisme, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007. 
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grasindo 
Persada, Jakarta, 1995. 
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.                               , Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Aksara Baru, Bandung, 
1981. 
, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986. 
Susanto, I.S., Kejahatan Koorporasi,  Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 
Semarang, 1995. 
Taufik, Muhammad, Terorisme Dalam Demokrasi, Penerbit Pustaka Pelajar, 
Yogyakarta, 2005. 
Thantowi, Jawahir, Islam, Neo Imperialisme dan Terorisme, Universitas Islam 
Indonesia, Yogyakarta, 2004. 
Van, Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Penerbit ELSAM, Jakarta, 2002. 
Yudhoyono, Susilo Bambang, Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementriaan 
Koordinator POLKAM, 2002. 
Bahan-bahan seminar / Tulisan ilmiah: 
Abdullah, Undang-Undang Terorisme Dan  Penerapannya di Indonesia, Diskusi 
Masalah Hukum dan Terorisme 18-19 Februari 2005 di Bogor. 
Romli Atmasasmita, Penanganan Kasus  Terorisme di Indonesia Berdasarkan 
Undang-Undang Nomor 15 ahun 2003, Jakarta 28 Juni 2004. 
Mare Pesotti, Combating Terorism As  An Extraordinary Crime, Seminar Hotel 
Ambara Jakarta 28-30 Juni 2004. 
Mugihardjo, Kebijakan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme, 
Seminar Masalah Hukum Dan Terorisme, Bogor 18-19 Februari 
2005. 
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme 2004, Pedoman Terpadu Dalam 
Pemberantasan Aksi Terorisme. 
Budiarto Sambazy, Terorisme di Sekitar Kita, Kompas 31 Mei 2005, hlm. 11. 
Maruli Tobing, Teror Bom dan Konflik Elit Nasional, Kompas 18 Juni 2005, hlm. 6. Muhammad Guntur Romli, Terorisme  Lokal dan Global, Kompas 26 Juli 2005, 
hlm.6. 
Mulyawan Karim, Perang Melawan Terorisme, Kompas, 19 Desember 2004, hlm. 4. 
Erick Hiariej, Terorisme dan Dislokasi Sosial, Kompas 6 Agustus 2005, hlm. 7. 
Rancangan Undang-Undang Nomor ... Tahun  ... Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme. 
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana 2008, 
www.legalitas.org. 
MAJALAH 
TEMPO, edisi 12-19  2003, Bom Bali. 
edisi 11-17 Juli 2005, London Terguncang. 
GATRA, edisi 18 Juni 2005, Teror Bom Polisi. 
 SUARA ISLAM, edisi 25 Juli 2007, Bubarkan Densus 88. 
 POLRI HARI INI, Bhayangkara 58 tahun, 2004. 
VARIA PERADILAN,  Workshop On Organized Crime And Terorism , Desember 
2005.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar