Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Maret 2012

Artikel & opini


Pelaku Pemerkosaan Pantas Dihukum Berat

Pemerkosaan bukan hanya sebagai penyakit masyarakat tetapi juga merusak masa depan serta pemaksaan kehendak terhadap korban dan mengoyak hak asasi manusia. Perkosaan tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Jadi terhadap pelaku kasus perkosaan harus dihukum seberat-beratnya tanpa terkecuali. Lemahnya hukum terhadap para pelaku pemerkosaan menyebabkan jumlah kasus kejahatan ini terus meningkat serta hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tidak membuat jera.

Pengertian Perkosaan


Perkosaan(rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas.Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa : "barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan.

Dampak perkosaan dan penyembuhannya


Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual, kehamilan tidak dikehendaki. Sementara itu, korban berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis jangka pendek maupun jangka panjang. Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima
kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani. Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan korban. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu menjalani kehidupannya seperti sedia biasanya.

Kelemahan Hukum


Perkosaan harus ditanggulangi, salah satu sarananya dengan hukum pidana. Tumpuan pada hukum akan menghadapi problematika ketidak-mampuan hukum dalam bekerjanya untuk menangani tindak pidana perkosaan. Rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukannilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita. Di mata hukum pidana Indonesia khususnya kasus perkosaan keberadaan wanita diperkecil maknanya menjadi vagina saja, diatur hanya bila vaginanya terganggu.

Perumusan pasal perkosaan menunjukkan standar nilai/moral yang dipakai masyarakat dalam memperlakukan perempuan khususnya isteri. Seorang isteri dalam hubungan seksual tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya. Sehubungan dengan itu, bukan saja Pasal 285 KUHP perlu diganti, akan tetapi juga nilai-nilai sosial budaya dan mitos-mitos yang mengisyaratkan adanya dominasi pria terhadap wanita atau sesamanya perlu diganti. Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum pidana, Permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatar-belakangi budaya barat yang lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal, khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk keadilan jender. Penegakan hukum tidak lain berarti menegakkan norma-norma hukum sekaligus nilai-nilai di belakang norma tersebut.

Jadi, selama ini yang ditegakkan adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus perkosaan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Hal ini tentu tidak memuaskan karena tidak dapat menjadikan pedoman perlindungan korban. Hukum positif menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai, seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, KUHAP (Pasal 98-101 BAB XIII). Padahal, kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya. Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelun sidang, selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban.

Faktor penyebab dan Upaya Mengatasi Perkosaan


Vonis yang ringan terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Pemerintah terkesan mengabaikan hak anak karena hingga kini belum mengalokasikan anggaran untuk perlindungan anak dan akan membuat masyarakat tidak percaya terhadap hukum. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak kejahatan pemerkosaan, antara lain adalah faktor ekonomi, agama, mass media, tingkat pendidikan dan faktor lingkungan sosial, baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat maupun aparat penegak hukum untuk mengatasi tindak kejahatan pemerkosaan antara lain melalui penanaman nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan, dan penerapan sanksi hukum yang berat serta peningkatan rutinitas dan intensitas razia terhadap media cetak dan elektronik yang memuat unsur-unsur pornografi dan tidak mudah percaya terhadap pihak-pihak yang belum dikena







Tidak ada komentar:

Posting Komentar